Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Agama dan Negara
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Untuk melangsungkan sebuah pernikahan
yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah
ini secara ringkas akan membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, yang saat
ini banyak perselisihan tentang apa saja rukun dan syarat pernikahan, dan bagai
mana pula rukun dan syarat pernikahan itu sendiri.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :
1.
Adanya calon
suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
2.
Adanya
wali dari pihak wanita
3.
Adanya dua
orang saksi
4.
Sighat
akad nikah
Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat :
a.
Imam malik
mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :
- Wali dari pihak perempuan
- Mahar (mas kawin)
- Calon pengantin laki-laki
- Calon pengantin perempuan
- Sighat aqad nikah
b.
Imam
syafi’I mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :
- Calon pengantin laki-laki
- Calon pengantin perempuan
- Wali
- Dua orang saksi
- Sighat akad nikah
c.
Menurut
ulama khanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.
d.
Menurut
segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat :
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena
calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan di gabung satu
rukun :
- Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan
- Adanya wali
- Adanya dua orang saksi
- Dilakukan dengan sighat tertentu
B.
Syarat
Sah Pernikahan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan,
apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya
hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :
a.
Calon
mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri (
UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 )
b.
Akad
nikahnya dihadiri oleh para saksi.
C. Syarat-Syarat
Rukun Nikah
Secara rinci rukun-rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya
sebagai berikut :
1. Syarat-syarat kedua mempelai
a. Calon mempelai laki-laki
Syari’at
islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami
berdasarkan ijtihad para ulama yaitu :
·
Calon
suami beragama Islam
·
Terang (
jelas ) bahwa calon suami itu betul laki-laki
·
Orangnya
diketahui dan tertentu
·
Calon
laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri
·
Calon
laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal
baginya
·
Calon
suami rela untuk melakukan perkawinan
itu ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
·
Tidak
sedang melakukan ihram
·
Tidak
mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
·
Tidak
sedang mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 )
b. Calon mempelai perempuan
Syarat
bagi mempelai perempuan yaitu :
·
Beragama
Islam
·
Terang
bahwa ia wanita
·
Wanita itu
tentu orangnya
·
Halal bagi
calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal 8)
·
Wanita itu
tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah
·
Tidak
dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
·
Tidak
dalam ihram haji atau umrah
2. Syarat-syarat ijab Kabul
Ijab adalah
pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali. Hakikat dari
ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan
diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Qabul adalah pernyataan
penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan.
Bentuk pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas
yang memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas ijab
perempuan.[10] Perkawinan wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah
yang dinamakan akad nikah. Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat
tangan atau kepala yang bisa difahami.
Ijab dilakukan oleh
pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan Kabul dilakukan oleh
mempelai laki-laki atau wakilnya. Menurut pendapat khanafi boleh juga dilakukan
oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan
(wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh
sebaliknya.
Ijab dan Kabul
dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan
qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab
dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang
saksi. Khanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam
satu majelis dan tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan salah satu
pihak berpaling dari maksud akad tersebut.
Lafadz yang
digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah
kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam kitabullah dan
sunnah. Demikian menurut Asy-Syafi’I dan Hambali. Sedangkan khanafi membolehkan
kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur’an misalnya dengan kalimat hibah,
sedekah, pemilikan, dan sebagainya. bahasa sastra atau biasa yang artinya
perkawinan.
3. Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang
laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah
sah.[12] Berdasarkan sabda Nabi SAW :
لَا نِكَاحَ اِلَّابِ اْلوَلِيىِّ (رواه الخمسى)
“tidak sah pernikahan tanpa wali”
اَيّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِإِدِ نِ وَلِيِّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلُ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَااْالمَهْرُ بِمَاسْتَحَلَّ مِنْ
فرْجِهَافَإِنِ اسْتَجَرُوْافَالسُّلْطَانُ وَلِىٌّ مَنْ لاَ وَلِىٌّ لَهُ (رواه الخمسة الا النسا ئى)
“perempuan siapa saja yang menikah
tanpa izin walinya perkawinannya itu
batal, perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami
telah melakukan hubungan seksual, siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin
lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali
itu enggan, sultanlah yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR.
Al-Khomisah kecuali An-Nasaiy)[13]
Khanafi
tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan
berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wajib dihadiri oleh
dua orang saksi. Sedangkan malik berpendapat, wali adalah syarat untuk
mengawinkan perempuan bangsawan bukan untuk mengawinkan perempuan awam.
Anak
kecil, orang gila, dan budak tidak mendapat wali. Bagaimana mereka akan menjadi
wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.
Abu
khanifah dan abu yusuf berpendapat tentang akad nikah perempuan yang berakal
dan sudah dewasa sebagai berikut :
“sesungguhnya
seorang perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya
sendiri, baik ia gadis ataupun janda,… akan tetapi yang disukai adalah apabila
ia menyerahkan akad perkawinannya kepada walinya, karena menjaga pandangan yang
merendahkan dari laki-laki lain apabila dia melakukan sendiri akad nikahnya.
Akan
tetapi bagi walinya yang ashib (ahli waris) tidak berhak menghalanginya,
kecuali apabila ia melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang
tidak kufu’ (tidak sepadan) atau apabila maskawinnya lebih rendah dari pada
mahar mitsil
Bahkan apabila ia mengawini diri
sendirinya itu dengan orang yang tidak kufu (tidak sepadan) dan tanpa keridhoan
walinya yang ‘ashib, yang diriwayatkan oleh abu khanifah dan abu yusuf adalah
ketidak sahan perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan dapat mengajukan
pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan keputusan dengan adil,
karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan yang demikian itu untuk
mencegah adanya perselisihan.
Menurut
riwayat yang lain wali juga berhak menghalangi
perkawinan yang demikian itu dengan cara meminta kepada hakim agar
memisahkannya, karena menjaga aib yang mungkin timbul selagi si istri itu belum
melahirkan dari suaminya atau belum nyata mengandung, sebab apabila sudah
demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta perceraiannya dengan maksud
agar tidak terlantarlah sianak dan untuk menjaga kandungan.
Dan
apabila suaminya kufu, sedang maharnya lebih rendah dari mahar mitsil, apabila
wali dapat menerima akad boleh berlangsung, tetapi apabila wali tidak dapat
menerima ia dapat mengajukan kepada hakim agar hakim memfasakhkan perkawinan
tersebut.
Akan
tetapi apabila si perempuan tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia tidak
mempunyai wali sama sekali atau mempunyai wali tetapi bukan wali ‘ashib
siapapun tidak berhak menghalang-halangi perempuan tersebut untuk melakukan
akadnya, baik itu ia kawin dengan seorang laki-laki yang kufu’ ataupun tidak kufu,
dengan mahar mitsil ataupun bahkan dengan mahar yang lebih rendah dari mahar
mitsil, sebab dengan keadaan yang demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan
berada pada tanggung jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag
akan tertimpa oleh aib karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu
tersebut, dan juga maharnya telah gugur lantaran iapun sudah lepas dari
kewenangan wali-walinya (fiqhus sunnah, as-sayid sabiq, hal. 10-11 juz VII cet.
1968/1388)[14]
Wali
hendaknya menanyakan calon mempelai perempuan, berdasarkan hadits berikut ini :
عَنْ اِبْنُ عَبَّاسْ اَنَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم قاَلَ : اَلثَيِّبٌ اَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَاوَاْلبِكْرُ تُسْتَأْدَ نُ فِيْ نَفْسِهَا
وَإِدْنُهَا صُمَاتُهَا (رواه الجماعة الا البخاروفي رواية لااحمد وابى داود والنسا ئى) اْلبِكْرٌيَسْتَأْمِرُهَا
“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah SAW berkawa :
janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaklah diminta
izinnya dan izin gadis itu adalah diamnya.”diriwayatkan oleh jam’ah kecuali
bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan An Nasaiy
dikemukakan :
وَاْلبِكْرُيَسْتأْمِرُهَاأَبُوْهَا
“dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya”
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :
a.
Bapak
b.
Kakek dan
seterusnya keatas
c.
Saudara
laki-laki sekandung/seayah
d.
Anak
laki-laki dari paman sekandung/seayah
e.
Anak
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah
f.
Paman
sekandung/seayah
g.
Anak
laki-laki dari paman sekandung/seayah
h.
Saudara
kakek
i.
Anak
laki-laki saudara kakak
Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :
a)
Wali
mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridhoan yang
dikawinkan itu.
b)
Wali nasab
yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon pengantin
perempuan. wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman beserta
keturunnnya menurut garis patrilineal.
c)
Wali
hakim.
4. Syarat-syarat saksi
Saksi
yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh,
melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.
Menurut
golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua
orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik.
Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.
Sebagian
besar ulama berpendapat saksi merpakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu
perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat
syafi’I, khanafi, hanbali.
Bagaimana
kalau saksi seorang, lalu datang seorang saksi lagi?
Menurut kebanyakan ulama
dua orang saksi itu wajib ada bersama, demikian pendirian ulama khuffah. Sedang
menurut ulama madinah , termasuk imam malik, akad nikah sah apabila didatangi
oleh seorang saksi, kemudian datang lagi seorang saksi, jika perkawinan itu
diumumkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar