NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PESANTREN DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan nasional bertujuan mempersiapkan masyarakat baru yang lebih ideal, yaitu masyarakat yang mengerti hak dan kewajiban dan berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa. Esensi dari tujuan pendidikan nasional adalah proses menumbuhkan bentuk budaya keilmuan, sosial, ekonomi, dan politik yang lebih baik dalam perspektif tertentu yang harus mengacu pada masa depan yang jelas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Melalui kegiatan pendidikan, gambaran tentang masyarakat yang ideal itu dituangkan dalam alam pikiran peserta didik sehingga terjadi proses pembentukan dan perpindahan budaya. Pemikiran ini mengandung makna bahwa lembaga pendidikan sebagai tempat pembelajaran manusia memiliki fungsi sosial, yaitu agen perubahan di masyarakat. Kegiatan pendidikan selalu berlangsung di dalam suatu lingkungan. Dalam konteks pendidikan, lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar diri anak. Lingkungan dapat mempengaruhi proses dan hasil pendidikan.
Di dalam konteks pembangunan manusia seutuhnya, keluarga, sekolah dan masyarakat akan menjadi pusat-pusat kegiatan pendidikan yang akan menumbuhkan dan mengembangkan anak sebagai makhluk individu, sosial, susila dan religius. Dengan memperhatikan bahwa anak adalah individu yang berkembang, ia membutuhkan pertolongan dari orang yang telah dewasa, anak harus dapat berkembang secara bebas, tetapi terarah. Karenanya, pendidikan harus dapat memberikan motivasi dalam mengaktifkan anak.
Lembaga pendidikan adalah tempat transfer ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban. Melalui praktik pendidikan, peserta didik diajak untuk memahami bagaimana sejarah atau pengalaman budaya dapat ditransformasi dalam zaman kehidupan yang akan mereka alami serta mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan dan tuntutan yang ada di dalamnya. Dengan demikian, makna pengetahuan dan kebudayaan sering kali dipaksakan untuk dikombinasikan karena adanya pengaruh zaman terhadap pengetahuan jika ditransformasikan.
Dalam kaitannya dengan itu, Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya telah memberikan kontribusi besar bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Hadirnya berbagai Pesantren dan Pendidikan Keagamaan merupakan kontribusi luar biasa dan berharga bagi pemberdayaan masyarakat. Kehadiran lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lainnya di Indonesia menjadi bukti nyata akan peran pentingnya bagi eksistensi bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Urgensi institusi pendidikan keagamaan yang sangat kuat dan signifikan ini meniscayakan adanya perhatian pemerintah secara serius. Artinya, Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lain perlu diramu, dirawat dan diayomi agar kualitasnya bertambah baik. Sebab, tidak bisa dipungkiri perkembangan peradaban manusia dalam gempuran globalisasi tidak menutup kemungkinan perlu prevensi tertentu agar tidak tergilas arus tetapi dengan tetap berada pada koridor dan tuntunan agama.
Pemerintah harus ikut andil dalam melakukan pembenahan kualitas Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya dalam bentuk pengalokasian dana baik dari APBN maupun APBD secara pasti dan kontinyu. Apalagi semangat masyarakat dalam memberikan dan mengelola lembaga pendidikan keagamaan sangat tinggi. Ini terbukti dari pertumbuhan lembaga pendidikan keagamaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Tingginya semangat ini perlu diapresiasi pemerintah agar semangat tersebut terus berkembang. Dengan demikian, upaya pemberdayaan dan pencerdasan kehidupan bangsa tidak hanya dilakukan oleh masyarakat saja, tapi juga dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat secara umum. Hal ini sebagaimana amanat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi: “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selain itu, juga merupakan amanat dari Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Penerjemahan tentang ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ tertuang dalam Pasal 31 ayat (1) ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan,’ ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’, ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang, ayat (4) ‘negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional,’ ayat (5)’Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.’ 1
Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai satuan pendidikan yang diikuti oleh peserta didik (warga negara), berkewajiban mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara itu, sebagai sub sistem pendidikan nasional lembaga pendidikan keagamaan berhak mendapatkan perlakuan yang proporsional, adil, dan setara, baik di aspek perluasan akses, aspek peningkatan mutu, dan daya saing, maupun aspek manajemen dan tata kelola, yang secara konstitusional dijamin oleh Pasal 31 ayat 4 UUD NRI 1945, bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga penyebutan verbal numeral 20% anggaran pendidikan harus dialokasikan secara merata kepada semua komponen subsistem pendidikan, baik pada jenjang dan jenis pendidikan yang berbeda, dalam keseluruhan sistem pendidikan nasional, yang di dalamnya ada Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren. APBN 20% harus menempatkan pendidikan sebagai kultur investasi jangka panjang termasuk pendidikan agama di dalamnya Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya. Kenyataan empirik muncul tidak setaranya pengalokasian APBN ataupun APBD untuk Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya. Secara implementatif masih terjadi ketimpangan terhadap Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam hal pengalokasian anggaran.
Disparitas anggaran yang cukup tinggi antara lembaga pendidikan yang formal dengan lembaga pendidikan informal, tentunya berdampak dalam peningkatan mutu antara lembaga pendidikan yang sejenis, khususnya berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana. Fakta ketimpangan penganggaran ini menimpa pada Pesantren dan Pendidikan Keagamaan di mana kondisi operasional lembaga pendidikan keagamaan diusahakan oleh masyarakat secara keseluruhan karena tidak mempunyai DIPA atau dana operasional yang jelas. Selain itu, pengajuan permohonan pembangunan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan terkendala oleh terbatasnya anggaran di Kementerian Agama dan tidak didukung oleh Pemerintah Daerah karena dianggap sebagai urusan yang bersifat vertikal.
Penggambaran fakta disparitas anggaran tersebut dapat dicontohkan pada lembaga pendidikan madrasah. Umumnya madrasah yang didirikan masyarakat dalam kondisi terbatas dalam berbagai hal. Bagi sementara masyarakat yang lebih dipentingkan adalah simbol yang disandangnya, yakni bernama madrasah. Adapun isi pendidikan maupun hasil yang sebenarnya kurang memperoleh pertimbangan dan perhatian saksama. Kesadaran simbolik, berupa identitas yang disandang, oleh sementara masyarakat ternyata dikalahkan oleh ukuran-ukuran lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah sekalipun. Pada umumnya satu-satunya penyangga financial kehidupan madrasah adalah wali murid sendiri. Sekalipun madrasah berada di bawah yayasan, tidak berarti bahwa yayasan tersebut mampu mencukupi seluruh kebutuhan madrasah. Pendanaan yang bersumber masyarakat, sesungguhnya tidak mencukupi, baik yang dibayar awal masuk atau bulanan. Besarnya dana yang dipungut dari wali murid itu, umumnya juga tidak besar, apalagi madrasah yang berlokasi di daerah masyarakat miskin, amat kecil. Akibatnya, dana yang dapat dikumpulkan oleh madrasah juga kecil. Kecilnya dana pendukung ini otomatis akan berpengaruh pada kecilnya kemungkinan madrasah memberikan insentif pada guru dan juga penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kualitas serta mutu pendidikan madrasah.10
Dalam upaya memberikan perhatian itu, pemerintah perlu membentuk aturan jelas dan baku sebagai payung hukum dalam pelaksanaannya. Di sinilah posisi urgensitas kehadiran RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini dirumuskan. Harapannya, pemerintah memiliki kekuatan hukum di dalam memberikan perhatian dan mengayomi pendidikan keagamaan. Adapun landasan hukum yang dijadikan pijakan selama ini belum menyentuh secara konkrit pada ranah pendidikan keagamaan secara spesifik. Setidaknya ada dua Undang-undang yang dapat dijadikan acuan dalam konteks ini, yaitu UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dari dua UU tersebut belum terlihat jelas secara spesifik pengaturan tentang pendidikan keagamaan. Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya membahas tentang pendidikan secara formal. Ini menyisakan persoalan di mana Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lain yang notabene berada pada wilayah informal belum tersentuh.
Ada legalitas yang sudah bisa dianggap menyentuh persoalan pendidikan keagamaan, tetapi secara hirarkis masih lemah, karena hanya diatur pada tingkatan Peraturan Menteri atau bahkan masih Keputusan Direktur. Hal ini bisa dilihat pada Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan mengatur tentang bagaimana urgensi pendidikan keagamaan bagi generasi umat agama di Indonesia. Persoalannya, bagaimana eksistensi dari Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lain sebagai wadah dan pelaksana pendidikan keagamaan belum tersentuh. Di dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Hanya saja, peraturan pemerintah ini belum mengatur bagaimana keberadaan lembaganya sebagai sesuatu yang niscaya dalam menjalankan pendidikan keagamaan.
Selain itu, ada juga Keputusan Presiden nomor 22 tahun 2015 tentang Hari Santri, Peraturan Menteri Agama RI Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam, Peraturan Menteri nomor 18 Tahun 2015 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada pondok pesantren, Peraturan Menteri Agama RI nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 5877 Tahun 2014 tentang Pedoman Izin Operasional Pondok Pesantren, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 5839 Tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian Pendidikan Diniyah Formal. Semua peraturan tersebut merupakan regulasi yang hanya mengatur tentang pendidikan dalam agama Islam. RUU Pendidikan Keagamaan ini diproyeksikan sebagai landasan hukum bagi lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seluruh agama yang ada di Indonesia.
Atas dasar itu, maka muncul usulan dibentuknya Rancangan Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Yang dimaksud dengan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam Rancangan Undang-undang ini meliputi semua lembaga pendidikan keagamaan secara umum di bawah naungan masing-masing agama yang ada dan diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehadiran negara pada urusan keagamaan, harus memperoleh legalitas, baik untuk membimbing, memfasilitasi maupun mengevaluasi, agar bertindak benar, dan terhindar dari kesalahan-kesalahan substantif serta administratif. Begitu juga para pengelola, agar mereka mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi warga negara yang patriot, mencintai negaranya, berkomitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI, dan mengikuti Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Pada akhirnya, Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya membekali peserta didik untuk menjadi warga negara yang produktif, dan bisa menjadi bagian dari kemajuan bangsa dan negara dengan identitas keagamaan yang kental.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi untuk kebutuhan penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:
Bagaimana perkembangan teori tentang pendidikan keagamaan serta bagaimana praktik empiris penyelenggaraan pendidikan keagamaan selama ini?
Bagaimana peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan saat ini?
Apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dari pembentukan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan?
Apa yang menjadi sasaran, jangkauan, arah pengaturan, dan materi muatan yang perlu diatur dalam RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan?
Tujuan Dan Kegunaan
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah sebagai berikut:
Mengetahui perkembangan teori tentang pendidikan keagamaan dan praktik empiris serta urgensi pembentukan Undang-Undang tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya dalam menjawab kebutuhan.
Mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan saat ini.
Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis, pembentukan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Merumuskan sasaran, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, arah pengaturan, dan materi muatan dalam RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Naskah Akademik ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bagi penyusunan draf RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Metode
Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan menelaah berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan terkait, baik di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya dan berbagai dokumen hukum terkait.
Guna melengkapi studi kepustakaan dan literatur, dilakukan pula diskusi (Focus Group Discussion) dan wawancara serta kegiatan uji konsep dengan berbagai pihak berkepentingan atau stakeholders terkait penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan pesantren dan para pakar atau akademisi, antara lain dari Universitas Islam Negeri Bukittinggi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Manado, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
Kajian Teoretis
Pengertian Pendidikan
Dari segi etimologi atau bahasa, kata pendidikan berasal kata “didik” yang mendapat awalan pe dan akhiran an, sehingga pengertian pendidikan adalah sistem cara mendidik atau memberikan pengajaran dan peranan yang baik dalam akhlak dan kecerdasan berpikir.
Kemudian ditinjau dari segi terminologi, banyak batasan dan pandangan yang dikemukakan para ahli untuk merumuskan pengertian pendidikan, namun belum juga menemukan formulasi yang tepat dan mencakup semua aspek, walaupun begitu pendidikan berjalan terus tanpa menantikan keseragaman dalam arti pendidikan itu sendiri.
Di antaranya ada yang mengemukakan pengertian pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1.
Kata pendidikan berasal dari kata didik yang berarti menjaga, dan meningkatkan (Webster's Third Dictionary), yang dapat didefinisikan sebagai berikut:
Mengembangkan dan memberikan bantuan untuk berbagai tingkat pertumbuhan atau mengembangkan pengetahuan, kebijaksanaan, kualitas jiwa, kesehatan fisik dan kompetensi.
Memberikan pelatihan formal dan praktek yang di supervisi.
Menyediakan informasi.
Meningkatkan dan memperbaiki.
Dari pengertian di atas, pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, “pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan di setiap cabang pengetahuan manusia”
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didesain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Pendidikan dari masyarakat, didesain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didesain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didesain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu, perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Dalam arti luas, pendidikan adalah berusaha membangun seseorang untuk lebih dewasa. Atau Pendidikan adalah suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal hal tertentu sebagai akibat proses pendidikan yang diikutinya. Sebaliknya menurut Jean Praget, pendidikan berarti menghasilkan atau mencipta walaupun tidak banyak. Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Menurut Miramba, pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Definisi ini agaknya yang banyak dipakai di Indonesia.
Dalam Islam pendidikan didefinisikan sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Lebih jelasnya pendidikan adalah setiap proses di mana seseorang memperoleh pengetahuan, mengembangkan kemampuan/keterampilan sikap atau mengubah sikap.
Menutut Poerwadarminta (1976:250), istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan” mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “Tarbiyah” yang berarti pendidikan.
Dalam perkembangannya istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang untuk mempengaruhi seseorang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. (Sudirman, 1984:4)
Bahwa pendidikan adalah proses bimbingan secara sadar dari orang dewasa terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik, dengan cara mentransferkan berbagai aspek kehidupan, baik rohani maupun jasmani, berupa pengetahuan, kecakapan atau keterampilan sehingga membawa perubahan kepada kepribadian (personality) yang akhirnya dapat hidup bahagia (lahir maupun bathin) baik secara individu maupun dalam masyarakat serta sadar terhadap Tuhan.
Secara garis besar, pendidikan mempunyai fungsi sosial dan individual. Fungsi sosialnya adalah untuk membantu setiap individu menjadi anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif masa lampau dan kini. Fungsi individualnya adalah untuk memungkinkan seorang menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya untuk menghadapi masa depan. Proses pendidikan dapat berlangsung secara formal seperti yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan. Ia juga berlangsung secara informal lewat berbagai kontak dengan media komunikasi seperti buku, surat kabar, majalah, TV, radio dan sebagainya atau non formal seperti interaksi peserta didik dengan masyarakat sekitar.
Fungsi pendidikan baik secara sosial maupun individual akan dapat diperoleh oleh anak didik dalam proses pendidikan yang formal, non formal, dan informal. Karena pendidikan non formal dan informal juga berfungsi secara sosial ataupun individual, maka seharusnya pemerintah jangan hanya lebih banyak memberikan perhatian pada pendidikan formal. Sebab, realitasnya, pendidikan non formal dan informal mampu memberikan pemberdayaan kepada anak didik dalam rangka kesejahteraan masyarakat.
Upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada dasarnya merupakan cita-cita dari pembangunan bangsa. Kesejahteraan dalam hal ini mencakup dimensi lahir dan batin, material dan spiritual. Lebih dari itu pendidikan menghendaki agar peserta didiknya menjadi individu yang menjalani kehidupan yang aman dan damai. Oleh karena itu, pembangunan Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang aman, damai, dan sejahtera. Sejalan dengan realitas kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat, maka pengembangan nilai-nilai serta peningkatan mutu pendidikan tentunya menjadi tema pokok dalam rencana kerja pemerintah dalam membangun Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren.
Lembaga pendidikan di Indonesia dalam UU bisa kita klasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu: sekolah dan luar sekolah, selanjutnya pembagian ini lebih rincinya menjadi tiga bentuk:
informal
formal
nonformal
Sebelum kita melangkah pada pembahasan lebih jauh, tentunya kita harus mengetahui peran masing-masing lembaga secara umum, ketiga klasifikasi di atas dalam pergumulannya di masyarakat memiliki peran yang berbeda, lembaga pendidikan pertama, yaitu informal atau keluarga, ranah garapannya adalah lebih banyak di arahkan dalam pembentukan karakter atau keyakinan dan norma. Lembaga pendidikan kedua, yaitu formal atau sekolah, peran besarnya lebih banyak diarahkan pada pengembangan penalaran murid. Yang terakhir lembaga pendidikan ketiga, yaitu masyarakat, perannya lebih banyak pada pembentukan karakter sosial.
Ketiga pembagian di atas merupakan perubahan mendasar. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun masih termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Penjelasan dari klasifikasi tersebut adalah:
Pendidikan informal, atau pendidikan pertama adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hal ini menjadi pendidikan primer bagi peserta didik dalam pembentukan karakter dan kepribadian. Dalam al-Qur’an pendidikan di keluarga tersebut dalam rangka menjaga anggota keluarga dari hal-hal yang negatif.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.
Fungsi dan Peranan Pendidikan keluarga:
Pengalaman pertama masa kanak-kanak
Menjamin kehidupan emosional anak
Menanamkan dasar pendidikan moral
Peletakkan dasar-dasar keagamaan
Memberikan dasar pendidikan social
Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, dan kepercayaan, nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan peserta didik untuk dapat berperan dalam keluagra dan masyarakat.
Pendidikan nonformal, atau pendidikan kedua meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan. Adapun pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, atau ingin melengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, yang berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Jalur formal adalah lembaga pendidikan yang terdiri dari Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi dengan jenis pendidikan:
Umum
Kejuruan
Akademik
Profesi
Advokasi
Keagamaan
Pendidikan formal ini dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat.
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk lembaga Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajad.
Sebelum memasuki jenjang Pendidikan Dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti Pendidikan Dasar. Pendidikan Anak Usia Dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, atau Raudatul Athfal), sedangkan dalam nonformal bisa dalam bentuk (TPQ, kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).
Pendidikan Menengah yang merupakan kelanjutan Pendidikan Dasar terdiri atas, pendidikan umum dan pendidikan kejuruan yang berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad.
Yang terakhir adalah Pendidikan Tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah. Pendidikan ini mencakup program pendidikan:
Diploma
Sarjana
Magister
Doktor
Perguruan Tinggi memiliki beberapa bentuk; Akademi, Politeknik, Sekolah tinggi, Institut atau universitas, yang secara umum lembaga-lembaga tinggi ini dibentuk dan diformat untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta menyelenggarakan program akademik, profesi dan advokasi.
Semua lembaga formal di atas diberi hak dan wewenang oleh pemerintah untuk memberikan gelar akademik kepada setiap peserta didik yang telah menempuh pendidikan di lembaga tersebut. Khusus bagi Perguruan Tinggi yang memiliki program profesi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Lembaga Penyelenggara Pendidikan
Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa lembaga pendidikan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak dan karakter masyarakat. Belajar dari sejarah perkembanganya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia memiliki beragam corak dan tujuan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang melingkupi, mulai dari zaman kerajaan dengan bentuknya yang sangat sederhana dan zaman penjajahan yang sebagian memiliki corak ala Barat dan gereja, dan corak ketimuran ala pesantren sebagai penyeimbang, serta model dan corak kelembagaan yang berkembang saat ini tentunya tidak terlepas dari kebutuhan dan tujuan-tujuan tersebut.
Dalam upaya meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mengesahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.
Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Sebagai sistem sosial, lembaga pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju ke arah perbaikan dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki dua karakter secara umum. Pertama, melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari sebuah sistem. Kedua, mengenali individu yang berbeda-beda dalam peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan.
Secara garis besar lembaga pendidikan merupakan suatu tempat dimana terjadi transfer nilai-nilai positif dari satu pihak ke pihak lainnya.
Kata lembaga dalam Kamus Bahasa Indonesia Modern adalah asal mula, bakal, bentuk asli, badan keilmuan. Dalam bahasa Inggris lembaga dalam pengertian fisik disebut intitute, sarana (organisasi) untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan lembaga dalam pengertian non fisik atau abstrak adalah institution, suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam arti sederhana, pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa dan mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.
Jadi, yang dimaksud dengan Lembaga Pendidikan adalah lembaga atau tempat berlangsungnya proses pendidikan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku individu ke arah yang lebih baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar.
Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Pendidikan keagamaan sudah ada di Indonesia. Salah satunya Pendidikan Islam yang cukup terkenal di Jawa Timur pada masa penjajahan Belanda tepatnya pendidikan yang berdiri di Tebuireng, yaitu pesantren yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1904 M. Pada mulanya hanya diajarkan agama dan bahasa Arab, kemudian setelah berdiri madrasah salafiyah yang memasukkan ilmu-ilmu umum, seperti ilmu bintang, ilmu bumi dan lain-lain. Pondok Pesantren Tebuireng terdiri atas empat bagian, yaitu: Madrasah Ibtidaiyah (lamanya 6 tahun), Madrasah Tsanawiyah (3 tahun), Mualimin (5 tahun), Pesantren dengan sistem halaqah. Pendidikan Islam di Jawa Timur pada masa penjajahan Belanada tidak terlepas dari pengaruh organisasi Nahdhatul Ulama yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (3 Januari 1926) di Surabaya. Selain itu, di Yogyakarta juga lahir pendidikan pesantren di Krapyak dan Kweekschool Muhammadiyah, Mualimat dan Tabligh School, pada masa penjajahan Belanda banyak didominasi oleh organisasi Muhammadiyah. Diantaranya yang terkenal adalah. Model pendidikannya dengan menggabungkan antara pelajaran umum dengan agama. Bahkan pada tahun 1905 di Batavia melahirkan madrasah tertua yaitu Jamiat Kheir mulai dari tingkat Tahdiriyah (1 tahun), tingkat Ibtidaiyah (6 tahun), tingkat Tsanawiyah (3 tahun), Bagi lulusan terbaik Tsanawiyah bisa melanjutkan ke Mesir atau Mekkah. Madrasah lain yang juga punya andil besar bagi pendidikan Islam adalah madrasah Al-Irsyad yang didirikan pada tahun 1913.
Pendidikan keagamaan tidak hanya tumbuh di Batavia, namun pada perkembangannya juga menjamur di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Kebanyakan madrasah di Sulawesi pada mulanya dipimpin oleh guru-gur agama dari Minangkabau dan Yogyakarta. Madrasah yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan adalah madrasah Amiriyah Islamiyah di Bone. Mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini meliputi pelajaran agama dan pelajaran umum. di Kalimantan pada masa penjajahan Belanda adalah madrasah Najah Wal Falah di Sei Bakau Besar Mempawah. Didirikan pada tahun 1918 M., setelah itu berdiri madrasah Perguruan Islam Assulthaniyah di Sambas pada tahun 1922 M.
Perjalanan sejarah pendidikan keagamaan di era penjajahan Belanda lenyap setelah Jepang berada di Indonesia. Mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Tujuan Jepang ke Indonesia adalah menjadikan Indonesia sebagai sumber daya alam dan sumber daya manusia melalui penanaman ideologi baru yang disebut dengan Ideologi Hakko Ichiu atau ideologi bersama di Asia Timur Raya yang sangat besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik. Hal ini sesuai dengan cita-cita politik ekspansinya.
Meskipun demikian rakyat Indonesia tetap bergelora untuk lepas dari belenggu penjajahan melalui revitalisasi pendidikan keagamaan yang ada. Untuk memperbaiki keadaan ini, masyarakat Indonesia harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang yang berakhlak dan berkaratkter untuk memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan. Namun pendidikan keagamaan tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar dan menjunjung semangat keIndonesiaan, sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam Indonesia.
Penekanan pada pendidikan keagamaan merupakan salah satu tradisi dalam agama-agama yang ada di Indonesia dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi negara sebagaimana termaktub dalam pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Sehingga tidak jarang persoalan pendidikan kegamaan seringkali dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu, pendidikan keagamaan juga merupakan tahap penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat serta guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia. Betapapun baiknya reformasi pendidikan, jika sistem pendidikan keagamaan belum diberikan ruang yang cukup besar terhadap dinamika kebangsaan maka akan sangat sulit dilahirkan situasi dan kondisi yang baik sesuai dengan kerangka epistemologi dan pandangan hidup bernegara. Dengan menekankan pendidikan keagamaan maka kekurangan yang terjadi saat ini terutama problematika kebangsaan dapat diperbaiki. Agar pendidikan dapat mengarah kepada pengembangan individu, maka sebuah pendidikan harus dapat merefleksikan dari insan kamil yang mengarah kepada pembentukan insan kamil. Hal inilah yang membedakan peran pendidikan keagamaan dengan pendidikan Barat yang hanya mencerminkan ketinggia logika manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada”.
Dengan melihat realitas dan urgensi pendidikan keagmaan dalam problematika kebangsaan diatas, maka pendidikan keagamaan menjadi sangat dibutuhkan dalam menjiwai kehidupan bernegara. Tak heran jika dalam Pancasila, dimensi ketuhanan menjadi hal yang utama serta menjiwai sila yang lainnya. Selain itu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) mensyaratkan bahwa: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan Sistem Pendidikan Nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran/kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu:
Untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama;
Dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama;
Pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai
Dalam PP. No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Sedangkan tujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang
Dengan demikian, kurikulum, silabus dan materi ajar yang terangkum dalam tujuan instruksional khusus dan umum menjadi penting untuk dicermati mengingat sistem pendidikan agama telah dikonstruks dalam bentuk yang formal. Ada tiga persyaratan pokok pembentukan kurikulum yang ideal;
Bersifat universal agar bisa berinteraksi dengan peradaban sejagad;
Bersifat developmental dan efektif karena harus memperhitungkan tugas perkembangan manusia dari segi kebutuhan dan minat;
Mempunyai relevansi dengan budaya yang sesuai dengan domain di mana ia beroperasi.
Kriteria pembentukan kurikiulum kegamaan ini penting untuk memperkuat pondasi bernegara yaitu kebhenika tunggal ikaan. Karena bilamana kurikulum pendidikan agama tidak sesuai dengan realitas sui generis Indonesia yang plural, baik dari latar belakang agama, etnik, ras maupun budaya, maka dikhawatirkan akan makin menebalkan sikap ekslusivistik peserta didik dalam melihat pemeluk agama lain.
Pendidikan Keagamaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (3) berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Atas dasar amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 menyatakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahan Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan Sistem Pendidikan Nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 37 ayat (1) mewajibkan Pendidikan Agama dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Pendidikan agama pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut “Pendidikan Agama”. Penyebutan pendidikan agama ini dimaksudkan agar agama dapat dibelajarkan secara lebih luas dari sekedar mata pelajaran/kuliah agama. Pendidikan Agama dengan demikian sekurang-kurangnya perlu berbentuk mata pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama untuk menghindari kemungkinan peniadaan pendidikan agama di suatu satuan pendidikan dengan alasan telah dibelajarkan secara terintegrasi. Ketentuan tersebut terutama pada penyelenggaraan pendidikan formal dan pendidikan kesetaraan.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 12 ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu:
Untuk menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama;
Dengan adanya guru agama yang seagama dan memenuhi syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik yang berbeda agama tapi belajar pada satuan pendidikan yang sama;
Pendidikan agama yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan kesepakatan bersama pihak-pihak yang mewakili umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik agama masing-masing. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa warga Indonesia merasa butuh dengan adanya pendidikan agama.
Agama memberikan motivasi hidup dan kehidupan serta merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting. Oleh karena itu, agama perlu diketahui, dipahami, diyakini, dan diamalkan oleh manusia Indonesia agar dapat menjadi dasar kepribadian sehingga dapat menjadi manusia yang utuh.
Kata Keagamaan berasal dari kata agama, yang artinya segenap kepercayaan (kepada Tuhan atau dewa) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Harun Nasution menjelaskan bahwa Agama berasal dari kata din, religi dan agama. Din berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab kata ini mengandung pengertian menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Dari kata religi (latihan, relegere) berati mengumpulkan dan membaca. Kemudian relege berarti mengikat.
Agama dengan segala ajaran yang dibawanya memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku para penganutnya. Hanya saja pengaruh ini tidak serta merta tertanam dalam diri masing-masing umat beragama tanpa diupaya penanaman pemahaman agama tersebut. Di sinilah urgensi pendidikan keagamaan dilakukan terhadap generasi umat beragama. Makanya, dalam PP. No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Sedangkan tujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Dari tujuan dan fungsi pendidikan agama dan keagamaan makna pendidikan mampu dipahami, tidak sampai tereduksi atau distorsi menjadi sekadar pengajaran. Padahal, Pembukaan UUD 1945 – bagian dari konstitusi kita yang dianggap paling bertuah daripada batang tubuhnya sendiri – disebutkan poin utama pendidikan kita adalah “....untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”. Ini jelas mengandaikan adanya transformasi nilai-nilai yang positif yang melampaui dari peran yang dimainkan sekolah. Menurut Azyumardi Azra, perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu negara-bangsa (state-nation) dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga benar-benar siap menyongsong kehidupan. Totalitas pendidikan, dalam konteks ini, meliputi semua jenis pendidikan: informal, formal, dan non-formal. Ketidakberdayaan sistem pendidikan kita secara umum terletak pada penyempitan makna pendidikan sekadar menjadi pengajaran yang kental nuansa formalnya.
Dengan demikian, kurikulum, silabus dan materi ajar yang terangkum dalam tujuan instruksional khusus dan umum menjadi penting untuk dicermati mengingat sistem pendidikan agama telah dikonstruks dalam bentuk yang formal. Ada tiga persyaratan pokok pembentukan kurikulum yang ideal;
Bersifat universal agar bisa berinteraksi dengan peradaban sejagad;
Bersifat developmental dan efektif karena harus memperhitungkan tugas perkembangan manusia dari segi kebutuhan dan minat;
Mempunyai relevansi dengan budaya yang sesuai dengan domain di mana ia beroperasi.
Bila kurikulum pendidikan agama tidak sesuai dengan realitas sui generis Indonesia yang plural, baik dari latar belakang agama, etnik, ras maupun budaya, maka dikhawatirkan akan makin menebalkan sikap ekslusivistik peserta didik dalam melihat pemeluk agama lain. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan agama di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kondisi bangsa ini yang multikultural. Dengan pola demikian, diharapkan generasi bangsa ini mempunyai kesadaran akan tingginya ragam budaya, sehingga sikap umat beragama di Indonesia lebih inklusif berhadapan dengan realitas kehidupan bangsa ini.
Salah satu sistem pendidikan yang diberikan dalam rangka meningkatkan perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis khususnya pada siswa dengan latar belakang agama (Islam) adalah sistem pendidikan pada siswa dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, di mana Pendidikan Agama merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubunganya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. Menurut Zakiyah Dradjat, pendidikan agama Islam merupakan suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh lalu menhayati tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai panduan hidunya.
Proyek membangun kembali peradaban tidak dapat dilakukan hanya dengan melalui satu atau dua bidang kehidupan. Ia merupakan proses bersinergi, simultan dan konsisten. Untuk itu pendidikan perlu disadari bersama sebagai sesuatu yang wajib (fardu ‘ayn) dan merupakan tanggung jawab yang perlu dibebankan kepada seluruh anggota masyarakat Muslim.
Jika menengok sejarah kejayaan Islam di Baghdad, misalnya, kita akan temui gerakan pengembangan ilmu pengetahuan yang bersinergi. Gerakan yang dimulai dengan penerjemahan karya-karya asing, khususnya Yunani itu bukan gerakan sporadis atau gerakan pinggiran. Gerakan itu didukung oleh elit masyarakat Baghdad, seperti khalifah dan putera mahkotanya, pegawai negara dan pimpinan militer, pengusaha, dan sudah tentu ulama dan saintis. Ia bukan proyek kelompok tertentu. Selain itu, gerakan disubsidi oleh dana yang tak terbatas dari perusahaan negara maupun swasta. Yang terpenting, ia dilakukan dengan menggunakan metodologi ilmiah yang akurat dengan alat filologi yang eksak, sehingga terma-terma asing dapat diterjemahkan dengan tepat.
Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu.
Untuk memperbaiki keadaan ini, umat Islam harus mengarahkan target pendidikan kepada pembangunan individu yang memahami tentang kedudukannya baik di depan Tuhan, di hadapan masyarakat dan di dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain pembangunan masyarakat harus dilandaskan pada konsep pengembangan individu yang beradab. Menurut al-Attas pembentukan individu yang beradab tersebut, secara strategis, dapat dimulai dari pendidikan universitas. Namun pendidikan universitas tersebut harus terlebih dahulu diletakkan dan berlandaskan pada interpretasi yang benar sehingga dapat melahirkan sarjana, ulama dan pemimpin Muslim yang mempunyai pandangan hidup Islam.
Perlu dicatat bahwa penekanan pada pendidikan tinggi merupakan salah satu tradisi dalam Islam dan menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dulu. Bahkan, target utama dan misi nabi adalah untuk mendidik individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Penekanan terhadap pendidikan dasar dan menengah sering dikaitkan dengan adanya pengaruh Westernisasi dan modernitas. Selain itu, universitas juga merupakan tahap akhir dari penyiapan pemimpin-pemimpin masyarakat. Di semua negara universitas adalah tempat di mana individu-individu yang menonjol menjalani pendidikan dan latihan, guna mengatasi kemiskinan sumber daya alam dan manusia. Sebenarnya, pendidikan tingkat dasar dan menengah hanyalah persiapan menuju universitas. Betapapun baiknya reformasi pendidikan dasar dan menengah lanjutan, jika sistem pendidikan tinggi, terutama universitas, tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistemologi dan pandangan hidup Islam, ia akan mengalami kegagalan. Dengan menekankan pendidikan tinggi maka kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki.
Agar universitas benar-benar Islami dan merupakan medium pengembangan individu, maka sebuah universitas harus merupakan refleksi dari insan kamil ataupun universal dan mengarah kepada pembentukan insan kamil. Berbeda dari Islam, universitas di Barat mencerminkan keangkuhan manusia. Meskipun mereka juga mempunyai konsep universal, namun karena pengaruh paham humanisme sofistik yang kuat maka manusia diletakkan di atas segala-galanya. Ungkapan Protagoras yang sering mereka kutip adalah bahwa: “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, segala sesuatu yang ada adalah ada, dan segala sesuatu yang tidak ada adalah tidak ada”.
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, permasalahan yang dihadapi masyarakat, dan perbandingan dengan negara lain
Penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan pesantren berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada secara umum berjalan sesuai norma yang ada. Namun demikian terdapat berbagai permasalahan dalam praktiknya. Permasalahan tidak hanya muncul dalam tataran normatif namun juga dalam pelaksanaannya. Diantara kondisi dan permasalahan dalam praktik penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan pesantren, khususnya kesenjangan pendanaan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa dana untuk pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat sebagaimana diamanahkan Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.72 Namun khusus untuk pendidikan dasar (kelas 1-9), pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana untuk menyediakan pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia antara tujuh sampai dengan lima belas tahun tanpa memungut biaya apapun, apakah pendidikan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.73. Untuk mendanai pendidikan ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengalokasikan paling tidak 20% dari anggaran tahunannya (APBN dan APBD) untuk membiayai investasi, operasional dan biaya personil.75
Untuk pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, semua biaya administrasi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini meliputi: investasi lahan, investasi nonlahan, biaya investasi sumber daya manusia, gaji dan insentif dan insentif profesional. Pemerintah daerah, pemangku kepentingan dan pihak asing dapat mendukung pendanaan untuk investasi lahan, investasi non-lahan, investasi sumber daya manusia dan biaya operasional non-personil. Biaya pribadi murid untuk pendidikan adalah tanggung jawab orang tua/wali, namun murid miskin dapat menerima dukungan pendanaan dari pemerintah pusat.76
Untuk pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, hampir semua biaya administrasi pendidikan, termasuk biaya investasi lahan, biaya investasi non-lahan, biaya investasi sumber daya manusia, gaji dan insentif (kecuali untuk insentif profesi) dan manfaat tambahan bagi para pendidik dan staf pendidikan serta biaya operasional non-personil menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas insentif profesi bagi pendidik dan untuk mendukung biaya lain termasuk investasi lahan, investasi non-lahan, investasi sumber daya manusia dan operasi non-personil. Pemangku kepentingan lain dan pihak asing dapat mendukung biaya untuk investasi lahan, investasi nonlahan, investasi sumber daya manusia dan operasi onal untuk non-personil. Biaya pribadi murid untuk pendidikan adalah tanggung jawab orang tua/wali, namun murid miskin dapat menerima dukungan dana dari pemerintah daerah.
Untuk pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat, biaya untuk investasi lahan, investasi nonlahan, investasi sumber daya manusia, gaji pokok dan tambahan, insentif fungsional dan manfaat tambahan harus menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan, sementara insentif profesional bagi pendidik dan biaya operasional non-personil harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemangku kepentingan lain dan pihak asing dapat mendukung pendanaan biaya untuk investasi lahan, investasi non-lahan, investasi sumber daya manusia, biaya operasional personil dan biaya operasional non-personil. Biaya pribadi murid untuk pendidikan adalah tanggung jawab orang tua/ wali, namun murid miskin dapat menerima dukungan dana dari pemerintah pusat atau daerah atau dari penyelenggara pendidikan swasta/masyarakat.
Untuk pendidikan menengah dan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, biaya untuk investasi lahan, gaji dan insentif bagi guru dan tenaga kependidikan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan biaya untuk investasi non-lahan dan biaya operasional non-personil menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan masyarakat, khususnya orang tua/wali murid. Pemerintah daerah, pemangku kepentingan lain dan pihak asing dapat mendukung pendanaan untuk biaya investasi lahan, investasi non-lahan dan biaya operasional non-personil. Biaya pribadi murid untuk pendidikan adalah tanggung jawab orang tua/wali, namun murid miskin dapat menerima dukungan pendanaan dari pemerintah pusat.
Untuk pendidikan menengah dan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat, biaya investasi lahan menjadi tanggung jawab penyelenggara, sedangkan biaya lainnya untuk investasi non-lahan, gaji dan insentif bagi pendidik dan tenaga kependidikan, kecuali untuk insentif profesi dan biaya operasional non-personil menjadi tanggung jawab bersama antara penyelenggara dan orang tua/wali. Pemerintah pusat memberikan subsidi untuk insentif profesi. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemangku kepentingan lain dan pihak asing dapat mendukung pendanaan untuk biaya investasi lahan, investasi non-lahan, investasi sumber daya manusia, biaya operasional personil dan non-personil. Biaya pribadi murid untuk pendidikan adalah tanggung jawab orang tua/wali, namun murid miskin dapat menerima dukungan pendanaan dari pemerintah pusat atau daerah atau dari penyelenggara masyarakat/swasta
Pada tahun 2015 anggaran pendidikan mencapai Rp 408,09 trilyun atau 20,46 % dari APBN. Dari total anggaran pendidikan sebesar Rp 408,09 trilyun, dana pendidikan yang dikelola oleh Pemerintah Pusat sebesar Rp 153 trilyun dan yang ditransfer ke Pemerintah Daerah sebesar Rp 254,8 trilyun. Anggaran pendidikan yang dikelola Pemerintah Pusat tersebut dialokasikan di Kemdikbud sebesar Rp 53,278 trilyun, Kemenag sebesar Rp 49,4 trilyun, kementerian/lembaga lain sebesar Rp 9 trilyun.
Dana pendidikan yang ditransfer ke Pemerintah Daerah terdiri dari anggaran pendidikan dalam DBH (Dana Bagi Hasil) sebesar Rp 1.337 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan sebesar Rp 10,041 triliun, Dana Alokasi Umum (DAU) Pendidikan sebesar Rp 134,970 triliun, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNS Daerah sebesar Rp 1,096 triliun, Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp 70,252 triliun, Dana Insentif Daerah sebesar Rp 1,664 trilyun, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 31, 298 trilyun, dan Dana Otonomi Khusus Pendidikan sebesar Rp 4,234 trilyun.Berikut data Rapat TTerbatas Kemendikbud, tanggal 25 Feb. 2015 dan data Raker Menteri Agama dg Komisi VIII DPR RI tanggal 11 Februari 2015:
Biaya anggaran madrasah (RA, MI, MTs, dan MA) tahun 2015 itu ada 4 uraian kegiatan yang menyedot anggaran kegiatan terbesar, yaitu BOP RA dan BOS untuk MI, MTs, dan MA sebesar Rp. 7,923 trilyun, tunjangan profesi/fungsional/khusus Guru Non-PNS sebesar Rp. 4,373 triliun, bantuan Kartu Indonesia Pintar sebesar Rp. 1,307 trilyun, dan sarana dan prasarana Madrasah sebesar Rp. 1,042 triliun.
Pada tahun 2016, anggaran pendidikan sebesar Rp.424,757 triliun atau 20,02% dari APBN 2016. Pemanfaatan anggaran pendidikan dibagi atas 3 sub sektor, yaitu sektor 1). anggaran pendidikan melalui belanja pemerintah pusatsebesar Rp146,288,40 milyar, 2). anggaran pendidikan melalui transfer daerahsebesar Rp267,887,90 milyar, dan 3). anggaran pendidikan lewat dana pengembangan pendidikan nasional sebesar Rp5.000,00 milyar. Dalam laporan APBN 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan pagu anggaran sebesar Rp49,23 triliun dari sebelumnya Rp53,27 triliun. Adapun, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mendapatkan jatah sebesar Rp 40,6 triliun dari sebelumnya Rp 43,6 triliun. Untuk Kementerian Agama (Kemenag) mendapat pagu anggaran menjadi Rp 57,1 triliun dari sebelumnya Rp 60,3 triliun.
Dana pendidikan yang ditransfer ke Pemerintah Daerah terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) Pendidikan Non-Gaji sebesar Rp. 15.414,40 milyar, DAU Gaji sebesar Rp. 126.673,20 milyar, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp. 10.565, 20 milyar, Dana Alokasi Khusus (DAK) non-Fisik yang terdiri dari; Dana Tambahan Penghasilan Guru (DTPG) PNSD sebesar Rp. 1.020,50 milyar, Tunjangan Profesi Guru (TPG) PNS sebesar Rp. 71.020,40 milyar, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp. 43.923,60 milyar, Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP PAUD) sebesar Rp. 2.281,90 milyar, Dana Peningkatan Pengelolaan Koperasi, UKM, dan Ketenagakerjaan sebesar Rp. 264, 30 milyar, dan terakhir Dana Otsus anggaran Penididikan sebesar Rp. 4.624, 30 milyar.
Untuk tahun 2017, berdasarkan Surat Bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Keuangan Nomor : 0163/M.PPN/05/2016 – S-378/MK.02/2016 tanggal 13 Mei 2016 tentang Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2017, pagu indikatif anggaran Kementrian Agama yang dialokasikan untuk fungsi pendidikan sebesar Rp48,795 triliun atau 82,59% dari total anggaran kementrian sebesar Rp59,08 triliun.
Selain data kepustakaan di atas, dilakukan juga pengumpulan data lapangan terkait RUU tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren yang dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara.
Berikut hasil pengumpulan data di lapangan dari masing-masing Provinsi :
Provinsi Sumatera Barat
Kegiatan dilaksnakan pada tanggal 8 Mei - 11 Mei 2017 Provinsi Sumatera Barat dengan stakeholder yakni Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, MUI Provinsi Sumatera Barat, Kantor Wilayah Kementerian Agama kota Bukit Tinggi, Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi, Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang, dan Pemerhati Pendidikan Keagamaan.
Kanwil Kementerian Agama Kota Bukittinggi
a.1. Lembaga Pendidikan Keagamaan Kota Bukittinggi
Saat ini jumlah guru Pendidikan Agama berjumlah 170 orang dengan rincian 84 orang guru dengan status PNS dan 95 dengan status honorer. Khusus untuk pendidikan tingkat Sekolah Dasar masih kekurangan guru sehingga ada mata pelajaran Agama Islam yang dirangkap oleh guru kelas.
Untuk pendidikan diniyah, jumlah Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) berjumlah 84 unit dengan jumlah guru sebanyak 324 orang dengan klasifikasi 87 orang klasifikasi A, 99 orang klasifikasi B, 111 orang klasifikasi C dan sebanyak 27 orang belum diuji.
Pada Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) berjumlah 36 unit dengan jumlah sanri sebanyak 5.196 orang dengan didukung tenaga pendidik sebanyak 187 orang dengan rincian klasifikasi A 50 orang, klasifikasi B 57 orang, klasifikasi C 70 orang serta 10 orang belum diuji.
Klasifikasi A, yaitu guru yang sudah mengabdi selama 20 tahun ke atas atau memperoleh Nilai 300 ke atas. Klasifikasi B, yaitu yang memperoleh nilai antara 280 sampai dengan 299. Klasifikasi C, yaitu yang memperoleh nilai 279 ke bawah
Di Kota Bukitinggi, ada tiga pesantren yang sangat dikenal masyarakat, yaitu Pondok Pesantren Madinatul Munawwarah di Jl. Abdul Manan, Pondok Pesantren Al Ma’arif di Jl. Koto Selayan, dan Pondok Peantren Bai’aturridhwan di Jl. Bai’aturridhwan no. 4 Tengah Sawah . Pondok Pesantren Madinatul Munawwarah memiliki tenaga pengajar sebanyak 30 orang dengan 183 santri Tsanawiyah (tingkat menengah) dan 62 orang santri Aliyah (tingkat atas). Untuk Pondok Pesantren Al Ma’arif memiliki 14 tenaga pengajar, 62 orang santri Tsanawiyah dan 12 santri Aliyah. Sedang untuk pondok Pesantren Bai’aturridhwan memiliki 19 orang tenaga pengajar, 52 orang santri tsanawiyah, dan 32 orang santri Aliyah.
Kurikulum pendidikan yang digunakan di pendidikan keagamaan Islam Kota Bukittinggi mengacu kepada kurikulum tiga belas (kurtilas) sedang Kurikulum Pendidikan di Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) menggunakan kurikulum yang dibuat sendiri oleh FKDT (Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah) dan BKS (Badan Kerja Sama) TPQ Kota Bukittinggi.
Kurikulum Diniyah Takmiliyah disusun sesuai dengan jenjang pendidikan yang ada, yaitu :
Kurikulum Diniyah Takmiliyah Awaliyah dengan masa belajar 4 tahun dari kelas 1 sampai dengan kelas 4 dengan jumlah jam belajar masing-masing minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu
Kurikulum Diniyah Takmiliyah Wustha dengan masa belajar selama 2 tahun dari kelas 1 sampai dengan kelas 2 dengan jumlah jam belajar masing-masing minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu
Kurikulum Diniyah Takmiliyah Ulya dengan masa belajar 2 tahun dari kelas 2 sampai dengan kelas 2 dengan jumlah jam belajar masing-masing minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu.
Sarana prasarana pendidikan Agama Islam di Kota Bukittingi sudah memadai baik pada sekolah negeri maupun pada sekolah swasta. Namun untuk sarana pelaksanaan pendidikan keagamaan di MDT dan TPQ masih minim karena meski sebagiannya dilaksanakan secara klasikal di ruang belajar yang memadai, juga masih ada yang dilaksanakan di ruangan masjid/musholla. Untuk pendidikan di pondok pesantren dilaksanakan oleh masing-masing pondok pesantren sesuai dengan kondisi sarana prasarana yang ada.
a.2. Problematika Pendidikan Keagamaan di Kota Bukittinggi
Penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan pesantren mayoritas berada dalam naungan Kementrian Agama, khususnya dalam pembinaan dan peningkatan kualitas guru Pendidikan Agama Islam. Di lingkungan Kantor Kementrian Agama Kota Bukittinggi, tugas dan fungsi ini dilaksanakan oleh Seksi Pendidikan Agama Islam dan Seksi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.
Penyelenggaraan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, sebagai turunan atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga yang berwenang untuk menangani lembaga pendidikan Islam di semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan adalah Kementrian Agama, dalam hal ini Ditjen Pendis (Pendidikan Islam).
Namun demikian, di dalam PP itu juga, terutama pada pasal 6 ayat (1), Pemerintah Daerah memungkinkan untuk membantu dalam penyelenggaraan pendidikan agama, termasuk dalam pengangkatan dan pendanaannya. Ketentuan ini senafas dengan penjelasan Pasal 10 huruf f UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, “Daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan sebagainya”.
Karena bunyi kalimatnya “Daerah dapat….” maka kelancaran penyelenggaraan pendidikan keagamaan dan kondisi lapangan para guru madrasah di daerah sangat tergantung dengan kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah setempat. Untuk Kota Bukittinggi sendir sudah ada Keputusan Walikota Bukittingi Nomor 188.45-127-2016 tentang Pemberian Tunjangan Operasional Guru Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah, Taman Pendidikan Qur’an, Taman Kanak-Kanak Qur’an, Taman Pendidikan Seni-Al-Qur’an, Pondok Pesantren dan Garin Masjid/Mushala tahun Anggaran 2016. Dalam putusan Walikota Bukittinggi ini Guru MDTA, Guru TPQ, TKQ, TPSA, Guru Ponpes, Garin Masjid/Mushalla mendapat honor sebesar Rp. 500.000,-/orang/bulan yang dibayarkan per semester. Selain itu bagi guru MDTA dan TPQ mendapat pelatihan, bimbingan teknis dan workshop.
Pemerintah Kota Bukittinggi Tahun Anggaran 2015 juga telah memberikan bantuan hibah kepada Pondok Pesantren Madinatul Munawwarah yang kemudian dipergunakan untuk pembangunan kelas baru sebagai akibat dari jumlah siswa yang terus meningkat sementara ruang belajar masih terbatas. Karena sifatnya hibah maka belum semua pondok pesantren di Kota Bukittingi memperoleh bantuan sebagaimana yang diperoleh Pondok Pesantren Madinatul Munawwarah di atas.
Realita ini terkuak setelah Tim penyusunan Naskah Akademik dan RUU tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren berdialog dengan Kakankemenag Kota Bukitttinggi H. Abrar Munanda, M. Ag didampingi Kasi PD Pontren, Kasi PAIS, Kasi Bimas, Kasi Penyelenggara Syari'ah, Kasi PHU, Kepala KUA MKS, Kepala KUA ABTB, Pimpinan Pondok Pesantren, Pimpinan Ormas Islam FKDT, BKS/TPA/ TPQ Se-Bukittinggi, BKPRMI, Pengawas Pendidikan dan Kadis Pendidikan Nasional Kota Bukittinggi, Selasa, 09/05/2017 di di Aula Kankemenag Kota Bukittinggi. Dalam acara yang bertajuk Pengumpulan data dan penyusunan Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Keagamaan, tertumpahkanlah pelbagai persoalan yang selama ini menyelimuti penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Kota Bukittinggi, seperti;
Sumber daya manusia (tenaga pendidik) yang belum memadai secara kuantitas dan kualitas. Bahkan sudah ada ketentuan guru PNS tidak boleh mengajar di pondok pesantren (Samsu Rizal, pimpinan Pondok Pesantren al-Ma’arif)
Masih minimnya kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan. Bahkan menurut penuturan Kakankemenag Kota Bukitttinggi H. Abrar Munanda, M. Ag, masih ada honor guru TPQ Rp. 100 ribu sampai Rp. 300 ribu. Ada usulan dari kasi Kasi Pendidikan Diniyah Pesantren agar anggaran 20 persen pendidikan itu untuk anggaran gaji gurunya jangan dimasukkan dalam prosentase 20 persen tersebut, jadi gaji guru di luar 20 persen.
Masih ditemukan diskriminasi antara guru agama di madrasah dan guru agama di pesantren. Misalnya, guru yang mengajar ilmu balaghah, ilmu tafsir itu tidak bisa ikut sertifikasi. Karena itu ada usulan agar sertifikasi guru juga berlaku untuk guru pondok pesantren
Belum terintegrasinya kurikulum secara nasional. Selain itu ada keluhan kurikulum yang digunakan yang terlalu banyak ujian-ujian itu bikin siswa capek (Samsu Rizal, pimpinan Pondok Pesantren al-Ma’arif). Bahkan Dinas Pendidikan Bukittinggi mengibaratkan kurikulum yang diterima siswa, khususnya pesantren’ itu ibarat menu makanan itu terlalu banyak menunya. Karena itu ada usulan agar struktur kurikulum pesantren disamakan dengan struktur kurikulum lembaga pendidikan formal tanpa menghilangkan ciri kurikulum lokal. Selain itu ada usulan agar kurikulum yang menjadi ciri khas pendidikan keagamaan diatur dan dibuat standar secara nasional tanpa lagi-lagi, dengan tetap mempertahankan ciri khas keberadaan masing-masing pondok pesantren sesuai dengan kearifan local.
a.3. Ikhtiar mengatasi Problematika Pesantren dan Pendidikan Keagamaan di Kota Bukittinggi
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik, sarana dan prasarana pada pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya yang telah dilakukan antara lain adalah :
Melakukan pemetaan (mapping) sebaran tenaga pendidik pada pondok pesantren dan guru PAI pda sekolah
Menempatkan guru negeri untuk mata pelajaran tertentu pada pondok pesantren melalui satminkal dari madrasah negeri
Mencari peluang bantuan untuk pengembangan sarana prasarana pendidikan kepada berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta.
Selain itu, Kementrian Agama RI kantor Kota Bukittinggi mengusulkan beberapa materi muatan yang perlu diatur dalam RUU tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren sebagai berikut;
Kurikulum
Kriteria pendidikan keagamaan
Pendidikan diniyah dan pondok pesantren
Pengembangan SDM pendidikan diniyah dan pondok pesantren
Hak dan kewajian yang jelas antara yayasan dengan pondok pesantren
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat
Secara umum, gambaran sistem pendidikan pada lembaga pendidikan keagamaan sama dengan pendidikan dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena yang menjadi landasan penyelenggaraan pendidikan mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Namun, kondisi di lapangan terkait pendidikan umum dan keagamaan dikelola oleh 2 kementerian. Hal ini menjadi masalah ketika otonomi daerah seperti saat ini dimana pendidikan keagamaan masuk ke dalam bidang agama dan bukan pendidikan umum sehingga masih berada di naungan Pemerintah Pusat.
Hal ini berimplikasi pada beberapa aspek yang terdapat perbedaan seperti keadaan sarana prasarana dan jumlah pendidik yang terbatas sehingga berpengaruh pada proses pembelajaran di lembaga pendidikan keagamaan. Salah satu problematika dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Sumatera Barat yaitu belum lengkapnya sarana dan prasarana serta tenaga pendidik dan kependidikan di madrasah sehingga sulit bersaing dengan sekolah umum untuk memasuki perguruan tinggi favorit di Indonesia. Kondisi tersebut memiliki kesan negatif terhadap Pemerintah Daerah. Dinas Pendidikan bukannya tidak mau membantu tetapi tidak memiliki kewenangan karena pendidikan keagamaan merupakan aset Kementerian Keagamaan sehingga tidak bisa dalam mempertanggungjawabkan penggunaan anggarannya.
Selain itu, berkaitan dengan pembiayaan yang berasal dari Pemerintah Daerah, saat ini belum dapat dilakukan semaksimal mungkin karena keterbatasan anggaran Pemerintah daerah Sumatera Barat. Kebijakan anggaran di masa yang akan datang khususnya terkait belanja modal Pesantren dan Pendidikan Keagamaan harusnya bisa diletakan di aset pemerintah daerah agar dinas bisa ikut menjalankan pendidikan tersebut karena selama ini, penyelenggaraan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren mayoritas berada dalam naungan Kementerian Agama, sehingga Pemerintah daerah tidak berwenang untuk mengurusinya. Yang bisa dilakukan hanyalah memberikan hibah. Menurut narasumber, masalah ini bukan berada pada Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah bidang pendidikan tetapi di Peraturan Pemerintah mengenai anggaran.
Oleh karena itu, hingga saat ini belum ada kebijakan Pemerintah Daerah terhadap tunjangan guru Pendidikan Agama Islam yang dibayar dengan dana Pemerintah Daerah. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam pendidikan keagamaan dan pesantren di Sumatera Barat saat ini belum ada karena bukan menjadi kewenangannya berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah. Kurikulum yang menjadi ciri khas pendidikan keagamaan dan pesantren di Sumatera Barat adalah kurikulum budaya alam minangkabau dan saat ini sedang disempurnakan menjadi kurikulum muatan lokal yang standar.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik serta sarana dan prasarana pada Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah dengan berupaya melengkapi sarana prasarana pada madrasah yang ada di Sumatera Barat. Selain itu, hubungan dan bentuk kerjasama lembaga pendidikan keagamaan dengan luar negeri belum terjalin dengan baik karena hanya beberapa lembaga besar saja yang bisa menjalin kerjasama yang berkesinambungan.
Pada dasarnya, UU Sisdiknas dan peraturan pelaksanaannya sudah cukup memadai dalam mengatur penyelenggaraan pendidikan baik di sekolah maupun madrasah, tinggal pengelolaannya yang perlu dibenahi. Berdasarkan hal tersebut, Dinas Pendidikan Sumatera Barat berpendapat tidak perlu mengatur dalam RUU yang khusus tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren karena UU Sisdiknas pada dasarnya sudah mampu membuat pendidikan keagamaan melaksanakan fungsinya dengan baik tinggal pengelolaannya saja yang perlu diperhatikan. Selanjutnya, bila perlu semua penyelenggaraan pendidikan baik sekolah maupun madrasah serahkan saja ke pemerintahan daerah. Selain itu, narasumber berpendapat agar pendidikan sebaiknya berada di bawah satu kendali agar tidak terjadi interest atau kepentingan. Saat ini, dinas pendidikan tidak bisa undang guru-guru keagamaan untuk mengikuti diklat yang diselenggaranakan oleh dinas pendidikan. Pendidikan keagamaan seharusnya masuk skema otonomi yang diurus oleh pemerintah daerah. Hal seperti ini mencerminkan bahwa kebijakan di Indonesia masih parsial dan belum komprehensif.
IAIN Bukittinggi (Dr. Iswantir M., M.Ag - Dosen IAIN Bukittinggi)
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan Pasal 1 ayat (2) Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Ayat (3) Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Dan ayat (4) Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
Pesantren dan pendidikan keagamaan lain memiliki sejarah yang panjang, serta memiliki dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren dan pendidikan keagamaan memiliki basis dan akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat Islam, apalagi dalam masyarakat Sumatera Barat yang memiliki slogan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Sampai saat ini lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren selalu menjadi pilihan masyarakat untuk menjadi tempat pendidikan bagi anak-anak mereka. Lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren memiliki peran yang sangat besar dalam melahirkan lulusan yang memiliki pemahaman ilmu keagamaan yang handal. Lulusan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren sudah teruji kehandalannya dalam kehidupan masyarakat.
Pesantren dan pendidikan keagamaan lain sampai saat ini memang masih eksis, akan tetapi tentu tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren masih memiliki berbagai persoalan. Persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yakni problem internal maupun eksternal.
c.1.Problematika Internal
Pengelolaan
Pengelolaan pesantren dan pendidikan keagamaan lain sudah ada yang dikelola secara baik, dengan manajemen yang modern. Akan tetapi masih banyak pesantren dan pendidikan keagamaan yang belum dikelola secara baik. Pengelolaan yang belum baik ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yakni : disharmoni antara yayasan dan pimpinan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren, SDM yang kurang memadai, fasilitas pendukung yang belum representatif, dana, dsb. Apalagi pada lembaga pendidikan diniyah, masih banyak dikelola oleh tenaga-tenaga yang kurang, bahkan tidak professional sama sekali, bahkan hanya dikelola secara sederhana saja. Bahkan memang terjadi dualisme pengelolaan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren, maksunya adalah bahwa ada lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren berinduk ke dinas pendidikan dan ada yang di bawah kementerian agama.
Kurikulum dan Proses Pembelajaran
Kurukulum dan proses pembelajaran pesantren dan pendidikan keagamaan sangat beragam sekali, sesuai dengan jenis dan corak masing-masing. Akan tetapi yang perlu dicermati adalah beban kurikulum pada lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren yang sangat banyak, mulai dari kurikulum pondok, kurikulum kementerian agama, dan kurikulum dinas pendidikan. Pemakaian kurikulum ini dilakukan pesantren dan pendidikan keagamaan adalah untuk mengakomodir tuntutan masyarakat serta untuk menjaga eksistensinya. Akan tetapi, tentu ini berakibat pada proses pembelajaran yang diikuti oleh peserta didik sangat banyak sekali.
Banyak kasus bahwa pesantren dan pendidikan keagamaan yang melakukan proses pembelajaran mengacu kepada kurikulum dinas pendidikan. Hal ini dapat di lihat dari lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren, khususnya beberapa pondok pesantren, akan tetapi kurikulumnya mengacu kepada kurikulum dinas pendidikan. Induknya yang mengayominya tetap pondok pesantren, akan tetapi secara kurikulum mengacu ke Dinas Pendidikan.
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Kompetensi Guru dan Tenaga Kependidikan
Kompetensi guru dan tenaga kependidikan pada beberapa pesantren dan pendidikan keagamaan sudah mulai baik, terutama pada pesantren dan pendidikan keagamaan yang sudah bonafit. Akan tetapi, pada pesantren dan pendidikan keagamaan yang belum bonafit, masih banyak ditemukan rendahnya kompetensi guru dan tenaga kependidikan, bahkan masih banyak yang di bawah standar pendidik dan tenaga kependidikan, baik dari segi pendidikan, profesionalisme, dan sebagainya.
Sertifikasi Guru
Guru pada pesantren dan pendidikan keagamaan masih banyak yang belum disertifikasi. Bagi pesantren dan pendidikan keagamaan yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat sangat membutukan tenaga pendidik professional. Dengan disertifikasinya guru-guru pada pesantren dan pendidikan keagamaan, di samping dapat meningkatkan kesejahteraan guru, tentu sangat berdampak pada peningkatan mutu dan kualitas lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan.
Pemerataan Guru
Akhir-akhir ada kebijakan bahwa guru-guru PNS yang mengajar di pesantren dan pendidikan keagamaan, harus memiliki jam mengajar di sekolah-sekolah negeri (MIN/MTsN/MAN). Hal ini tentu sangat berdampak pada lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan. Selama ini pesantren dan pendidikan keagamaan sangat terbantu dengan guru-guru PNS yang diperbantukan pada lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan. Kebijakan ini dapat juga berakibat terhadap mutu dan kualitas lembaga pendidikan, terutama pada pesantren dan pendidikan keagamaan yang belum mandiri.
Gaji Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Salah satu yang menyebabkan mutu dan kualitas pesantren dan pendidikan keagamaan adalah rendahnya gaji pendidik dan tenaga kependidika. Masih rendahnya imbalan yang diterima oleh pendidik dan tenaga kependidikan mempnegaruhi semangat dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan. Bahkan masih ada pendidik dan tenaga pendidikan yang memperoleh gaji di bawah UMR, tentu ini sangat berdampak pada etos kerja dari pendidik dan tenaga kependidikan.
Siswa
Problem yang sering dihadapi oleh pesantren dan pendidikan keagamaan adalah masalah siswa. Permasalahan ini dapat dari rendah kemampuan input siswa yang masuk ke lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren, terutama pada lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan yang belum berkembang, atau lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan yang hidup seadanya (belum bonafit). Latar belakang ekonomi dari siswa yang pada umumnya berlatar belakang dari kalangan masyarakt ekonomi rendah, tentu ini menjadi problem mendasar bagi lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren dalam peningkatan mutu dan kualitas pembelajaran dan lulusannya.
Sarana dan Prasarana
Lokal
Permasalahan pesantren dan pendidikan keagamaan yang perlu perhatian serius adalah sarana prasarana lokal. Permasalahannya, baik dari ketersediaan lokal yang representatif untuk belajar, jumlah lokal, perawatan lokal, serta media yang dibutuhkan belajar yang harus ada dalam lokal.
Asrama
Alhamdulillah beberapa lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan sudah mendapatkan program bantuan Rusunawa, akan tetapi masih banyak pesantren dan pendidikan keagamaan yang belum memiliki sarana prasarana asrama yang memadai, baik gedung, tempat tidur dan kasur, MCK, dsb. Animo masyarakat yang memasukkan anaknya ke pesantren dan pendidikan keagamaan yang besar, tidak bisa terakomodir, karena minimnya sarana dan prasarana asrama.
Perpustakaan
Perpustakaan sebagai pusat/jantungnya ilmu pengetahuan pada lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren masih belum memadai, baik dari segi gedung maupun referensi dan sarana yang memadai.
IT
Informasi dan teknologi pada lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan masih sangat membutuhkan perhatian dan keseriusan dalam peningkatan mutu dan kualitas lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren. Saat ini masih banyak ditemukan lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan yang di dukung oleh IT yang memadai, bahkan tidak memiliki sarana IT sama sekali.
Laboratorium
Laboratorium yang lengkap dan memadai untuk mendukung proses dan kualitas pembelajaran masih sangat sederhana, bahkan tidak mempunyai laboratorium sama sekali, yang ada hanya menjadikan lokal belajar untuk melakukan berbagai praktek dengan alat yang seadanya. Oleh karena itu, Pesantren dan pendidikan keagamaan perlu dilengkapi dengan laboratorium dengan sarana dan alat yang memadai, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang kompeten.
Lokasi
Lokasi pesantren dan pendidikan keagamaan masih ditemukan berbagai permasalahan. Permasalahan mendasar adalah luas tanah pesantren dan pendidikan keagamaan yang masih belum memadai, karena belum memiliki tanah yang luas, bahkan banyak yang tidak memiliki lokasi yang memadai untuk melakukan kegiatan olah raga, berkebun, peternakan, dsb. Permasalahan lain adalah lokasi yang kurang strategis, minimnya akses transportasi, sehingga mengurangi animo masyarakat untuk memasukkan anaknya lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren. Lokasi yang masih bersifat sewa, sehingga kurang memberikan kenyamanan dan kepastian masa depan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Sarana Ibadah
Beberapa pesantren masih memiliki permasalahan dari segi sarana ibadah, baik ketersediaan sarana ibadah (masjid), maupun sarana pendukung untuk melakukan ibadah secara baik, seperti tempat wudhuk, wc, termasuk luas sarana ibadah yang representative.
c.2. Problematika Eksternal
Masyarakat
Problematika pesantren dan pendidikan keagamaan yang berasal dari masyarakat, dapat di lihat dari : pertama, pilihan masyarakat terhadap lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren yang menjadi pilihan kedua setelah lembaga pendidikan lain, walaupun diakui bahwa sebahagian masyarakat sudah menjadikan pesantren dan pendidikan keagamaan menjadi pilihan utama, akan tetapi masih ada sebahagian masyarakat yang menjadikan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren menjadi pilihan kedua. Kedua, Masyarakat masih menganggap bahwa biaya pendidikan pada lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren masih termasuk mahal, terutama bagi kalangan masyarakat tertentu. Ketiga, Kepedulian masyarakat terhadap pesantren dan pendidikan keagamaan yang belum tinggi, sehingga mempengaruhi eksistensi dan penyelenggaraan pendidikan pada pesantren dan pendidikan keagamaan.
Perhatian Pemerintah
Perhatian pemerintah akhir-akhir ini sudah sangat dirasakan oleh lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan, akan tetapi tentu perlu ada peningkatan dalam memperbaiki mutu dan kualitas lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren. Otonomi daerah, di satu sisi memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikannya, akan tetapi pada daerah-daerah tertentu yang PAD-nya rendah ini menjadi problem. Lembaga-lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan, bisa dikatakan sangat minim mendapat perhatian dan keseriusan yang pemerintah daerah, baik dari bantuan dana, sarana prasarana, dsb. Oleh karena itu, memang perlu ada regulasi khusus yang dapat memberikan peluang kepada pemerintah daerah untuk memberikan perhatian dan keseriusan dalam peningkatan lulusan dari lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya.
Kerja Sama
Peningkatan mutu dan kualitas lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan, tidak dapat tidak harus didukung oleh jaringan dan kerjasama dengan berbagai pihak. Saat ini disadari bahwa beberapa lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan masih sangat minim dengan kegiatan membangun jaringan dan kerjasama, baik akademik maupun non akademik untuk meningkatkan mutu lulusannya. Minimnya jaringan dan kerjasama ini tentu sangat tergantung oleh SDM dan pendanaan yang memadai.
Lembaga Pendidikan lain (SMP/SMA yang bercorak pesantren)
Problem yang muncul akhir-akhir ini bagi lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan adalah munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola lembaga Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah, terutama setingkat SMA yang mengambil pola lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren, baik dalam bentuk siswanya di asrama, pemisahan lokal laki-laki dan perempuan, program tahfiz, dsb. Program ini kenapa menjadi problem bagi lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren adalah karena secara pengelolaan dikelola oleh pemerintah, dengan SDM, sarana prasarana dan fasilitas yang memadai, bahkan siswanya dikasih beasiswa penuh oleh pemerintah daerah. Lama kelamaan akan terus terjadi kesenjangan antara lembaga yang dikelola oleh lembaga pemerintah dengan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren. Di samping itu, tentu ini juga menjadi ancaman serius bagi lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren ke depan. Apabila lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren tidak memiliki SDM, Sarana dan prasarana, serta beasiswa yang tidak ada, tentu dapat menurunkan mutu dan kualitas lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan itu sendiri.
Bantuan Dana
pesantren dan pendidikan keagamaan masih mengalami kesulitan dalam mendapatkan bantuan dana dari pihak luar. Lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan lebih banyak tergantung dari dana yang diperoleh dari peserta didik. Hal ini tentu mengakibatkan perkembangan pesantren dan pendidikan keagamaan lambat. Walaupun beberapa lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan sudah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat atau lembaga donator, akan tetapi ini masih belum memadai sekali, terutama bagi lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan yang tidak memiliki jaringan dan SDM untuk mencari sumber-sumber pendanaan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan masih memiliki problem yang memerlukan perhatian serius, baik dari segi internal maupun eksternal. Oleh karena itu, untuk tetap eksisnya pesantren dan pendidikan keagamaan pada masa yang akan datang diperlukan kebijakan-kebijakan pemerintah dan regulasi-regulasi yang mampu mendorong mutu dan kualitas lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan dalam bentuk UU.
Provinsi Jawa Timur
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan dalam rangka mendapatkan masukkan terkait RUU tentang Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan yang dilaksanakan pada tanggal 8 s.d 13 Mei 2017 di Provinsi Jawa Timur dengan stakeholder: Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Timur, UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur.
Pesantren Lirboyo Kediri
Kunjungan tim BKD setiba di Ponpes Lirboyo-Kediri Jawa Timur pada hari Senin, 8 Mei 2017 pukul 17.00 s/d 20.30 diterima dengan hangat di ruang Muktamar oleh segenap jajaran pengurus dan pengasuh Ponpes yaitu KH. Athoillah S. Anwar. Secara sistimatis tim Ponpes telah menejawab berbagai pertanyaan yang telah dikirim oleh tim BKD. Pertanyaan secara sistimatis telah dijawab secara tertulis, sebagaimana terlampir. Kemudian dalam pertemuan tersebut dilakukan pendalaman untuk mengekspolor kebutuhan informasi dan materi yang kemudian dapat diformulasikan sebagai berikut:
Secara umum Ponpes Lirboyo menyambut baik dan mendukung keberlanjutan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dengan harapan terdapat perhatian negara pada: a) sistem pendidikan diniyah salaf yang telah berkembang di Ponpes Lirboyo semaksimal mungkin dapat terjaga kualitasnya; b) pendidikan diniyah yang bercirikan atau memiliki kekhasan di Ponpes Lirboyo yaitu terletak pada penguasaan ilmu alat sebagai sarana memahami bahasa arab sehingga memudahkan untuk memaknai al-qur’an, hadist dan kitab-kitab klasik; c) output santri Lirboyo seyogyanya dari segi legalitas syahadahnya atau ijazahnya mendapat kesetaraan yang permanen untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kalau sekarang ada kebijakan mu’adalah maka hal tersebut lebih di tetapkan supaya mampu memberi daya penerimaan oleh semua perguruan tinggi.
Masukan aspek filosofis disampaikan oleh ustda Muh Al-Jibar pimpinan Institut Agama Islam Tribakti. Pesantren berdiri diatas sejarah dan tradisi, Islam masuk berkat banyaknya pedagang Muslim dari Teluk Persia, India Selatan, dan sejumlah kesultanan dari Indonesia dan Malaysia. Mereka adalah kaum saudagar yang berdagang hingga ke Filipina pada abad ke-14. Karena pesatnya perkembangan Islam, akhirnya didirikanlah provinsi Islam Kesultanan Maguindanao. Di Thailand, sebuah wilayah yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Terdapat minoritas muslim Pattani di wilayah Thailand merupakan sebuah hasil dariperjalanan panjang mengenai keberadaan Kesultanan Islam yang berkuasa sejak beradab-abad silam. Pesantren sebagai cikal bakal berkembangnya Islam di Indonesia sudah dirintis sejak Wali Songo, dan tokoh pahlawan nasional seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Ki Hajar Dewantoro semuanya produk Pesantren. Demikian halnya para tokoh atau ulama mu’tabarah seperti Syikhona Moh.Cholil Bangkalan, KH. Hasyim ‘Asyari Tebu Ireng, KH Abdul Manan Dipomenggolo Tremas, KH. Abdul Karim Lirboyo semuanya mengajar santri untuk menuntut ilmu (thalabul ‘ilmi) dengan model yang dimiliki oleh para Kyai masing-masing. Pesantren waktu dulu juga mengalami pasang surut antara lain karena adanya politik etik kolonialisme. Di Era reformasi pengembangan Pesantren juga di hadapkan pada tantangan ideology transnasional, sehingga dalam Pesantren pun masa kini masih relevan di beri kegiatan ekstrakurikurikuler semacam seminar kebangsaan untuk lebih mencintai tanah air (hubbul wathon). Mencintai tanah air dengn segenap nilai-nilai kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhennika Tunggal Ika ditanamkan dalam bentuk kegiatan sehari-hari seperti di Pesantren Lirboyo ada Badan Kerja yang memiliki tigas masing-masing mulai dari mengabsen, penjaga sepeda, pembersih halaman, yang dilakukan secara bergiliran.
Masukan aspek yuridis supaya RUU ini dikaitkan dengan UU yang sudah ada misalnya UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Pemerintahan Daerah, dan implementasi konstitusi Pasal 31 ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Cantolan Yuridis keberadaan Pesantren salaf juga tidak ditemukan dalam UU Sisdiknas.
Masukan aspek sosiologis disampaikan Gus Athoillah S.Anwar menerangkan beberapa hal:
Secara kelembagaan Ponpes Lirboyo berasal dari nama sebuah desa ‘Lirboyo’ kemudian dijadikan sebutan sebuah Pondok yang didirikan oleh Kh. Abdul Karim pada tahun 1910, yang kini memiliki lembaga Induk berbadan hukum yang dinamai Yayasan Hidayatul Mubtadien. Yayasan ini menangungi Madrasah Hidayatul Mubtadiin. Kemudian di lingkungan Lirboyo para anak cucu Masyayekh juga mendirikan yayasan yang menaungi berbagai bentuk sekolah seperti Yayasan Al-Machrusiyah mempunyai Sekolah Menengah Kejuruan. Pondok Pesantren Salafiy Terpadu Ar-Risalah didirikan oleh H. M. Ma’roef Zainuddin beserta istrinya, bulan Februari tahun 1995 M. Mengelola Pendidikan Alquran, Pendidikan Diniyah, Pendidikan Umum (SD, SMP dan SMA).
Kedudukan kelembagaan Pesantren, Kata Pesantren ini dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 30 ayat (4). Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Kalau merujuk pada Pasal 26 UU Sisdiknas tersebut Pesantren kategori Pendidikan Non Formal. Namun demikian terdapat PP No.55 Tahun 2007 Pasal 14 menyebutkan ‘Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal’.
Secara umum pengajian kitab di pesantren manapun menerapkan dua model pembelajaran :
Sorogan adalah metode pembelajaran siswa/ santri aktif di hadapan seorang guru, dengan cara peserta didik/ santri membacakan materi ajar untuk mendapatkan koreksi dan tashih. Istilah sorogan digunakan untuk sorogan Alquran dan sorogan kitab kuning. Di hadapan seorang guru (biasa disebut Penyorog), seorang peserta didik (santri) membaca kitab kuning beserta maknanya –biasanya menggunakan bahasa Jawa– dengan metode pemaknaan ala “utawi iki iku”. Sedangkan Penyorog menyimak bacaan, mengingatkan kesalahan dan sesekali meluruskan cara bacaan yang benar. Dengan metode pemaknaan “utawi iki iku” semacam ini, terangkum empat sisi pelatihan
Kebenaran harakat, baik harakat mufradat (satu per satu kata) dan harakat terkait i’rab
Kebenaran tarkib (posisi kata dalam kalimat, mirip dengan S-P-O-K {Subyek – Predikat – Obyek – Keterangan} dalam struktur bahasa Indonesia)
Kebenaran makna mufradat (kosakata)
Kebenaran pemahaman dalam masing-masing disiplin ilmu.
Bandongan adalah metode pembelajaran guru aktif dengan cara guru membacakan materi ajar untuk kemudian disimak dan dicatat oleh peserta didik/ santri. Biasanya, dalam sistem bandongan, santri juga membawa kitab kuning untuk kemudian ditulis makna per kata sebagaimana dibacakan oleh guru/ kiai. Dalam pengajian Alquran, sistem bandongan ini sama halnya dengan semaan Alquran.
Pengalaman di Lirboyo menerapkan kurikulum dalam jenjang ke berbagai tingkatan yaitu: 1
Kurikulum Tingkat Ibtidaiyah
No
Mata Pelajaran
Kitab Pelajaran
1
Al-qur’an
Alqur’an
2
Hadist
Bulughul Maram
Al-Arbain An-Nawawiyah
3
Ilmu Tauhid
Aqidatul Awam, Zadul Mubtadi’, dll
4
Fiqh
Fathul Qorib, Sulamut Taufiq, Fasholatan, dll
5
Ilmu Nahwu
Al-‘Imrithi, Aljurumiyah,Al’Awamil,dll
6
Ilmu Shorof
Al’Ial, Al-Qowa’id As-Shorfiyah, dll
7
Ilmu Tajwid
Tuhfathul Athfal, Hidaytus Shibyah,dll
8
Ilmu Akhlaq
At-Tahliyah, Taisirul Khollaq,dll
9
Ilmu ‘Imla’
Qowaidul Imla’
10
Ilmu Kitabah
Pintar Menulis Arab dan Pegon
11
Bahas Arab
T’alimul Lughah Al-Arabiyah
12
Bahasa Indonesia
Buku Bahasa Indonesia
13
Bahas Daerah
Buku Bahasa Daerah
14
Sejarah Islam
Tarikhul Anbiya’
15
Sejarah Indonesia
Pedoman Ke-NU-an
16
Ilmu Hitung
A-BA-JA_DUN
17
Administrasi
Organisasi& Administrasi
Kurikulum Tingkat Stanawiyah
No
Mata Pelajaran
Kitab Pelajaran
1
Tafsir
Tafsirul Jalalain
2
Ilmu Tafsir
Itmam ad-Diroyah
3
Hadist
Riyadhus Sholihin, Bulughul Marom
4
Ilmu Hadist
Al-Baiquniyah
5
Ilmu Tauhid
Ummul Barohim, Al-Jawahirul Kalamiyah, dll
6
Fiqih
Fathul Mu’in
7
Ushul Fiqih
Tashilut Thuruqot, Al-Waraqot
8
Qowaidul Fiqhiyyah
Al-Faroidul Bahiyah
9
Fiqih Mawarist
‘Uddatul Farid
10
Ilmu Mantiq
Sullamul Munawraq
11
Ilmu Balaghah
Al-Jauharul Maknun
12
Ilmu Nahwu
Al-Fiyah Ibnu Malik
13
Ilmu Shorof
Qowaidul I’rob, Al-I’rob
14
Ilmu ‘Arudl
Mandhumul ‘Arudh wal Qowafi
15
Tarikh
Manaqib Aimmatil Arba’ah
16
Ilmu Akhlaq
Ta’limul Muta’allim
Kurikulum Tingkat Aliyah
No
Mata Pelajaran
Kitab Pelajaran
1
Tafsir
Mukhtashor tafsir Ayatil Ahkam
2
Hadist
Aljami’us Shagir
3
Ilmu Tauhid
Mafahim YA, Al-hshun al-hamidiyah
4
Fiqh
Al-Mahalli
5
Ushul Fiqh
Jami’ul Jawami’, Lubbul Ushul
6
Ilmu Akhlaq
Mauidhotul Mu’minin, Salimul Fudhola’
7
Ilmu Balaghah
‘Uqudul Juman
8
Ilmu Falaq
Tashilul Amtsilah
Kurikulum Madrasah I’dadiyah (program pendidikan persiapan)
No
Mata Pelajaran
Kitab Pelajaran
1
Al-Qur’an
Al-Qur’an
2
Hadist
Al-Arbain An-Nawawiyah
3
Ilmu Tauhid
Matnu As-Sanusiyah, Aqidatul Awam, dll
4
Fiqih
Fathal Qorib, Sullam Taufiq
5
Ilmu Nahwu
Al-Amrithi, Al-Jurumiyah, Al-‘Awamil
6
Ilmu Shorof
Al’- ‘I’lal, Al-Qowaid As-Shorfiyah, dll
7
Ilmu Tajwid
Tuhfathul Athfal, Hidayatus Shibyan
8
Ilmu Akhlaq
Taisirul Khollaq
9
Ilmu Khothhh
Kitabah (menulis) halus
10
Bahasa Arab
Ta’limul Lughah Al’Arabiyah
11
Imla’
Qawaidul Imla’
Animo santri di Lirboyo dari tahun ke tahun terus meningkat. Lihat Grafik
Kendala yang dihadapi dengan tingginya animo peserta didik yaitu lokal atau ruang kelas yang tidak memadai. Penerimaan murid tahun ajaran 2017 saja mencapai 1.700 santri , sehingga proses belajar 24 jam waktu dibagi dua untuk bergantian belajar yaitu siang dan malam dengan tingkat hunian 60-70 per kelas dengan model duduk di bawah, tradisi pakai sarung, kopyah dan alas menulis pakai kaki bersila.
Guru di Ponpes Lirboyo adalah alumni Ponpes itu sendiri, supaya jejaring sanad keilmuannya jelas/khas Lirboyo, jadi untuk diniyahnya murni mengambil guru alumni Lirboyo. Dengan mengandalkan para dzuriyyah (anak cucu) pendiri Ponpes bisa melanjutkan membina Ponpes maka menjadi kiat/tips tersendiri Ponpes Lirboyo mampu bertahan dari tahun 1910 sampai sekarang.
Ijazah yang diterbitkan Ponpes Lirboyo murni dari daftar nilai disesuaikan dengan pelajaran yang ada dalam tingkatannya. Kendala yang dihadapi adalah Ijazah Lirboyo tidak payu (tidak Laku) kalau untuk melanjutkan pendidikan formal maupun untuk melamar pekerjaan. Sebenarnya sudah ada pemberlakuan Ijazah Mu’adalah yang dilakukan oleh alumni Lirboyo kemudian masuk UIN hanya mau cari Ijazah, sementara keilmuannya seakan mengulang bahkan kualitasnya lebih tinggi pelajaran Pesantren daripada kuliah di UIN misalny. Maka perlu perhatian agar Iajzah Mu’adalah yang ditetapkan hanya setinggi Dirjen bisa lebih dikuatkan untuk dapat menempuh ke jenajng pendidikan tinggi secara setara.
Pembiayaan;
Untuk Guru: gajinya bersumber dari syahriyah (uang bulanan santri) dan bantuan Pemerintah, itupun sebagian guru minta disendirikan pola adiministrasinya.
Untuk operasional sekolah
Untuk ruang kelas tempat belajar Pesantren berusaha untuk mandiri dan swadaya serta berusaha tidak menggunakan dana dari bantuan pemerintah
Dana bantuan pemerintah untuk perpustakaan, lembaga bahsul masail, MCK, Sanitasi, dll.
Kendala pemerintah daerah tidak memfasilitasi Pesantren adalah tidak ada payung hukum.
Standar kompetensi seyogyanya disesuaikan dengan basis kurikulum Pesantren itu sendiri kalau basisnya ilmu alat maka yang menjadi ukuran ya kekuatan ilmu alat. Liroboyo agar keberatyan kalau stndar kompetensinya misalnya terkait dnegan mata pelajaran Bahasa Ingrris, Matematika, IPA dan IPS.
Lembaga Standarisasi juga kalau bisa yang terdiri dari unsure Pesantren yang mengetahui tradisi keilmuan Pesantren.
b. Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur
b.1. Gambaran Sistem Pendidikan pada Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya.
1. Pendidikan Keagamaan Islam Pada Pondok Pesantren
Berdasarkan laporan per semester ganjil TP 2016/2017
NO.
LEMBAGA KEAGAMAAN ISLAM
JUMLAH
Column1
1
Jumlah Pontren Umum
3,635
lembaga
2
Satuan Pendidikan Muadalah
33
lembaga
3
Pendidikan Diniyah Formal
12
lembaga
4
PPS Wajar
469
lembaga
5
Diniyah Takmiliyah
21,193
lembaga
6
Pendidikan Al Quran
30,993
lembaga
Lembaga Keagamaan
Jumlah pesantren sebanyak 3.635 lembaga (sudah termasuk satuan pendidikan Muadalah dan Pendidikan Diniyah Formal serta PPS penyelenggara program wajar 9 tahun), karena syarat mendirikan Satuan Pendidikan Muadalah dan Pendidikan Diniyah Formal harus berada di dalam pondok.
Diniyah Takmiliyah adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Yayasan atau bentuk badan lain maupun oleh pesantren.
Pendidikan Al-Quran merupakan satuan pendidikan belajar membaca, menulis dan menghafal Al-Quran. Yaitu satuan pendidikan yang dibentuk oleh Yayasan atau badan lain.
b. Kurikulum
Telah ditetapkan melalui SK Dirjen Pendidikan Islam tentang Kurikulum pada masing-masing satuan pendidikan keagamaan Islam.
c. Sarana-prasarana
Rata rata pemenuhan sarana-prasarana secara mandiri oleh lembaga pendidikan keagamaan Islam.
d. Tenaga Pendidik
Diperlukan standar kompetensi yang memadai. Belum tersedia tenaga tim akreditasi lembaga pendidikan keagamaan Islam. Belum tersedia pengawas pendidikan keagamaan Islam.
2. Pendidikan Keagamaan Kristen
a. Sistem pendidikan
Gambaran sistem pendidikan Kristen pada Sekolah Keagamaan Kristen di Jawa Timur berdasarkan PP No 55 Tahun 2007 dan PMA No 27 Tahun 2016 tentang Pendidikan Keagamaan Kristen, di Jawa Timur terdapat 11 Lembaga Pendidikan Keagamaan Kristen sebagai berikut :
a. SDTK Pelangi Kristus di Surabaya
b. SDTK Karunia Hidup di Surabaya
c. SDTK Morning Star Academy di Surabaya
d. SDTK Happy Family di Surabaya
e. SDTK Pelita Permai di Surabaya
f. SMPTK Pelangi Kristus di Surabaya
g. SMPTK Karunia Hidup di Surabaya
h. SMPTK Morning Star Academy di Surabaya
i. SMTK Pelangi Kristus di Surabaya
j. SMTK Widya Christy di Nganjuk
k. SMTK Widya Agape di Malang
Lembaga Pendidikan tersebut merupakan Lembaga Pendidikan Formal yang mendapatkan status terdaftar pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur dan juga pada Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama RI, demikian juga untuk Ijin Penyelenggaraannya.
b. Kurikulum
Kurikulum pada Sekolah Keagamaan Kristen tersebut ditetapkan oleh Ditjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI meliputi Kurikulum Pendidikan Umum dan Kurikulum Keagamaan Kristen ( Dogmatika, Sejarah Gereja/Sejarah Suci, Etika, Pembentukan Karakter dan Pendidikan Agama Kristen).
c. Sarana prasarana
Sarana prasarana dari Sekolah Keagamaan tersebut murni dari Yayasan pendirinya sebagaimana yang telah diatur dalam PMA Nomor 7 Tahun 2012 demikian juga dengan tenaga pendidiknya. Namun realita masih banyak tenaga pendidik yang belum memenuhi standar kualifikasi dan tidak linier antara kualifikasi pendidikan tenaga pendidik dengan bidang studi yang diampu, sehingga dihimbau untuk menyesuaikan. Proses pembelajaran dilakukan secara formal reguler dengan jam tatap muka yang memenuhi standar belajar mengajar.
3. Pendidikan Keagamaan Katolik
a. Sistem Pendidikan
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pendidikan keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama. Penyelenggaraan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan terutama bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
b. Kurikulum
Kurikulum pendidikan keagamaan Katolik memuat bahan kajian tentang agama Katolik dan kajian lainnya pada jenjang menengah. Isi dan materi kurikulum yang menyangkut iman dan moral merupakan wewenang gereja Katolik dan/atau Uskup.
c. Sarana Prasarana
Sarana prasarana pendidikan Keagamaan Katolik di Jawa Timur saat ini masih belum memadai karena dengan biaya dari swadaya masyarakat dan bantuan dari Bimas Katolik.
d. Tenaga Pendidik
Tenaga Pendidik jalur pendidikan formal, diisi oleh tenaga pendidik yang latar belakang pendidikannya sesuai dengan Mata Pelajaran yang diampunya, meski ada beberapa yang mengajar dobel mapel, karena kekurangan tenaga pendidik. Pada jenjang pendidikan non formal, rata-rata guru sekolah minggu katolik memiliki latar belakang pendidikan yang kurang (bukan lulusan Sarjana agama) yaitu para tenaga sukarelawan.
e. Proses Pembelajaran
Pada jenjang pendidikan formal Proses pembelajaran dilaksanakan setiap hari Senin-Sabtu.
Pada jenjang pendidikan non formal, yaitu Sekolah Minggu Katolik Dilaksanakan hari Minggu.
4. Pendidikan Keagamaan Hindu
Gambaran Sistem Pendidikan, Kurikulum, Sarana Prasarana, Tenaga Pendidik dan Proses Pembelajaran Pendidikan Keagamaan Hindu:
a. Sistem Pendidikan Keagamaan Hindu
Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Pendidikan Keagamaan Hindu diberi nama Pasraman, yaitu satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal. Jenjang Pendidikan Pasraman pada jalur formal terdiri atas: Pratama Widya Pasraman (TK), Adi Widya Pasraman (SD), Madyama Widya Pasraman (SMP), Utama Widya Pasraman (SMA) dan Maha Widya Pasraman (PT).
Dasar hukum pendirian satuan pendidikan keagamaan Hindu adalah UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dan Peraturan Menteri Agama No 56 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu. Selanjutnya ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Dirjen Bimas Hindu No DJ.V/4/2015Th 2015 tentang Pedoman Pendirian Pasraman Formal, SK Dirjen Bimas Hindu No DJ.V/20/SK/2015 tentang Pedoman Pendirian Pasraman Non Formal, SK Dirjen Bimas Hindu Nomor DJ.V/36/2015 tentang Petunjuk Teknis Pendirian dan Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Hindu Pasraman Formal. Keberadaan Pendidikan Keagamaan Hindu (Pasraman) di Jawa Timur semenjak keluar petunjuk teknis dari Dirjen Bimas Hindu baru berdiri 2 (dua) Pasraman formal terdiri dari Prataman Widya Pasraman (setingkat TK) dan Utaman Widya Pasraman (Setingkat SMA) dan 16 (enam belas) Pasraman Non formal yang telah memiliki tanda daftar serta ijin pendirian dari Dirjen Bimas Hindu.
b. Kurikulum
Kurikulum Pendidikan Pasraman Formal terdiri atas Kurikulum Keagamaan Hindu dan Kurikulum Pendidikan Umum. Kurikulum keagamaan Hindu ditetapkan oleh Dirjen Bimas Hindu sementara Kurikulum Pendidikan Umum disusun oleh penyelenggara Pasraman dengan berpedoman pada Standar Nasional Pendidikan yang ditetapkan oleh BSNP.
c. Sarana Prasarana
Sarana Prasarana Pendidikan Keagamaan Hindu di Jawa Timur saat ini masih belum memadai karena baru berdiri tahun 2016 dengan biaya dari swadaya masyarakat dan bantuan dari Bimas Hindu.
d. Tenaga Pendidik
Tenaga Pendidik juga sangat terbatas semua masih guru swasta yang diangkat oleh Yayasan dan sukarelawan.
e. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran pasraman formal dilaksanakan setiap hari Senin-Sabtu sesuai jadwal di sekolah umum dan sesuai jenjang sekolahnya. Sementara pasraman Non Formal proses pembelajaran setiap hari minggu.
5. Pendidikan Keagamaan Buddha
Gambaran Sistem Pendidikan, Kurikulum, Sarana Prasarana, Tenaga Pendidik dan Proses Pembelajaran Pendidikan Keagamaan Buddha:
a. Sistem Pendidikan Keagamaan Buddha
Pendidikan Agama adalah Pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk Sikap, Kepribadian dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Pendidikan Keagamaan Buddha Formal disebut Dhammasekha. Sedangkan untuk pendidikan non Formal terdiri dari: Pendidikan Widya Dharma, Pabbajja Samanera, dan Sekolah Minggu Buddha.
b. Kurikulum
Kurikulum Dhammasekha terdiri dari Keagamaan Buddha dan kurikulum pendidikan umum. Kurikulum Sekolah Minggu Buddha memuat bahan kajian Paritta/Mantram, Dharmagita, Dhammapada, Meditasi, Jataka, Riwayat Hidup Buddha Gotama, dan Pokok-pokok Dasar Agama Buddha.
c. Sarana Prasarana
Sarana prasarana pendidikan Keagamaan Buddha di Jawa Timur saat ini masih belum memadai karena dengan biaya dari swadaya masyarakat dan bantuan dari Bimas Buddha.
d. Tenaga Pendidik
Tenaga Pendidik juga sangat rata-rata guru memiliki latar belakang pendidikan yang kurang (bukan lulusan Sarjana) yang diangkat oleh Yayasan dan sukarelawan. Tenaga Pendidik pada Sekolah Minggu Buddhis mencakup Bhikkhu/Bhiksu, Bhikkhuni/Bhiksuni, Samanera/Sramanera, Samaneri/ Sramaneri, Pandita, Pendidik Agama, atau yang berkompetensi.
e. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran Dhamamsekha dilaksanakan setiap hari Senin-Sabtu, Sekolah Minggu Buddha di laksanakan hari Minggu.
6. Pendidikan Keagamaan Konghucu
a. Sistem Pendidikan
Pelaksanaan Sistem pendidikan keagamaan Konghucu sesuai dengan Pasal 13 dalam Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007, dimana aturan ini memberikan payung hukum terhadap pendidikan agama dan keagamaan pada periode tahun 2006 – 2010 dan dilanjutkan dengan penyusunan kurikulum serta pengembangannya selama periode tahun 2010 – 2014.
Sesuai dengan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Tahun 2007 pendidikan keagamaan khonghucu berbentuk program sekolah minggu, diskuis pendalaman kitab suci, Pendidikan Guru dan Rohaniwan Agama Khonghucu. Pengelolaan satuan pendidikan keagamaan khonghucu dilakukan oleh Pemerintah, Pemda, dan/atau masyarakat.
b. Kurikulum
Penyusunan Kurikulum Sekolah Minggu di sesuaikan dengan periode tahun pelajaran sekolah formal demikian pula untuk jadwal ujian tengah semester dan akhir semester. Hal ini untuk mengantisipasi peserta didik yang belum memperoleh pendidikan di sekolah sehingga pendidik sekolah minggu dapat memberikan ujian dengan materi yang telah terencana. Kurikulum sekolah minggu berpedoman pada ibadah sepanjang tahun , pembiasaan tata ibadah, mengutamakan pembentukan sikap dan perilaku Junzi melalui pemahaman ayat suci.
Pembagian kelompok usia dalam sekolah minggu di dasarkan pada pertimbangan perkembangan psikologis dan fisik serta bobot materi yang akan di sampaikan meskipun pokok bahasan mirip. Kelompok terdiri dari :
1) Kelompok A : usia 1 -5 tahun ( usia sekolah KB dan TK )
2) Kelompok B : usia 6 – 10 tahun ( usia kelas I, II, III, IV)
3) Kelompok C : usia 11- 15 tahun (usia kelas V, VI, VII, VIII, IX)
Kurikulum sekolah minggu Khonghucu memuat bahan kajian Daxue, Zhongyong, Lunyu, Mengzi, Yijing, Shijing, Chun Qiu Jing, Xiaojing, Sejarah Suci Agama Khonghucu, Tata Agama/ Peribadahan Khonghucu. Adapun kurikulum dari masing masing kelompok ( terlampir )
c. Sarana prasarana
Sesuai pasal 13 PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan sekurang kurangnya untuk 1 (satu) tahun pendidikan/ akademik berikutnya.
Sesuai Pasal 46 ayat 4 PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, tenaga pendidikan pada pendidikan keagamaan khonghucu mencakup Jiaosheng, Wenshi, Xuenshi, Zhanglao, atau yang memiliki kompetensi.
B. Problematika Yang Dihadapi Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan
1. Pendidikan Keagamaan Islam Pada Pondok Pesantren
Dalam penyelenggaraan pendidkan pesantren, masih banyak lembaga yang belum memilik ijin operasional (tidak mengajukan pemutakhiran ijin operasional berdasarkan SK Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI Nomor 5877 tahun 2015 tentang pemutakhiran ijin operasional pondok pesantren). Jumlah pendidikan pesantren yang semula lebih dari 6.500 lembaga namun sejak dikeluarkan edaran tersebut hanya sebanyak 3.635 lembaga pendidikan pesantren yang melaporkan pada semester ganjil 2016/2017.
Pesantren kurang memperhatikan kebijakan pemerintah dalam hal laporan pelaksanaannya tiap semester yang sudah ditetapkan, meskipun ijin operasional diterbitkan oleh pemerintah (kemenag). Contoh: laporan proses belajar tiap semester pada tiap tahun pelajaran. Hal ini kurang diperhatikan karena mereka merasa mampu dan mandiri serta menganggap laporan tidak berdampak pada bantuan yang diberikan oleh pemerintah.
Beberapa permasalahan lain adalah Pondok Pesantren masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Terutama persoalan saran dan prasarana. Pengakuan terhadap lulusan pondok pesantren yang belum mendapat pengakuan dari banyak lembaga. Terbukti dari banyaknya persyaratan yang tidak mencantumkan ijasah pondok pesantren. Rata rata izasah pendidikan formal yang selalu tercantum dalam setiap persyaratan baik dunia kerja maupun pendidikan lanjutan. Salah satu permasalahn yang dihadapi pesantren antara lain adalah lulusan pesantren yang kemudian harus melakukan kejar paket C agar dapat diakui. Selain itu, Belum ada payung hukum aturan teknsi lulusan ponpes yang mau melanjutkan pendidkan di luar negeri.
Penguatan regulasi pengakuan untuk ijasah dari pesntren telah ada dalam PMA 18 Tahun 2014, dan PMA nomor 13 tahun 2014 tentang pendidikan Pesantren dengan adanya pendidikan diniyah formal dan pendidikan muadalah. Pendidikan muadalah ini yang menjadikan solusi ijasah pesantren tetapi ijasahnya di muadalahkan (disamakan) dengan pendidikan formal lainnya. Harapannya ijasah pondok pesantren dapat disetarakan atau diakui secara nasional.
Sarana dan prasarana yang ada pada Pondok Pesantren hingga saat ini masih dikelola mandiri, artinya pengadaannya 90% masih belum ada penguatan dari kementerian agama. Termasuk santri salafiah masih belum dapat BOS. Harapannya disamakan dengan pendidikan lain di Indonesia. Permasalahan tenaga pendidik di pesantren adalah anggapan bahwa tenaga pendidik tidak cukup kompetensinya. Karena syarat untuk menjadi guru adalah minimal lulusan S1 sementara lulusan Pesantren bukan lulusan perkuliahan formal.
Secara standar penyelenggaraan pendidikan, pesantren belum ada tim akreditasi lembaga pendidikan keagamaan pendidikan agama Islam, selain itu belum tersedia juga pengawas lembaga pendidikan agama Islam. Masih banyak pesantren yang belum memiliki ijin operasional. Bantuan pemerintah daerah memang ada tapi tidak banyak seperti BOSDA, ini kerjasama pemprov dengan pemerintah kabupaten yang perbandingannya 50:50 tapi tidak semua kabupaten ada dana sharingnya.
Adanya kesenjangan antara pendidikan yang berada di bawah kemendikbud dengan Kemenag (LPK). Selain itu banyak lulusan yang tidak bisa masuk ujian karena tidak masuk data DAPODIK, tidak diakui karena harus ada nomor induk, banyak yang kyai kecewa dengan sistem pemberlakuan dapodik sementara santri sekarang banyak yang datanya tidak masuk dalam dapodik.
2. Pendidikan Keagamaan Kristen
Problematika yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan antara lain pendidikan yang belum linier dari tenaga pendidik, kurangnya fasilitas dan sarana pendidikan, kurangnya sosialisasi mempengaruhi minat masyarakat, kurangnya siswa, kurangnya dana operasional sebagai penunjang pelaksanaan Pendidikan.
Berbeda dengan katholik, pada lembaga pendidikan kristen, ada banyak gereja dan ada banyak komando, sehingga gereja ada sebagian yang mendirikan sekolah, namun kebanyakan yang didirikan adalah sekolah mereka umum yang berada dibawah dinas pendidikan. Saat ini di surabaya, lembaga pendidikan kristen dibawah naungan kementerian agama ada 11 sekolah yang terdiri dari SDTK 5, SMPTK 3, SMTK 4, namun ada satu yang berada di kota Malang lembaga pendidikan keagamaannya hampir mati karena siswanya berkurang. Kurikulum ditetapkan Dirjen bimas kristen, kurikulumnya khusus untuk keagamaan kristen. Sarana dan prasarana, gedung sekolah masih belum memadai, bahkan masih ada yang untuk menyelenggarakan pendidikan menyewa ruko, atau dipinjami lahan gereja, dan lain sebagainya. Tenaga pendidik di lembaga pendidikan keagamaan karena merea lahir dari semangat pelayanan, hampir semua belum memenuhin kualifikasi pendidikan untuk mengajar, Di Provinsi Jatim belum ada tenaga pendidik yang lulus sertifikasi karena belum ada yang linier dan jumlahnya sangat terbatas.
Selain itu minat masyarakat untuk menyekolahkan anak di sekolah kristen juga sangat kurang. Pendanaan lembaga pendidikan keagamaan masih bersifat mandiri, bantuan atau dana dari pusat sangat sedikit, apalagi dari daerah. Tahun 2017 dana untuk pendidikan keagamaan kristen sudah ada dalam DIPA bantuan pendidikan.
3. Pendidikan Keagamaan Katolik
Gereja katholik di Jatim terdiri dari dua keuskupan, yaitu Malang dan Surabaya. Gereja katholik sangat independen. Di seluruh Indonesia sampai saat ini baru ada satu sekolah yang menjadi sekolah negeri karena yang lain hampir rata-rata sekolah swasta. Mengacu pada PP 55, pendidikan yang non formal dikerjakan oleh gereja kathilok sendiri. Yang sekarang digembar gemborkan seminari yang sejenis RA. Tapi melihat kedepan, ada kemungkinan akan terus berkembang. Dalam penyelenggaraan pendidikan katholik juga ada beberapa pendidikan yang di kelola wanita Katholik Indonesia. Saat ini kesulitan yangd ihadapi adalah kesulitan dalam membiayai, guru.
Dalam kurikulum yang ada di tingkat setara RA di kathilok/TK, kurikulum telah mengikuti yang ada di diknas termasuk sarana dan prasarananya. Namun masih sangat kurang memadai karena sifatnya swadaya. Tenaga pendidik banyak yang tidak tetap, banyak yang merupakan tenaga kontrak, sehingga cukup berat untuk membayar honornya. Guru mengajar bahkan mengajarnya tidak hanya di satu tempat tetapi lintas kecamatan, tidak menerima tujangan profsi guru karena tidak cukup binaannya. Selain itu, animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah/pendidikan keagamaan sangat kurang.
Proses pembelajaran pendidikan keagamaan katholik, untuk sekolah non formalnya ada di sekolah minggu katholik yang siswanya banyak sekali, karena itu pendidikan tambahan, namun untuk sekolah formal bervariasi. Kebijakan anggaran, bantuan ada tapi tidak banyak. Bantuan dari APBD tidak ada. Setiap kali membuat proposal hanya dijanjikan namun realisasinya tidak ada.
4. Pendidikan Keagamaan Hindu
Pendidikan keagamaan Hindu pasraman, pendidikan formal formal disebut dasar sampai pendidikan tinggi ada. Kurikulumnya terdiri agama Hindu dan umum, Hindu ditetapkan oleh Dirjen dan kurikulum pendidikan umum ditentukan sekolah sesuai standar BSNP. Biaya penyelenggaraan pendidikan merupakan swadaya masyarakat, tenaga pendidik masih terbatas masih swasta diangkat yayasan dan swasta. Problem yang dihadapi antara lain adalah pengurusan NPSN belum ada kejelasan, teknis pelaksanaan ujian nasinal yang belum ada, sistem akreditasi belum ada kejelasan, minat masyarakat sementara masih kurang.
Di Pasraman formal, rata-rata siswanya adalah mereka yang tidak ada biaya sekolah untuk belajar di sekolah umum. Kebijakan anggaran lembaga pendidikan keagamaan masih dianggarkan Dirjen Bimas Hindu sangat minin. Implementasi pembiayaan pemerintah daerah sampai saat ini belum sama sekali tersentuh.
5. Pendidikan Keagamaan Buddha
Sampai saat ini sekolah formalnya di provinsi Jatim baru ada 4 yaitu di Surabaya 1, di Blitar ada 3. Ke empat sekolah tersebut masih minim murid. Sementara untuk pendidikan pendidikan non formal disebut sekolah minggu sudah ada 65 pendidikan keagamaan. Dari lembaga pendidikan keagamaan tersebut baru 25 sekolah yang sudah ada ijin operasionalnya yang dinamakan sekolah minggu dari Dirjen Bimas Budha.
Kurikulum pendidikan telah ditentukan oleh Dirjen, Proses pembelajaran senin sampai sabtu. Tenaga pendidik belum terpenuhi kualifikasi Sarjana karena kebanyakan dari lulusan SMA dan D3.
Sarana dan prasaran saat ini belum memadai karena anggarannya masih kurang. Dalam penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan adalah minat masyarakat untuk sekolah di pendidikan keagamaan sangat kurang.
6. Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Problematika yang dihadapi dalam penyelengaraan pendidikan keagamaan Khonghucu antara lain adalah Kompetensi Pendidik Pendidikan Keagamaan (PPK) belum memiliki standar yang sesuai dengan kebutuhan kelompok Peserta Didik(PD). Selain itu pendidikan keagamaan khonghucu belum memiliki materi pembelajaran yang sesuai kebutuhan PD.
Saat ini Bidang Pendidikan Anak dan Remaja MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) sedang menyusun Buku Aktivitas Sekolah Minggu Khonghucu (BASMK) untuk dua kelompok antara lain kelompok A usia 1-7 tahun (terlampir file BASM Kel. A bulan Juli) dan kelompok B usia 8-11 tahun (terlampir file BASM Kel. B bulan Juli). Buku Aktivitas Remaja Khonghucu (BARK) kelompok C usia 12-18 tahun (terlampir file BARK Seri I. Agama Khonghucu Indonesia yang belum di-layout).
Saat ini pengembangan PK belum maksimal disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain pelaksanaan bergantung pada kemampuan MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) menyediakan sarana dan prasarana penyelenggaraan PK dan honorarium PPK serta belum adanya dukungan dari Kemenag untuk honorarium PPK dan pengadaan materi pembelajaran.
Lembaga pendidikan keagamaan dibawah bimas khonghucu masih belum memiliki sekolah formal yang ada adalah pendidikan non formal dengan adanya di sekolah miggu. Dari sisi anggaran DIPA provinsi Jatim untuk pendidikan keagmaan konghuchu tidak ada untuk pendidikan. Pernah dibuat usulan, namun tidak bisa karena belum ada jalur birokrasinya. Kegiatan yang ada di provinsi baru pembianaan umatnya saja yaitu pelayanan umat. Pendidikan masih ditangani oleh sekolah minggu.
Di jawa timur ada umat khonghucu mencapai 10.600 jiwa. Pendidikan khonghuchu baru tercover di sekolah minggu ada 13 lembaga di Surabaya. Untuk sekolah formal belum ada karena saat ini jurusan atau lulusan yang mencetak untuk pendidikan agama konghucu baru berjalan dan belum memiliki lulusan yang mencetak S1 dan itupun batu ada di kota semarang. nya baru ada di semarang.
C. Kebijakan Anggaran Penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Di Daerah Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah
1. Pendidikan Keagamaan Islam Pada Pondok Pesantren
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terkait dengan Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren tercantum pada Pasal 30 ayat (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren.
Dengan demikian kebijakan penganggaran di Jawa Timur, respon dari sebagian pemerintah daerah (Diknas) hanya sebatas yang tertulis dalam undang-undang tersebut yaitu Satuan Pendidikan Diniyah Tamiliyah dan sebagian lagi menganggap bahwa Satuan Pendidikan Al-Quran adalah bagian dari Satuan Pendidikan Diniyah Takmiliyah.
Sedangkan kebijakan anggaran pada pesantren mengacu pada MoU antara Menteri Agama RI dengan kementerian lain, seperti dinas koperasi, kemaritiman dan lain-lain.
2. Pendidikan Keagamaan Kristen
Pendanaan selama ini bersifat mandiri dan belum ada anggaran dari Pemerintah baik Pusat maupun daerah. Tahun 2017 ini baru direncanakan ada bantuan untuk Sekolah Keagamaan Kristen namun belum terealisasi.
3. Pendidikan Agama Katolik
Kebijakan anggaran penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan saat ini masih dianggarkan oleh Ditjen Bimas Katolik namun masih sangat minim sehingga belum bisa membantu secara optimal, baik operasionalnya maupun sarana prasarananya. Ada juga program Bantuan Siswa Miskin (BSM) sudah diterima oleh siswa. Implementasi pembiayaan Pemda terhadap Pendidikan Keagamaan Katolik sampai saat ini belum sama sekali tersentuh baik dalam bentuk hibah ataupun bantuan operasional.
4. Pendidikan Keagamaan Hindu
Kebijakan anggaran penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan khususnya Pasraman untuk saat ini masih dianggarkan oleh Ditjen Bimas Hindu namun masih sangat minim sehingga belum biisa membantu secara optimal, baik operasionalnya maupun sarana prasarananya. Sementara Bantuan Siswa Miskin (BSM) atau Program Indonesia Pintar (PIP) belum masuk program bantuan ke Pasraman. Implementasi pembiayaan Pemda terhadap pendidikan keagamaan (Pasraman) sampai saat ini belum sama sekali tersentuh baik dalam bentuk hibah ataupun bantuan operasional.
5. Pendidikan Keagamaan Buddha
Kebijakan anggaran penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan khususnya untuk saat ini masih dianggarkan oleh Ditjen Bimas Buddha namun masih sangat minim sehingga belum bisa membantu secara optimal, baik operasionalnya maupun sarana prasarananya. Sementara Bantuan Siswa Miskin (BSM) atau Program Indonesia Pintar (PIP) belum masuk program bantuan ke Lembaga Pendidikan Agama Buddha. Implementasi pembiayaan Pemda terhadap Pendidikan Keagamaan Buddha sampai saat ini belum sama sekali tersentuh baik dalam bentuk hibah ataupun bantuan operasional.
6. Pendidikan Keagamaan Khonghucu
Hingga saat ini Khonghucu belum pernah menerima pembiayaan PEMDA terhadap pendidikan keagamaan.
D. Kementerian yang menaungi penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan .
Sebagaimana PP No. 55 Than 2007 Pasal 3 (2) Pengelolaan Pendidikan Agama dilaksanakan oleh Menteri Agama. Dengan demikian kementerian yang berwenang menerbitkan ijin operasional satuan pendidikan keagamaan adalah dari Kementerian Agama RI.
Sekolah Keagamaan Kristen ada dibawah naungan Kementerian Agama RI mulai dari SDTK sampai Sekolah Tinggi Agama Kristen. Sementara Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Katolik untuk penyelenggaraan Pendidikan Kegamaaan Jalur Formal dibawah naungan Kementerian Agama, karena ijin pendirian dan ijin operasional dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Katolik. Yang non formal menjadi kewenangan Gereja Katolik setempat. Semestinya Kemendikbud juga punya peran karena kurikulum yang diajarkan lembaga pendidikan Agama Katolik di samping pendidikan keagamaan juga ada pendidikan umum.
Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan (Pasraman) untuk saat ini dibawah naungan Kementerian Agama, karena ijin pendirian dan ijin operasional dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Hindu. Semestinya Kemendikbud juga punya peran karena kurikulum yang diajarkan pada pasraman di samping pendidikan keagamaan juga ada pendidikan umum. Demikian pula NPSN kewenangan yang mengeluarkan adalah Kemendikbud, namun sampai saat ini belum ada dikeluarkan oleh Kemendikbud.
Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Buddha untuk saat ini dibawah naungan Kementerian Agama, karena ijin pendirian dan ijin operasional dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Buddha. Semestinya Kemendikbud juga punya peran karena kurikulum yang diajarkan lembaga pendidikan Agama Buddha di samping pendidikan keagamaan juga ada pendidikan umum. Sementara penyelenggaraan pendidikan keagamaan Khonghucu di bawah naungan Kementerian Agama melalui BIMAS Khonghucu.
E. Kebijakan Anggaran Pemerintah Daerah Terkait Tunjangan Sertifikasi Guru
Peraturan pemerintah RI nomor 41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehoratan professor, TIDAK MENENTUKAN Kementerian/lembaga/institusi mana yang bertanggungjawab terhadap pembayaran tunjangan profesi bagi guru agama pada sekolah.
Ketentuan tentang Kementerian/lembaga/institusi mana yang bertanggungjawab terhadap pembayaran tunjangan profesi bagi guru agama pada sekolah baru disebutkan dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2010 tentang tata cara pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan professor BAB IV ALOKASI DANA pasal 6:
Ayat (1) Tunjangan profesi bagi guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah kecuali untuk guru pendidikan agama dialokasikan dalam anggaran Kementerian Pendidikan nasional dan/atau anggaran pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) Tunjangan profesi bagi guru pendidikan agama sebagaimana dimaksud ayat (1) dialokasikan dalam anggaran Kementerian Agama.
Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2010 tersebut belum menjelaskan bagaimana dengan guru agama yang berstatus BUKAN PNS?
Kejelasan tentang Kementerian/lembaga/institusi yang berwenang memberikan tunjangan profesi bagi guru pendidikan agama yang berstatus BUKAN PNS dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 73 tahun 2011.
Berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor 73 tahun 2011tentang pedoman pelaksanaan pembayaran tunjangan profesi dan bantuan tunjangan profesi guru/pengawas dalam binaan Kementerian Agama LAMPIRAN angka Romawi II. KRITERIA DAN PERSYARATAN huruf A. kriteria Penerima, bahwa kriteria penerima meliputi:
1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memangku jabatan fungsional
a. Pengawas pendidikan agama
b. Pengawas rumpun (pengawas RA dan madrasah)
c. Guru pada RA dan madrasah
d. Guru agama pada sekolah
e. Guru pada sattuan pendidikan formal lainnya dalam binaan Kementerian Agama
2. Guru bukan Pegawai Negeri Sipil (GBPNS) yang meliputi:
a. Guru pada RA dan madrasah
b. Guru agama pada sekolah
c. Guru pada satuan pendidikan formal lainnya dalam binaan Kementerian Agama
Selanjutnya pada angka Romawi V. SUMBER DANA dinyatakan:
1. Sumber dana untuk pembayaran tunjangan profesi dan bantuan tunjangan profesi guru/pengawas bagi guru PNS yang satuan administrasi pangkalnya madrasah negeri, dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) madrasah negeri yang bersangkutan.
2. Sumber dana untuk pembayaran tunjangan profesi dan bantuan tunjangan pofesi guru/pengawas selain sebagaimanan dimaksud (guru PNS yang satuan administrasi pangkalnya madrasah negeri) dibebenakan kepada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kementerian/lembaga/institusi yang diberikan wewenang untuk pembayaran profesi guru pendidikan agama baik negeri maupun swasta adalah Kementerian Agama dalam hal ini melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota dan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi. Meski demikian jika dikaji secara mendalam masih terjadi permasalahn hukum, antara lain:
Pertama, ketentuan tentang penganggaran (DIPA) tunjangan profesi bagi Guru PAI bukan perintah yang tertulis dalam peraturan pemerintah RI nomor 41 tahun 2009 selaku hukum tertinggi yang mengatur tentang tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan professor.
Kedua, ketentuan mengenai penganggaran (DIPA) tunjangan profesi bagi guru PAI Bukan PNS dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2010 masih bersifat SUMIR (multitafsir) dan dalam batas batas tertentu, Kementreian Pendidikan Nasional dan/atau Pemerintah Daerah pun memiliki kewenangan dan/atau kewajiban untuk menganggarkan, jadi tidak semata mata Kementerian Agama.
Ketiga, penganggaran (DIPA) tunjangan profesi bagi guru PAI bukan PNS oleh Kementerian Agama bersifat alternative dan/atau inisiatif karena ketidakjelasan dari ketentuan Peraturan Menteri Keuangan nomor 164/PMK.05/2010. Hal ini semata mata karena tafsir…bahwa karena guru PAI PNS TPP nya dianggarkan oleh Kementerian Agama, maka anggaran TPP guru PAI Bukan PNS pun dilakukan oleh Kementyerian Agama.
Sebagaimana ketentuan regulasi, tunjangan sertifikasi guru PAI dibebankan pada anggaran (DIPA) Kementerian Agama sehingga segala sesuatu berkaitan dengan tunjangan sertifikasi guru PAI menjadi tanggungjawab Kementerian Agama. Solusinya merujuk ketentuan umum bahwa leading sector pendidikan terletak pada Kementerian Pendidikan dan/atau pemerintah daerah. Maka selayaknya pemerintah daerah pun menganggarkan hal hal terkait dengan tunjangan sertifikasi guru PAI. Dua hal yang perlu dianggarkan seharusnya: pertama, tunjangan profesi guru PAI Buka PNS, sebagaimana ketentuan yang masih summir dalam peraturan Menteri Keuangan nomor 164/PMK.05/2010 maupun Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 2011. Kedua, tunjangan tambahan penghasilan (tamsil) bagi guru PAI yang diangkat oleh Pemda dan guru PAI Bukan PNS yang belum tersertifikasi.
F. Kebijakan Pemda Dalam Memajukan Pengelolaan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan
Kebijakan pemda dalam memajukan pengelolaan lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya hanya sebatas pada acara seremonial dan event-event tertentu seperti perayaan – perayaan maupun pada pelatihan life skill, seperti pelatihan-pelatihan / life skill yang dibina melalui kementerian lain yang membidanginya, itupun tidak sepenuhnya. Sedangkan yang berkaitan komponen utama pendidikan keagamaan Islam yang harus difasilitasi sebagaimana 8 komponen standar nasional pendidikan. Seperti ketenagaan (pengawas, ustadz/ustadza, Badan Akreditasi Pendidikan Keagamaan, sarana proses pembelajaran, dll. Untuk lembaga pendidikan agama Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu belum ada sama sekali baik itu dalam bentuk regulasi/Perda maupun bantuan melalui APBD.
G. Pengaturan kurikulum yang menjadi ciri khas pendidikan keagamaan (tradisi pesantren)
Kurikulum pendidikan keagamaan pesantren, sebagian sudah diterbitkan pada satuan pendidikan keagamaan Islam, seperti SK Dirjen No. 6842 Tahun 2015 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Satuan Pendidikan Mu’adalah Jenis Muallimin. SK Dirjen No. 6843 Tahun 2015 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Satuan Pendidikan Mu’adalah Jenis Salafiyah setingkat Madrasah Aliyah. SK Dirjen No. 6036 Tahun 2015 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Pendidikan Diniyah Formal.
Kurikulum yang menjadi ciri khas pendidikan keagamaan Kristen sudah diatur dan dibuat standar dan sudah dilaksanakan oleh Ditjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI. Kurikulum yang menjadi ciri khas Pendidikan Keagamaan Katholik sangat perlu diatur dan dibuatkan standar sehingga keluaran dari Lembaga Pendidikan Agama Katolik yang ada di seluruh wilayah Indonesia memiliki kesamaan. Kurikulum yang menjadi ciri khas Pendidikan Keagamaan hindu perlu diatur dan dibuatkan standar sehingga output dari pasraman yang ada di seluruh wilayah NKRI ada kesamaan.
Kurikulum yang menjadi ciri khas Pendidikan Keagamaan Budha menurut kami perlu diatur dan dibuatkan standar sehingga output dari Lemabga Pendidikan Agama Buddha yang ada di seluruh wilayah Indonesia terdapat kesamaan. Kurikulum lembaga pendidikan konghucu perlu diatur dan dibuat standar sesuai kelompok usia dan dipergunakan di seluruh Indonesia.
H. Kesenjangan Tenaga Pendidik, Sarana Dan Prasarana Pada Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Lainnya.
Pendidikan keagamaan pada pondok pesantren dapat dilakukan upaya untuk mengatasi kesenjangan yang dilakukan secara mandiri, yaitu melalui badan usaha yang dimiliki pesantren maupun sumber lain yang saholeh lembaga pendidikan keagamaan Islam. Dapat juga menerima dari donator-donatur yang peduli pada pendidikan keagamaan Islam.
Dalam lembaga pendidikan keagamaan pada kristen, sudah ada upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik melalui himbauan dan pembinaan agar melakukan peningkatan kualifikasi, sarana dan prasarana pada pendidikan keagamaan belum memadai. Dalam lembaga pendidikan keagamaan Katholik, upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik, sarana prasarana pada Pendidikan Keagamaan adalah, bagi yayasan mengangkat tenaga pendidik dan mengupayakan pengadaan sarana prasarana sesuai kemampuan.
Ditjen Bimas Katholik dalam tugasnnya memberi pelayanan kepada masyarakat sesuai anggaran yang tersedia memberi bantuan sarana prasarana yang dibutuhkan secara prioritas dan member bantuan Guru Tidak Tetap pada Lembaga Pendidikan Agama Katolik.
Dalam lembaga pendidikan keagamaan Hindu, upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik, sarana prasarana pada Pendidikan Keagamaan adalah, bagi yayasan mengangkat tenaga pendidik dan mengupayakan pengadaan sranaprasarana sesuai kemampuan. Bimas Hindu dalam tugasnnya meberi pelayanan kepada masyarakat sesuai anggaran yang tersedia memberi bantuan sarana prasarana yang dibutuhkan secara prioritas dan memberi bantuan Guru Tidak Tetap pada Pasraman.
Dalam lembaga pendidikan keagamaan Buddha, upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik, sarana prasarana pada Pendidikan Keagamaan adalah, bagi yayasan mengangkat tenaga pendidik dan mengupayakan pengadaan sranaprasarana sesuai kemampuan. Bimas Buddha dalam tugasnnya memberi pelayanan kepada masyarakat sesuai anggaran yang tersedia memberi bantuan sarana prasarana yang dibutuhkan secara prioritas dan memberi bantuan Guru Tidak Tetap pada Lembaga Pendidikan Agama Buddha.
Dalam lembaga pendidikan keagamaan Khonghucu, upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik, sarana dan prasarana pada pendidikan keagamaan adalah dengan membina pemuda/umat Khonghucu sebagai tenaga pendidik sukarela dan mengandalkan dana swadaya MAKIN dalam pengadaan sarana dan prasarana.
I. Hubungan Dan Bentuk Kerjasama Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Dengan Luar Negeri
Hubungan dan bentuk kerjasama lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan dengan luar negeri perlu diatur untuk memfasilitasi dan memberikan perlindungan santri-santri yang sedang belajar di luar negeri maupun sebaliknya. Dalam pendidikan keagamaan kristen belum ada hubungan dan bentuk kerjasama dengan lembaga pendidikan keagamaan dengan luar negeri. Hubungan dan Bentuk kerjasama Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dengan Luar Negeri, perlu adanya aturan yang jelas terutama terkait tenaga pendidik dan bantuan dana dari luar.
Dalam lembaga pendidikan konghucu Hingga saat ini belum ada hubungan dan bentuk kerjasama lembaga pendidikan keagamaan dengan luar negeri. Hampir di semua kota di China terdapat lembaga pendidikan keagamaan Khonghucu atau Shu Yuan yang modern dan sangat diminati oleh para orangtua sebagai pilihan pendidikan karakter bagi putra/putri mereka untuk mengantisipasi dampak era globalisasi. Bapak Budi Wijaya selaku Ketua Bidang Luar Negeri MATAKIN pada tahun 2012-2014 telah mengunjungi beberApa Shu Yuan di Beijing, Qufu, Shenzen, Haikou. MATAKIN belum mengadakan kerjasama karena terkendala dana dan tenaga pendidik yang berminat mengelola (berkaitan dengan kesejahteraan dan masa depan).
J. UU Sidiknas dan peraturan pelaksanaannya dalam pelaksanaan pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 (12) menteri agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Namun yang ada di lapangan bahwa tidak semua Guru Pendidikan Agama pada sekolah Umum tidak semuanya melalui kewenangan Kementerian Agama. Diperlukan legal formal atas ijasah kelulusan pendidikan pesantren yang diterbitkan pesantren untuk diakui oleh pemerintah, khususnya oleh kementerian selain kementerian agama. Juga bagi santri-santri lulusan pesantren yang hanya mengaji dan belum pernah mengikuti program wajib belajar 9 tahun.
UU Sisdiknas dan peraturan pelaksanaannya belum memadai dalam pelaksanaan pendidikan keagamaan, UU sisdiknas dan peraturan pelaksanaannya tidak mengakomodir adanya pendidikan keagamaan baik dalam regulasi maupun implementasinya
K. Perlunya undang-undang khusus yang mengatur mengenai pesantren dan pendidikan keagamaan lain agar pendidikan keagamaan dapat mencapai fungsi dan tujuannya
PP 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Kegamaan sampai saat ini belum diimplementasikan dengan sepenuhnya. Sebaiknya PP 55/2007 ditingkatkan untuk semakin memberdayakan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang sudah ada semakin ditingkatkan kualitasnya dengan memberi bantuan tenaga pendidik yang professional dan member bantuan operasional serta sarana prasarana yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Perlu atau tidaknya Undang-undang bergantung pada kebutuhan, tidak perlu undang-undang khusus yang mengatur Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren, cukup undang-undang yang sudah ada dijalankan dengan baik. Semakin banyak undang-undang semakin membingungkan karena kebanyakan aturan. Yang dipentingkan bagaimana memberdayakan Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren yang sudah ada semakin ditingkatkan kualitasnya dengan memberi bantuan tenaga pendidik yang profesional dan memberi bantuan operasional serta sarana prasarana yang menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Akan tetapi, UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menjadi diperlukan untuk melindungi dan memperkuat penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan itu sendiri.
L. Materi Muatan Yang Perlu Diatur Dalam Ruu Tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan Untuk Melengkapi Pengaturan Yang Ada
Pengaturan mengenai Tenaga Kependidikan dan siswa karena Pendidikan Keagamaan berbeda dengan Pendidikan Umum. Muatan yang diatur dalam RUU perlu diperjelas tentang status penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, isi kurikulum, jumlah dan kualifikasi pendidik.
Muatan mengenai upaya peningkatan sarana prasarana yang memungkinkan terselengaranya pembelajaran, sumber pembiayaan, sistem evaluasi serta manajemen dan proses pendidikan. Selain itu perlunya muatan kurikulum sebagai standar sesuai kelompok usia, perkembangan kognitif, motorik, dan emosional siswa yang dipergunakan di seluruh Indonesia.
UIN Sunan Ampel
Dalam pertemuan tersebut dijelaskan terkait adanya sistem ma’had di UIN Sunan Ampel Surabaya, yang ide awalnya adalah untuk memaksimalkan kemampuan baca tulis Alquran dan agama bagi fakultas umum dengan pertimbangan sebagai kampus agama maka dituntut seluruh mahasiswa agara dapat mengerti, paham dan mampu memprakterkkan ajaran agama dengan baik.
Latar belakang berdirinya Ma’had Al-Jami’ah UIN Sunan Ampel Surabaya berdiri sejak tahun 2005 yang masyhur dengan sebutan Pesantren Mahasiswa/Pesantren Kampus;
Dengan berubahnya IAIN menjadi UIN Sunan Ampel pada tahun 2013, peran dan fungsi Pusat Ma’had Al-Jami’ah menjadi lebih penting. Integrasi antara Ma’had dan Masjid di dalam sebuah Kampus UIN Sunan Ampel.
Pusat Ma’had AlJami’ah langsung berada di bawah rector dan wakil rector dan membidangi Koordinator bidang akademik, koordinator bidang masjid dan koordinator bidang ma’had.
Dikuatkan dengan Peraturan Menteri Agama No.13 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja UIN Sunan Ampel Surabaya, Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Sunan Ampel menjadi lembaga struktural kampus UIN Sunan Ampel Surabaya; Juga Instruksi Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor:Dj.I/Dt.I.IV/PP.00.9/2374/2014 tentang Instruksi Penyelenggaraan Pesantren Kampus (Ma’had Al-Jami’ah).
Pusat Ma’had Al-Jami’ah UIN Sunan Ampel adalah suatu lembaga yang didirikan di bawah naungan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya sebagai pusat pengembangan kompetensi keagamaan yang unggul dan kompetitif, antara lain :
Menyelenggarakan pembelajaran di bidang wawasan ke-Islam-an, pembinaan akhlak, serta pusat Tahfidz Al-Qur’an.
Menyelenggarakan pembinaan Baca-Tulis Al-Qur’an dan kompetensi keagamaan Praktis.
Menyelenggarakan kajian kitab kuning, pengajian dan khutbah (Jum’at dan Ied), pelatihan keislaman (merawat jenazah, da’i, Sholat Bahagia, Sholat Tahajjud dan pelatihan lainnya di masjid).
Ada 6 (enam) macam sertifikat yang dikeluarkan oleh Ma’had UIN Sunan Ampel Surabaya sebagai penunjang nilai akademik,
Sertifikat Bahasa Arab (TOAFL)
Sertifikat Bahasa Inggris (TOEFL)
Sertifikat BIPA (Khusus Mahasiswa Asing)
Sertifikat Baca-Tulis al-Qur’an & Kompetensi Keagamaan Praktis (P2KBTA)
Sertifikat Penalaran Keislaman
Sertifikat DAT
Sertifikat Pesantren (Kegiatan P2KKM)
c. Dinas Pendidikan Kota Surabaya
Sistem pendidikan, kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik, dan proses pembelajaran pendidikan agama diselenggarakan sesuai dengan:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
Peraturan Menteri Pendidikan No. 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA);
Peraturan Menteri Pendidikan No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru;
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan; dan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Sedangkan untuk pendidikan keagamaan, dalam Pasal 9 ayat (3) Peratuan Pemerintah No. 55 tahun 2007, disebutkan bahwa pengelolaan pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Menteri Agama.
Problematika yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan keagamaan antara lain:
Kurangnya tenaga pendidik, hal ini diatasi dengan dengan:
1) Guru Pendidikan Agama mengajar di beberapa sekolah
2) Melakukan pengangkatan guru tidak tetap (GTT)
b. Sarana dan prasarana kurang memadai, hal ini diatasi dengan menggunakan fasilitas yang ada di masyarakat dan dekat dengan sekolah
c. Kurangnya pelatihan bagi tenaga pendidik olek Kementerian Agama, hal ini diatasi dengan Dinas Pendidikan melakukan pembinaan pada guru pendidikan agama baik melalui pembinaan berkala maupun yang dilakukan secara rutin dalam forum Musyawarah Kerja Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama (MGMPPA) dan Kelompok Kerja Guru Pendidikan Agama (KKGPA)
Berkaitan dengan pembiayaan kegiatan pendidikan agama, menurut nara sumber Dinas Pendidikan Kota Surabaya, sudah terakomodasi oleh Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan juga Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPDA). Adapun implementasinya dana tersebut teralokasikan untuk kegiatan peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik di tingkat satuan pendidikan maupun kegiatan sampai tingkat kota.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007, Pendidikan Keagamaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Sedangkan implementasinya tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga Dinas Pendidikan Kota Surabaya sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memfasilitasi. Teknis pencairan sertifikasi guru pendidikan agama seharusnya disamakan dengan guru umum (guru kelas/guru mata pelajaran).
Berkaitan dengan kebijakan Pemda dalam memajukan pengelolaan lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan, nara sumber Dinas Pendidikan Kota Surabaya mengemukakan bahwa sampai saat ini sudah ada kebijakan dari Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pendidikan dalam memajukan pengelolaan pendidikan keagamaan dan pesantren, yaitu memberikan insentif kepada guru ngaji, takmir masjid (Pendidikan Agama Islam) dan guru sekolah minggu (Pendidikan Agama Kristen) yang penyalurannya melalui Kementerian Agama.
Kurikulum yang menjadi ciri khas pendidikan keagamaan (tradisi pesantren) sangat perlu diatur dan dibuat standarnya karena hal tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan kurikulum pendidikan keagamaan.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kesenjangan tenaga pendidik, sarana dan prasarana pada pendidikan keagamaan antara lain:
Kekurangan guru diatasi dengan menugaskan guru mata pelajaran non pendidikan agama untuk mengampu pendidikan agama setelah yang bersangkutan mendapatkan pelatihan dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran / Kelompok Kerja Guru.
Mengatasi sarana prasarana yang kurang memadai, melatih guru untuk membuat media pembelajaran .
Upaya yang seharusnya dilakukan antara lain:
Rekrutmen tenaga pendidik.
Pengadaan ruang kelas untuk pembelajaran keagamaan dan tempat ibadah.
Melengkapi buku siswa untuk pendidikan keagamaan.
Berkaitan dengan hubungan dan bentuk kerjasama lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan dengan luar negeri, perlu ada pengaturannnya. Untuk meningkatkan kualitas guru dan pembelajaran pendidikan agama, perlu ada kerjasama Pemerintah dengan luar negeri yang melibatkan guru pendidikan agama sebagai peserta pelatihan (study banding). Selain itu, kerjasama lembaga pendidikan dalam negeri dan luar negeri diperlukan dalam rangka membasmi paham radikalisme.
Menurut nara sumber Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan pelaksanaan sudah cukup memadai, yang perlu ditingkatkan adalah implementasi dan pengawasan serta evaluasi pelaksanaan undang-undang tersebut dan peraturan-peraturan yang menyertainya.
Terkait perlukah undang-undang khusus yang mengatur pendidikan keagamaan agar pendidikan keagamaan dapat mencapai fungsi dan tujuannya, nara sumber Dinas Pendidikan Kota Surabaya menjelaskan bahwa jika pemerintah dan DPR RI, setelah melakukan kajian, memandang perlu undang-undang khusus, maka Dinas Pendidikan Kota Surabaya setuju. Akan tetapi, menurut nara sumber Dinas Pendidikan Kota Surabaya, yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan dan evaluasi pelaksanaan undang-undang maupun peraturan-peraturannya. Selain itu, koordinasi, komunikasi dan sinkronisasi peraturan antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Agama harus selalu dilakukan. Kalaupun perlu menyusun regulasi baru terkait pendidikan keagamaan, mungkin cukup merevisi Peraturan Pemerintah 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan dengan melibatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama.
Apabila akan disusun RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, materi muatan yang perlu diatur antara lain:
kewenangan pengadaan dan pembinaan tenaga pendidik pendidikan agama dan keagamaan hanya satu pintu (misalnya Kementerian Agama saja, atau Pemerintah Kota saja);
peningkatan kompetensi guru pendidikan agama;
hak dan kewajiban guru pendidikan agama;
jaminan perlindungan profesi guru pendidikan agama; dan
religius culture.
d.Pasraman Jala Siddhi Amertha
Pasraman Jala Siddhi Amertha merupakan lembaga pendidikan non formal. Tujuan pasraman ini memberikan pendidikan agama, budi pekerti, dan seni budaya kepada peserta didik. Pasraman Jala Siddhi Amertha menjadi solusi karena problem di sekolah-sekolah regular tidak terdapat guru agama Hindu.
Pendidikan keagamaan diselenggaraan setiap hari Minggu dari pukul 08.00-12.00, sedangkan pendidikan tambahan antara lain belajar membaca weda, belajar bahasa jawa kuna-sansekerta, belajar membaca sloka, dan kegiatan seni budaya (tari, gamelan) diselenggarakan hari Kamis dan Minggu sore. Sebelumnya, Pasraman Jala Siddhi Amertha berada di bawah parisade. Saat ini, berada di bawah Yayasan Jala Siddhi Amertha. Izin operasional Pasraman Jala Siddhi Amertha diperoleh dari Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama.
Guru-guru di Pasraman Jala Siddhi Amertha berupaya agar peserta didik dapat memaksimalkan karakternya, menjunjung tinggi toleransi, dan mempelajari kebudayaan. Di Pasraman Jala Siddhi Amertha terdapat 12 tenaga pengajar. Setiap tingkat kelas, ada 1 orang tenaga pengajar (SD 6 tingkat, SMP 3 tingkat, SMA 3 tingkat). Kurikulum di Pasraman Jala Siddhi Amertha menggunakan kurikulum dari Dinas Pendidikan. Nilai peserta didik akan dikirim ke sekolah induk. Jumlah peserta didik di pasraman saat ini, 374 peserta didik.
Banyak peserta didik yang tinggal agak jauh dengan Pasraman Jala Siddhi Amertha, namun kehadiran peserta didik ke pasraman, cukup baik. Pembiayaan Pasaraman Jala Siddhi Amnertha diperoleh dari orang tua peserta didik. Dalam rapat antara pengurus dan orang tua murid, disepakati jumlah biaya yang akan dikeluarkan orang tua. Misalnya disepakati Rp25.000,00/siswa.
Dalam implementasinya, ada orang tua yang membayar lebih dari biaya yang sudah disepakati, namun ada juga orang tua yang tidak membayar. Hal tersebut tidak menjadi permasalahan bagi pengurus pasraman. Pasraman Jala Siddhi Amertha menyediakan tempat untuk penyelenggaraan Sekolah Tinggi Agama Hindu Santika Dharma Malang (S1). Saat ini, terdapat 26 mahasiswa.
Pasraman Jala Siddhi Amertha kerap mengirimkan peserta didiknya untuk ikut berbagai kegiatan pesta seni di beberapa daerah dan perlombaan di tingkat nasional, antara lain lomba cerdas cermat, lomba baca sanserketa, darma wacana seperti dai kecil, serta menari.
Pasraman Jala Siddhi Amertha menekankan pentingnya mempelajari kebudayaan yang sudah mulai ditinggalkan generasi muda dengan mengajarkan kepada peserta didik bahasa sansekerta-jawa kuna karena kitab-kitab menggunakan bahasa sansekerta-jawa kuna, serta mengajarkan kembali geguritan, dan berkidung.
Perhatian Pemda Sidoardjo kepada Pasraman Jala Siddhi Amertha hampir tidak ada, padahal perhatian pemda pada dasarnya diperlukan untuk pembinaan. Narasumber Pasraman Jala Siddhi Amertha berharap RUU tentang Pendidikan Keagamaan mengakomodisi kepentingan semua agama.
Provinsi Sulawesi Utara
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan informasi serta mencari masukan dari berbagai narasumber dan pemangku kepentingan untuk penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ke Provinsi Sulawesi Utara yang telah dilaksanakan oleh tim pada tanggal 2-6 Mei 2017, dengan mengunjungi beberapa pemangku kepentingan diantaranya Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), dan Uskup Keuskupan Manado. Selain itu juga mengunjungi Sekolah Alkitab Langowan, Seminari Menengah ST Fransiskus Xaverius, Pondok Pesantren As-Salam, dan Pondok Pesantren Darul Istiqomah.
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara
Secara geografis bahwa Provinsi Sulut ini terdiri 10 Kabupaten dan Kota diantaranya 10 daratan dan Kepulauan yakni Kabupaten Talaud, Sangihe, dan Tarao. Dari segi indeks Kerukunan Agama bahwa Provinsi Sulawesi Utara ini mendapatkan Nomor dua di Indonesia. Postur anggaran terhadap lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia sangat terbatas, selain yang diurusi terkait Pendidikan Keagamaan juga mengurusi wilayah sampai ke tingkat desa. Sehingga Kakanwil Sulut belum mampu membiayai lembaga pendidikan keagamaan yang ada di semua agama, mulai di Pondok Pesantren bagi Islam, Sekolah Alkitab atau sekolah Minggu bagi Kristen, Seminari untuk Katolik, Pasraman untuk Hindu, ataupun untuk Budha, dan Konghucu. Secara umum, sistem pendidikan keagamaan di Sulawesi Utara sudah berjalan dengan baik, meskipun harus diakui bahwa masih terdapat beberapa kekurangan untuk dilakukan perbaikan. Kekurangan itu antara lain:
Terbatasanya jumlah guru bidang studi agama pada satuan pendidikan yang dikelola oleh yayasan tertentu;
Kecilnya tunjangan guru.
a.1. Pendidikan Agama Islam
Di Provinsi Sulut ada 17 Pondok pesanteren dari 17 itu hanya 2 Pondok pesanteren saja yg dapat bantuan pemerintah.Tenaga pengajarnya sangat minim, kondisi sarana prasarananya sangat memprihatinkan jauh dari kelayakan, bahkan pemenuhan hak dasar seperti Air Bersih, WC jauh dari harapan, selain berkaitan dengan sarana prasarana, tenaga pengajar baik yang ada di Madrasah Takmiliyah dan Taman Pendidikan Al-qur’an seringkali terabaikan oleh pemerintah bahkan tidak mendapatkan Gaji. Mengusulkan untuk diberlakukan dana insentif pada guru madrasah dan pondok pesantren.Diusulkan juga supaya kekurangan jam mengajar guru sekolah formal supaya bisa dengan jam mengajar di sekolah non formal seperti Pesantren, Madrasah Diniyah dan lembaga sekolah non formal lainnya.
a.2. Pendidikan Agama Kristen
Realitas yang terjadi saat ini, pendidikan keagamaan Kristen dilaksanakan oleh Gereja dan Yayasan Kristen, sangat jarang mendapatkan bantuan dari negara
pelaksanaan pendidikan Agama Krsiten dilaksanakan oleh Gereja dan Yayasan serta pendanaanya bersal dari Gereja dan BOS
Di Sulawesi Utara sangat banyak pendidikan Kristen seperti halnya Sekolah Minggu Teologi Kristen (SMTK) yang setara dengan SMK dimana hingga saat ini terdapat 23 lembaga dan 333 Sinode dimana semuanya masih dalam tanggungjawab Gereja. SMTK belum ada yang berstatus negeri, semua masih swasta
Sarana prasarana mayoritas sangat minim karena memang terkait sarana prasarana belum ada nomenklatur anggaran yang mengatur pendidikan keagamaan.
Pendidikan non formal seperti halnya pendidikan keagamaan banyak berperan dalam ikut serta merebut kemerdekaan dan menjaga moral bangsa namun sampai saat ini belum pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah apabila dibandingkan dengan pendidikan formal dan pendidikan Negeri
Banyaknya lembaga yang dimiliki oleh yayasan dan Gereja tidak mau didaftarkan ke Kemenag karena sampai saat ini belum ada dasar hukum sebagai landasan bagi lembaga Kristen atau gereja untuk mendaftarkan lembaga pendidikan Kristen pada Kemenag dalam hal ini sebagai Negara. Hal ini juga berpengaruh pada pengaturan kurikulum sekolah minggu atau sekolah alkitab yang belum memiliki standarisasi kurikulum yang pasti. Sehingga dalam perjalanannya lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia termasuk sekolah minggu menemui masalah antara lain:
Standarisasi Tenaga Pendidik
Standarisasi Sarana Prasarana
Standart Pengawasan Negara terhadap perkembangan lembaga pendidikan Kegamaan
Standarisasi Kurikulum
a.3. Pendidikan Agama Buddha
Pendidikan keagamaan Budha yang masih dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab Vihara dan yayasan Budha. Sampai saat ini peran negara masih belum ada yang menagtur secara spesifik keberadaan lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia termasuk pendidikan di Budha. Tenaga pendidik dan SDM dalam Sekolah Minggu sangat minim dan rata-rata berasal dari Wiraswasta. Hal ini menunjukkan peran pemerintah untuk menjaga moral bangsa masih sangat lemah perhatiannya. Di Sulawesi Utara masih sangat sedikit Sarjana Agama Budha.
a.4. Pendidikan Agama Hindu
Pada saat ini pendidikan di Hindu yang biasa dikenal dengan Pasraman banyak muncul dari kesadaran Masyarakat bukan Karena peran pemerintah untuk memajukan pendidikan moral ini, tidak jarang bahkan bisa dikatakan semua pendidikan Pasraman sangat memprihatinkan. Mulai dari tidak adanya standart kurikulum di Pasraman, tidak adanya Guru dan minimnya Sarana Prasarana termasuk tidak adanya anggaran dari pemerintah, Selain hal yang diatas kurikulum Pasraman di Sulut masih belum ada yang baku dan tidak dikeluarkan oleh Pemerintah. Maka tidak heran jika dalam pelaksanaannya, Pasraman banyak mengalami tantangan terutama dari tenaga pengajar.
Secara umum kelahiran Pasraman sebagai bentuk antisipasi dari pendidikan Formal yang dirasa sangat kurang memberikan pendidikan kegamaan Hindu di Sekolah-sekolah yang ada di Sulut. Sehingga orang tua yang beragama Hindu membutuhkan tambahan jam pendidikan diluar sekolah Formal. Pada saat ini jumlah Pasraman yang ada di Sulawesi Utara berjumlah 6 lembaga, dimana keberlangsungan Prasmanan tersebut hidup dari sumbangan masyarakat dan orang-orang hindu yang ada di Sulut, padahal perannya sangat besar dirasakan oleh masyarakat Sulut terutama dalam hal menjaga moral anak dan generasi Bangsa ini.
a.5. Pendidikan Agama Katholik
Pendidikan non formal kalau dikatolik dikelala oleh pihak gereja. Contohnya adalah Sekolah Seminari di Tomohon yang cakupan kurikulumya Formal dan non Formal. Tujuan pendidikan ini adalah untuk mencetak dan mendidik calon-calon imam. Pembiayaanya rata-rata oleh greja dan sekolah yang non formal ini belum tersentuh oleh pemerintah.
Di katolik ada pendidikan non formal namun sampai saat ini masih dikelola oleh gereja, misalnya seminari menengah yang menyelenggarkan pendidikan selama 4 tahun, dimana kurikulumnya merupakan integrasi dari pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan katolik
Pendidikan seminari ini diperuntukkan bagi umat katolik yang diprioritaskan menjadi imam. Hingga saat ini belum pernah disentuh oleh pemerintah. Terkai pendanaan masih banyak dilakukan oleh SEMIKAMI (serikat kepausan Misioner)
Gereja Masehi Injili di Minahasa
GMIM saat ini banyak bergerak dibidang Kesehatan dan Pendidikan dimana keberadaannya ada sejak zaman Belanda, GMIM merupakan Gereja terbesar ke 2 di Indonesia untuk Protestan dengan jumlah pengikut 800.000 jiwa dan 1.044 sekolah yang terdapat di 7 kabupaten kota. Namun demikian kendala yang sering dihadapi leh GMIM adalah minimnya Guru dan gaji Guru yang masih dikatakan di bawah rata-rata.
Adapun rincian dari pendidikan yang dimiliki oleh GMIM antara lain:
559 TK dengan jumlah siswanya 20.777
338 SD dengan jumlah siswanya 22.000
70 SMP dengan jumlah siswanya 15.000
19 SMA dengan jumlah siswanya 7.000
10 SMK dengan jumlah siswanya 4.210
4 SLB dengan jumlah siswanya 215
Dari banyaknya jumlah pendidikan Formal yang dikelola oleh GMIM sampai saat ini belum ada pendidikan non formal yang sedang dikelola, namun demikian GMIM berharap perlu ada peraturan khusus terhadap pendidikan non formal yang bergerak dibidang Keagamaan, termasuk penting untuk dibicarakan sebagai lanjutan untuk merumuskan pendekatan pendidikan keagamaan yang ada di Indnesia.
Terlepas dari ada tidaknya pendidikan Non formal di GMIM, ada Katekisasi sebagai wadah pengkaderan di GMIM yang dipersiapkan untuk menjadi SIDI dan pengkaderan ini diperuntukkan untuk anak yang berusia 17 tahun keatas dimana guru-gurunya belum digaji dari pemerintah
Pada saat ini GMIM memiliki jaringan dan kerjasama dengan luar negeri seperti gereja-gereja misionaris seperti di AS dan Australia.
Lembaga pendidikan Keagamaan Kristen di Sulawesi utara dapat dilihat lembaga keagamaan Pendidikan Kristen yang dikelola oleh Gereja Injil Minahasa (salah satu denominasi Kristen protestan yang besar di Minahasa), lembaga pendidikan keagamaannya berbentuk SMTK. Salah satu persoalan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan keagamaan ini adalah biaya penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Selama ini, lembaga pendidikan keagamaan tersebut belum mampu sepenuhnya untuk membiyai penyelenggaraan pendidikan keagamaan mereka. Sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan tersebut sangat bergantung pada bantuan pemerintah, yakni kementerian agama. Bantuan dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan keagamaan tersebut sebenarnya sudah ada, tetapi sangat terbatas. Pemahaman Pemerintah daerah terhadap eksistensi lembaga pendidikan keagamaan ini masih sangat terbatas. Pemerintah daerah masih menganggap bahwa pendidikan keagamaan Kristen sepenuhnya di bawah tanggungjawab kementerian agama. Padahal dalam PP 55 Tahun 2007, pendidikan keagamaan sejatinya berada dalam tanggungjawab: pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Dan kenyataannya, tanggung jawab pendidikan keagamaan selama dibebankan kepada masyarakat.
Karena itu, jika pun pemerintah daerah memberikan bantuan, bantuannya dalam bentuk sarana prasarana dalam bentuk laboratorium bahasa, pagar sekolah, dan guru pns. Bantuan pemerintah sebaiknya berupa: bantuan tunjangan guru non pns, bantuan buku penunjang teologi dan laptop, bantuan ruang kelas baru (RKB) dan Rehab Gedung.
Pendidikan keagamaan Kristen yang dikelola oleh Gereja Injil Minahasa belum memiliki kerjasama dengan luar negeri. Pendidikan keagamaan yang bekerjasama luar negeri memerlukan pengaturan dalam suatu UU.
Kementerian agama perlu melakukan terobosan, misalnya melakukan penegerian salah satu SMTK di Sulawesi Utara, terobosan seperti itu dapat menjadi solusi untuk mengatasi berbagai persolan yang mengitari pendidikan keagamaan Kristen selama ini.
Dalam UU lembaga pendidikan keagamaan itu nanti perlu diatur kurikulum, buku acuan mata pelajaran teologi, kualitas guru, kesejahteraan guru, dan sarana parasarana.
Uskup Keuskupan Manado
Keuskupan Manado meliputi 36 Keuskupan se Indonesia, Keuskupan Manado memiliki sekolah formal seperti sekolah minggu dan Seminari. Untuk medidik dan menyiapkan kaderisasi Keuskupan dibuatlah Seminari dengan tujuan untuk menyiapkan Imam dan Pastur tentunya dengan syarat-syarat yang sudah diatur oleh keuskupan. Sekolah Seminari terdiri dari Seminari tingkat menengah, Seminari tingkat atas dan Seminari tingkat tinggi. Keuskupan Manado mempunyai Sekolah Tinggi Ilmu Pastoral (STIPa) dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF). Proyeksi dari seminari juga terbagi atas dua yaitu yang dipersiapkan untuk menjadi pastur (Imam) ada juga yang dipersiapkan untuk menjadi Muketaris (Guru-guru Agama)
Untuk buku dan kurikulum itu dibuat oleh KWI Nasional yang dilaksanakan dalam rapat pada bulan Nopember, bahkan untuk ketentuan masa pendidikannya jika merujuk pada ketentuan keuskupan Roma itu harus ditempuh selama 6 Tahun, namun di Indonesia ketentuan pendidikan seminari dilakukan selama 4 tahun ditambah 2 tahun praktek diterjunkan ke umat
Selain seminari juga ada pendidikan Parokhi yang sifatnya local, dimana pendidikan Parokhi ini belum da penganggaran yang sifatnya pasti dari Pemerintah hanya bersifat tentative dan biasanya juga disumbang langsung oleh Sekami (Serikat Kemisionarisan Anak Misionaris) dan ditambah juga dengan pembinaan Pra Nikah Samut Barut selama 1 bulan
Pendidikan Keagaman dalam agama Katolik yang ada di Provinsi Sulawesi Utara masih dalam bentuk PAUD Taman Seminari, dan Sekolah Tinggi Pastoral. Untuk sekolah umum lainnya pendidikan keagamaan dilakukan dalam Pendidikan Agama Katolik. Selain itu, ada juga lembaga pendidikan yang dikelola oleh Gereja/Lembaga Keagamaan Katolik. Lembaga pendidikan tersebut biasanya menyelenggarakan pendidikan setara SMU, tetapi dilaksanakan dalam jangka waktu empat tahun. Tiga tahun pertama merupakan pendidikan formal SMU, satu tahun selanjutnya adalah pendidikan keagamaan, dalam sistem pendidikan satu inilah kekhusuan pendidikan keagamaan Katholik diberikan, mulai sosiologi, al-kitab, bahasa Inggris, bahasa latin, teologia, dan lain sebagainya. Pendidikan keagamaan satu tahun ini sifatnya tidak memaksa, artinya semua lulusan yang telah mengikuti proses pembelajaran tiga tahun di asrama tidak dipaksa untuk mengikuti pendidikan keagamaan satu tersebut, tetapi mereka diberi pilihan, jika diantara lulusan tersebut ada yang tertarik untuk masuk pendidikan seminari jenjang pendidikan tinggi, maka ia diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan keagamaan satu tahun tersebut. jika tidak ia diberi kebebasan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi lainnya.
Pendidikan keagaman Katholik dalam bentuk pendidikan seminari tersebut mendukung dibentuknya UU tentang Pesantren dn Pendidikan Keagamaan. UU tersebut diharapkan memberikan jaminan pelaksanaan penyelanggaraan pendidikan keagamaan pada umumnya, dengan memperhatikan ketersediaan sarana prasarana, kesejahteraan guru, mutu pendidikan, dan kurikulum. Meskipun demikian, UU tersebut tidak memasung kreativitas pendidikan keagamaan, tetapi menguatkan ciri khas masing-masing pendidikan keagamaan. Selain itu, yang menjadi perhatian dalam UU tersebut adalah manajemen pengelolaan lembaga pendidikan keagamaan dan ketentuan pendirian lembaga pendidikan keagamaan. Karena selama ini perhatian pemerintah terhadap pendidikan keagamaan masih sangat minim untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Misalnya hampir tidak ada anggaran yang diberikan pemerintah kepada pendidikan keagamaan katolik.
Sekolah Alkitab Langowan
Sekolah AlKitab Langowan dibawah Greja PanteKosta di Tomohon Sulut, sekolah non formal ini masa belajarnya selama 9 bulan. Para siswa yang masuk disini berasal dari daerah yang berbeda tergantung pilihan utamanya sejak dari awal masuk. Dan para peserta didiknya juga berasal dari usia yang berbeda dan latar belakang kehidupan yg berbeda, karena tujuan utamanya untuk merubah mental dan prilaku kehidupan menjadi manusia yang baik dan hidup penuh dengan keberkahan.
Sekolah ini merupakan pendidikan tertua di Sulawesi Utara yang masih menekankan pada pembangunan karakter peserta didik dengan kurikulum yang khas dibentuk oleh Gereja Pantikosta di Indonesia (GPDI) sendiri. Pembangunan karakter di GPDI ini diciptakan untuk melayani uamat dengan baik. Sekolah Alkitab Langowan sudah melahirkan 72 angkatan dan berdiri sejak 75 tahun yang lalu.
Sekolah ini unik karena beberapa hal, kurikulum yang diajarkannya adalah pendidikan al-kitab dan kurikulum penunjang seperti bahasa Inggris; peserta didiknya tidak dibatasi oleh umur, minimal tamatan SMU. Lembaga pendidikan ini bertujuan untuk menghasilkan pendeta yang melayani umat. Setelah tamat mengikuti pendidikan selama 9 bulan dan berasrama tersebut, para lulusannya diharuskan untuk menjalani masa pengabdian untuk melayani umat, pelayanan dalam konteks itu tidak hanya berkhotbah di atas mimbar, tetapi juga membantu umat untuk menjalani kehidupan sosialnya, jika ada umat yang memerlukan membangun jamban, sang pengabdi ini harus membantunya, bahkan jika jamban tersebut perlu dibersihkan, sang pangabdi diharapkan tidak segan untuk membantu.
Guru-guru yang mengajar pada lembaga pendidikan tersebut tidak digaji mereka hanya diberi uang transport, untuk mengganti bensin. Biaya pendidikannya disesuaikan dengan kondisi ekonomi siswa. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Alkitab Langowan bersifat swadaya dan mandiri tidak ada bantuan dari pemerintah
Titik tekan pendidikan keagamaan pada sekolah al-kitab adalah pemahaman terhadap al-kitab, meskipun begitu, pendidikan karakter juga menjadi perhatian utama dalam sekolah al-kitab itu. Semua siswa dilatih untuk hidup mandiri, memenuhi kebutuhannya sendiri tidak bergantung kepada manusia, tetapi bergantung kepada Kasih, saying, dan berkah Tuhan.
Pengelola sekolah alKitab, setuju dibentuk UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. UU tersebut sebaiknya memperhatikan ciri khas masing-masing lembaga pendidikan keagamaan. UU tersebut sebaiknya juga mengatur, kesejahteraan guru, bantuan sarana dan prasarana pendidikan keagamaan dan pesantren.
Pondok Pesantren As-Salam
Pondok pesantren di Sulawesi Utara sebagai pendidikan minoritas bagi agama muslim banyak bergerak dibidang Panti Asuhan yang diperuntukkan untuk anak-anak tidak mampu dan anak-anak Muallaf. Keberadaan Pesantren di Manado tantangannya sangat berat karena berada pada posisi minoritas. Pesantren selama ini tidak pernah mendapatkan bantuan langsung dari APBD Provinsi ataupun Kota Manado. Pondok Pesantren Assalam Manado bernama Pondok Pesantren Puteri Assalam Manado karena hanya menerima santeri puteri. Jumlah santri yang ada sebanyak 212 santri. Pesantren Assalam menyelenggarakan pendidikan formal seperti SDIT, MTs, MA dan SMK. Kegiatan pesantren difokuskan kepada kegiatan Tahfidz Quran dengan harapan siswa yang lulus dari Pesantren Puteri Assalam bisa hafal minimal 6 juz Al-Quran. kegiatan pesantren dilaksanakan diluar jam pelajaran sekolah formal, baik siang ataupun malam.
Dilihat dari perspektif historis Pondok Pesantren pada mulanya merupakan milik Kiai dengan tipologi Kitab Kuning tanpa ada kurikulum dan penggaran yang tidak pasti dari pemerintah. Maka tidak heran jika dalam perjalannanya para ustadz dan ustadzah tidak digaji dan hanya berharap dari barokah.
Salah satu kendala yang dialami oleh Ponpes Assalam adalah beban menggaji guru dan peningkatan sarana prasarana padahal bebannya lebih berat dari sekedar sekolah formal, karena beban pondok pesantren selain dibebankan dengan pendidikan formal kelas pagi, ponpes juga dibebani dengan pendidikan diniyah takmiliyah sebagai pelengkap dibidang keagamaan dari sekolah formal pagi.
Pondok Pesantren Darul Istiqomah
Pondok Pesantren Panti Asuhan Darul Istiqamah Manado merupakan cabang dari Ponpes Darul Istiqamah yang berada di Sulawesi Selatan dan mempunyai santri berjumlah 227 santri. Darul Istiqamah menyelenggarakan sekolah formal berupa MI, MTs dan MA. sarana dan prasarana serta buku-buku pelaran di Ponpes Darul Istiqamah masih sangat terbatas.
Pondok pesantren di Sulawesi Utara khususnya Ponpes Darul Istiqomah sungguh sangat memprihatinkan dibandingkan dengan pondok pesantren di Jawa yang bisa hidup dengan bantuan wakaf meski sedikit bantuan dari pemerintah. Pembangunan yang ada saat ini banyak mengandalkan bantuan dari wali santri dan sumbangan lain dari masyarakat. Apalagi terkait dengan santri yang masuk kesini rata-rata kemampuan ekonominya menengah kebawah. Terkait Pendanaan, alokasi dana untk pesantren sampai saat ini bahkan tidak ada kecuali hanya sebatas insentif, kami juga kurang tahu kenapa hal ini terjadi apa karena muslim di Sulawesi Utara sedikit dibandingkan dnegan pendidikan umum yang ada di Sulawesi Utara, tak heran jika BOS untuk pesantren tidak ada
Kami berharap banyak untuk peningkatan kwalitas guru dan peningkatan sarana prasarana dengan dibentuknya regulasi khusus yang dibuat untuk memeperhatikan perkembangan pesantren yang ada. karena dalam sejarahnya pesantren merupakan cikal bakal pendidikan asli Indonesia yang keberadaannya diyakini mampu menjaga moral bangsa dan meberikan kontribusi positif terhadap kemajuan Indonesia. Sangat disayangkan apabila pemerintah hanya memperhatikan penidikan umum tanpa melihat secara equal dengan pendidikan kegamaan di Indonesia terutama pendidikan di Pondok pesantren. Sejak pondok darul istiqomah berdiri kami sering melihat perlakuan tidak berimbang terhadap pendidikan keagamaan seperti pesantren dengan pendidikan umum yang dapat perhatian lebih dari Negara, padahal kita sama-sama anak bangsa yang hidup dan berkomitmen untuk membesarkan Indonesia.
Untuk itu kami meminta untuk penambahan slot anggaran terhadap pesantren dan ada kategorisasi terhadap pesantren yang didukung dengan penyaluran Guru secara proporsional. Saat ini masih sering ditemukan guru di pondok pesantren sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah santrinya yang sangat banyak. Hal ini diakibatkan karena ketidak mampuan pesantren untuk menggaji para guru yang ada.
Seminari Menengah ST Fransiskus Xaverius
Dalam sekolah seminari kurikulum yang ada sebenarnya mengikuti kurikulum yang sudah dibuat oleh pemerintah dan program nasional. Demikian halnya guru-guru yang ada di seminari menengah ini juga banyak yang dari PNS, sehingga kami tidak terlalu berat untuk menggaji para Guru. Namun untuk pengembangan kegamaan memang belum ada kurikulum yang pasti dan belum ada bantuan khusus keagamaan yang diberikan oleh pemerintah kecuali hasil dari bantuan para jamaah sendiri.
2. Perbandingan Dengan Negara Lain
Malaysia
Di Malaysia, pendidikan telah mengalami evolusi yang sejalan dengan pembangunan dan kemajuan negara ini. Evolusi pendidikan ini yakni zaman pramerdeka (sebelum 1957), zaman pasca merdeka (1957 – 1970), zaman dasar ekonomi baru (1971 -1990), zaman dasar pembangunan negara (1991 – 2000), dan zaman dasar wawasan negara yang berlangsung hingga saat ini. Pada mulanya, pendidikan di Malaysia menggunakan sistem pondok yang dijalankan di madrasah dan sekolah-sekolah agama. Sekolah ini memiliki kurikulum yang lebih terstruktur, waktu berlajar yang terjadwal, sarana dan prasana yang memadai. Tujuan sekolah tersebut ialah untuk melahirkan sumber daya yang bermoral tinggi. Selain sekolah pondok tersebut, ada pula sekolah vernakular yang menggunakan bahasa ibu dalam sistem pengajarannya. Bahasa yang digunakan di antaranya yaitu Melayu, Cina, dan Tamil. Di Malaysia biasanya hanya ditemukan Pondok tanpa ditambah pesantren – kata selanjutnya di tambah nama lembaga tersebut –, yaitu gubuk kecil-kecil tempat penginapan para pelajar yang sedang mengaji di lembaga tersebut.
Sumber Keuangan Yayasan Pondok Al-Bakriah yang merupakan milik perseorangan dari sejak berdirinya hanya bergantung kepada sumbangan ikhlas para dermawan, seperti infaq, zakat, dan shodaqah. Ditambah dengan iuran bulanan dan pendaftaran yang tidak seberapa jumlahnya. Bagaimana pun untuk masa ini guna membantu dari sisi pembangunan dan tenaga pengajar maka dibentuk satu badan yang namanya disebut Pusat Pembangunan Pondok Berhad (PPPB) pada tahun 1995.
Mesir
Mesir sebagai kiblat yang selama ini menjadi tujuan utama alumni Pesantren melanjutkan pendidikan tinggi nampaknya justru tertarik menerapkan kurikulum pesantren. Meski di Mesir masih terdapat sistem pendidikan Madrasah sebagaimana Syaikh Hamdi Muhammad Abdul Ghaffar, MA yang membina Madrasah Ad-Dakwah Mesir, dan mengasuh beberapa Madrasah yaitu Madrasah Ar-Risalah, Madrasah Khalid Bin Walid, Madrasah Zahra’ Al-Andalus, Madrasah Ar-Ruwad, Madrasah Al-Iman, Madrasah Al-Iman, Madrasah Shofwa, Madrasah Al-Awail, Ad-Dakwah, Madrasah Thibah, dan Madrasah Madinah Al-Munawarah, tetapi beliau tertarik dengan sistem pendidikan pesantren ketika berkunjung ke Pesantren Al-Fatah Lampung. Beberapa hal yang menjadi daya tarik sistem pesantren antara lain: adanya kombinasi antara pelajaran agama dan umum. Adanya pola asrama bagi siswa sekolah menengah, dengan peraturan mengikat dan ada kiyai pembimbing santri. Kalau di Mesir ada asrama mahasiswa, tetapi tidak seperti pesantren. Apalagi ini untuk anak usia sekolah menengah, yang mau jauh dari orang tua demi menimba ilmu di pondok pesantren. 66
Arab Saudi
Di Arab Saudi masih terdapat sistem pendidikan sejenis pendidikan Madrasah. Ditingkat dasar dibentuk dua macam madrasah, yaitu Madrasah al-Qur’an (jenis taman pendidikan Al-qur’an di Indonesia) dan Madrasah Ibtidaiyah (sekolah dasar) menggantikan sekolah Desa yang dihapus pada tahun 1954. Untuk tingkat menengah, semua terdapat dua jenjang sekolah umum (non kejuruan), yaitu Kafaah dan Tuhijiyah yang masing-masing lamanya tiga tahun, tetapi kemudian diubah menjadi I’dadiyah yang lama belajarnya juga tiga tahun. Perubahan kebijakan pendidikan di Saudi Arabia ini tidak mengalami kesulitan, di antaranya karena mengingat komposisi masyarakatnya yang homogen, dengan Islam sebagai satu-satunya pandangan hidup. Ditingkat menengah atas yang disebut Madrasah Tsanawiyah terdapat dua jurusan, yaitu Ilmi (jurusan ilmu pengetahuan) dan Adabi (Jurusan sastra). Sekolah ini bersifat umum (nonkejuruan) dengan fokus mempersiapkan para siswanya untuk melanjutkan studi ketingkat perguruan tinggi. Meskipun demikian, bagi mereka yang bermaksud untuk terjun ke masyarakat disediakan ketrampilan tertentu oleh lembaga pendidikan dengan berbagai alternatif jurusan, misalnya keguruan, perusahaan, perdagangan, kejian Al-qur’an, dan teologi Islam.67
Finlandia
Finlandia menempati peringkat 1 dunia dalam konteks system pendidikan saat ini. Hal ini berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD ). Dengan prestasi tersebut, Finlandia kini kerapkali menjadi referensi sistem pendidikan oleh Negara-negara yang ingin memperbaiki lembaga pendidikannya. Termasuk oleh beberapa lembaga pendidikan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Madrasah Diniyah Putri Padangpanjang Sumatera Barat, di mana ada upaya mengombinasikan sistem pendidikan Finlandia dengan konsep pendidikan dalam Islam.
Beberapa hal yang mungkin penting untuk dipaparkan terkait sistem pendidikan di Finlandia, di antaranya adalah: 1) Anak-anak di Finlandia tak diperkenankan masuk sekolah dasar kalau umur mereka belum genap 7 tahun. 2) Guru hanya menghabiskan 4 jam di kelas. Sementara itu, 2 jam seminggu guru memperoleh pendidikan pengembangan profesi. 3) Biaya sekolah 100 persen didanai negara. 4) Kurikulum nasional hanya sebagai pedoman. Sisanya fleksibel, tergantung pada masing-masing lembaga pendidikan untuk menerapkan kurikulum. 5) Gaji awal rata-rata untuk guru di Finlandia 29 ribu dolar AS pada 2008. Di Finlandia, tidak ada gaji yang tak pantas untuk guru.
Para orang tua di Finlandia jelas memiliki peran atas prestasi pendidikan anaknya. Ada budaya membaca di kalangan anak-anak di rumah dan keluarga harus mengadakan kontak berkala dengan guru anak mereka. Mengajar adalah karir prestisius di Finlandia. Guru sangat dihargai dan standar pengajaran tinggi. Keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia tampaknya juga ditunjang budaya. Anak-anak belajar dalam suasana yang santai dan informal. Finlandia mencatat arus imigrasi kecil. Jadi, ketika murid mulai belajar di sekolah, sebagian besar adalah penutur asli bahasa Finlandia dan ini menyisihkan hambatan yang sering dihadapi oleh masyarakat lain. Keberhasilan sistem ini ditopang gagasan bahwa less can be more (sedikit bisa jadi lebih banyak). Ada penekanan untuk menjadikan sekolah yang santai, dan bebas dari resep-resep politik.
Yang perlu dijadikan catatan penting dari Finlandia tersebut adalah bahwa biaya pendidikan 100 persen didanai Negara, sehingga gaji guru pun tergolong tinggi. Di samping itu, kurikulum hanya sebagai pedoman yang tidak mendikte lembaga pendidikan pada hal-hal teknis pendidikan. Fleksibelitas demikian memungkinkan lembaga pendidikan berimpovisasi dalam proses mendidik generasi muda.
Turki
Secara historis, pada masa Turki Utsmani terdapat dua lembaga pendidikan keagamaan, yaitu madrasah dan darwis (pondok). Darwis merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat informal, madrasah adalah tempat yang mengajarkan pendidikan formal, logis, dan ilmiah berdasar pendidikan agama.
Modernisasi yang terjadi pada akhir era Turki Usmani berpengaruh terhadap banyak aspek dalam kehidupan masyarakat Turki, termasuk ranah pendidikan. Modernisasi pendidikan tersebut muncul dalam bentuk lembaga pendidikan yang oleh banyak kalangan dianggap sekuler akibat pengaruh pemikiran-pemikiran Eropa, seperti mulkiye (layanan sipil), harbiye (akademi militer), dan tibbiye (sekolah kedokteran). Pendidikan agama menjadi bagian saja dari pembelajaran yang dilaksanakan pada bidang-bidang tersebut. Pada saat Turki Usmani menjadi sebuah Negara modern bernama Republik Turki, ilmu-ilmu eksakta lebih dominan dan bahkan lembaga pendidikan keagamaan banyak ditutup. Situasi ini yang kemudian memunculkan dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Padahal, kalau mau berkaca pada sejarah dan realitas masyarakat Turki, penulis dan cendekiawan lahir dari pondok-pondok dan madrasah-madrasah tersebut.
Seiring perjalanan waktu, saat Turki menerapkan sistem multi partai, demokrasi memberikan peluang bagi munculnya pendidikan keagamaan di masyarakat. Pendidikan agama kembali diajarkan di sekolah-sekolah, dan bahkan ada yang mewajibkannya. Dengan kata lain, iklim keagamaan lebih bebas dan terbuka. Sekalipun, dalam ranah pendidikan ini masih menyisakan persoalan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan akses pendidikan berbasis gender pada awal perjalanan Negara Republik Turki masih sangat tinggi. Kondisi demikian kemudian mendorong pemerintah Turki membuat Undang-Undang Pendidikan Nomor 222 yang menegaskan aturan kesetaraan kesempatan dalam pendidikan (Pasal 1). Dengan amandemen Pasal 10 Undang-Undang di Tahun 2004, negara diwajibkan untuk memastikan hak praktis untuk kesetaraan. Dengan revisi Undang-undang Pendidikan tersebut, masyarakat Turki secara umum memiliki akses pendidikan yang sama, baik laki-laki ataupun perempuan tidak ada perbedaan.
Sekarang, jumlah sekolah berbasis agama di Turki mulai meningkat setelah reformasi. Menurut Presiden Tayyip Erdogan, ini merupakan upaya peningkatan moralitas masyarakat. Dengan memperkuat basis agama bagi generasi diharapkan tercipta nilai-nilai kepatuhan terhadap ajaran agama.
Jepang
Pembuatan kurikulum pendidikan di Jepang diawasi oleh The Board of Education yang terdapat pada tingkat perfectur dan munipal. Karena kedua lembaga ini masih terkait erat dengan MEXT, maka pengembangan kurikulum Jepang masih sangat kental sifat sentralistiknya. Namun rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih banyak dalam pengembangan kurikulum di masa mendatang.
Sejarah pendidikan di Jepang secara garis besar dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu masa restorasi Meiji, sesudah Perang Dunia II, dan reformasi menuju abad 21. Reformasi pertama pada masa Meiji (1872-1890) membawa pendidikan di Jepang memasuki masa modern dengan diterapkannya sistem persekolahan yang terstruktur dan kesempatan luas bagi warga negara untuk mengakses pendidikan. Tetapi pendidikan pada masa ini masih terkotak-kotak antara pendidikan kaum elit dan pendidikan orang biasa/awam. Pada era Taishō (1912-1926) diperkenalkan pula pendidikan liberal yang dipengaruhi oleh paham liberalisme yang berkembang di Amerika. Reformasi sesudah Perang Dunia II intinya adalah penerapan wajib belajar dan penerapan pendidikan demokratis.
Reformasi ketiga dirancang oleh Chuuoukyouikusingikai dan Rinjikyouikusingikai, yaitu Tim Khusus yang ditunjuk oleh Perdana Menteri untuk membantu mencarikan pemecahan permasalahan pendidikan yang akan diusulkan kepada Perdana Menteri dan diterapkan oleh Menteri Pendidikan. Tahun 2001 Kementerian Pendidikan Jepang mengeluarkan rencana reformasi pendidikan di Jepang yang disebut sebagai “Rainbow Plan”.
Dalam perjalanannya, pendidikan di Jepang dipegang tiga lembaga pengelolaan yaitu: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Swasta. Selain pendidikan formal tersebut, ada juga pendidikan non formal di Jepang yang dikenal sebagai pendidikan sosial. Bentuk-bentuk pendidikan non formal tersebut, seperti pendidikan untuk remaja, pendidikan usia lanjut, atau hobi seperti surat menyurat. Kegiatan pendidikan non formal di Jepang rata-rata dilaksanaan oleh lembaga non pemerintah seperti lembaga persuratkabaran, lembaga penyiaran, toko-toko, perusahaan dan lain-lain.
Adapun sistem pendidikan di Jepang dibangun atas prinsip-prinsip: Legalisme, administrasi yang demokratis, netralitas, penyesuaian dan penetapan kondisi pendidikan, dan desentralisas
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pendidikan nasional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diartikan sebagai pendidikan berdasarkan Pancasila yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kebutuhan dasar untuk mendapatkan pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 28C UUD 1945 NRI yang berbunyi :
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’’
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Dalam UUD NRI 1945 Pasal 28E disebutkan bahwa:
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang menjadi kebutuhan dasar warga negara ini, juga ditegaskan kembali dalam Pasal 29 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karenanya, Lembaga Pendidikan Keagamaan selain menjadi kebutuhan setiap warga negara yang harus diperhatikan oleh negara, juga memiliki akar historis yang berakar pada nilai-nilai agama. Dalam pasal 31 UUD NRI 1945 ditegaskan pentingnya pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai keagamaan, yang berbunyi:
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Dalam kaitannya dengan pentingnya pendidikan ini, UUD NRI 1945 telah mengakomodir anggaran pendidikan sebesar sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD pasal 31 ayat 4 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.1
Ketentuan ini telah dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013/PUU-VI/2008, Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Alokasi anggaran diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan.2
Alokasi anggaran pendidikan yang diamanahkan UUD NRI 1945 dimandatkan pada Kementerian yang mempunyai fungsi pendidikan antara lain Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kemenag, dan kementerian lain yang mempunyai fungsi pendidikan. Anggaran 20% yang merupakan amanah UUD NRI 1945 diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan pendidikan nasional yang merupakan bukti keseriusan Pemerintah dalam dunia pendidikan khususnya penyelenggaraan dan pengelolaan Pendidikan Madrasah.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4, yang berbunyi:
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Dalam UU ini penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip , yakni pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 telah memberi peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskrimanasi di mata negara. Kesempatan ini akan membuka peluang kebhinekaan lembaga pendidikan keagamaan, namun dalam posisi status diakui sebagai bagian dari system pendidikan nasional. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktifitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurikulum sekolah.
Kehadiran UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional semakin memperkuat posisi madrasah yang belum terakomodir dalam UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas. Di antara indikatornya adalah penegasan status Pendidikan Madrasah selain pendidikan umum dan penyebutan secara eksplisit madrasah yang selalu bersanding dengan penyebutan sekolah, yang hal ini tak ditemukan dalam undang-undang sebelumnya. Beberapa pasal berikut akan menunjukkan hal dimaksud:
Pada pasal 15 tentang jenis pendidikan, jenis pendidikan mencakup pendidikan umum , kejuruan akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus;
Pada pasal 17 ayat (2). Tentang pendidikan dasar, pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama ( SMP) dan Madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sedarajat;
Pasal 18 ayat (3). Tentang pendidikan menengah. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mencantumkan nomenklatur pendidikan madrasah pada posisi yang lebih maju sebagai perangkat hukum untuk menjamin keberlangsungan Madrasah sebagai alternatif lembaga pendidikan untuk meraih prestasi melalui jalur pendidikan formal sekaligus untuk beribadah.
Namun demikian, pengakuan status pendidikan madrasah dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas belum menjawab masalah pengembangan Madrasah sebagai salah satu pilar pendidikan nasional. Masih terdapat beberapa masalah, seperti : aspek pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan madrasah, aspek regulasi yang belum mengayomi pendidikan madrasah, aspek jaminan anggaran yang menjamin keberlangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan madrasah,Kenyataan empiris muncul tidak setaranya pengalokasian APBN ataupun APBD untuk Pendidikan Madrasah, Menurut ACDP alokasi rasio perbandingan alokasi anggaran pendidikan yang dikelola Kemendikbud dan Kemenag adalah 80:20.3 Untuk itu diperlukan payung hukum setingkat undang-undang yang mencakup pengaturan lebih khusus tentang pendidikan madrasah dalam system pendidikan nasional (Lex Specialis derogate lex generalis), sehingga didapat sebuah pengaturan yang utuh menyeluruh atas keberadaan pendidikan madrasah.
Undang undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
UU ini diundangkan untukmenegaskan fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu yang diamanahkan dalam system pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
UU ini sebagai ikhtiar meningkatkan harkat dan martabat guru dan dosen melalui pemberian penghargaan (sertifikasi), pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen, perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Meskipun tujuan dari lahirnya UU ini begitu mulia, tetapi tidaklah luput dari beberapa permasalahan dan kendala. Terutama ketentuan guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini juga menjadi permasalahan dalam pengelolaan dan penyelenggaran pendidikan madrasah dibandingkan dengan sekolah umum, karena keterbatasan regulasi dan anggaran yang menjadi tonggak pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan madrasah.
Undang undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
UU ini diundangkan untuk mengatur hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Perda maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa untuk Pemerintahan yang absolut sebagaimana diatur pada Pasal 9 ayat (2) meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional dan agama, kemudian pada penjelasan Pasal 10 huruf f bidang agama bait kedua menyatakan Daerah dapat memberikan hibah untuk peneyelenggaraan kegiatan kegiatan keagamaan, sebagai upaya keikutsertaan Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama,misalnya penyelenggaraan MTQ, pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan sebagaimannya. Demikian halnya konkurensi pembagian tugas Pusat dan Daerah pada aspek manajemen pendidikan tidak mencantumkan nomenklatur pendidikan Islam apalagi Pendidikan Madrasah.
Dengan diundangkannya UU tentang Pemerintah Daerah, letak permasalahan dalam pengelolaan dan penyelenggaran pendidikan madrasah adalah terkait persepsi pemahaman otonomisasi tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Kekuasaan daerah yang lepas dari kerangka kebijakan Pusat dimana kebijakan Pusat menempatkan Kementerian Agama dengan pertimbangan sejarah dan Budaya bersama dan bersinergi dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menangani pelaksanaan wajib belajar Pendidkan Dasar dan Menengah bagi Warga Negara hanya karena perbedaan struktur dalam UU Pemerintah daerah mengamanahkan tidak ada Otonomisasi dalam Kementrian Agama maka banyak Pemerintah Daerah yang menolak untuk bersinergi dalam mengelola pendidkan dasar yang diwajibkan bagi Warganegara hanya karena lembaga Pendidikan dimaksud dalam naungan Kementerian Agama. Anggaran Pendidikan dalam APBN maupun APBD minimal 20 % merupakan satu konsekuensi logis untuk memfasilitasi adanya kewajiban belajar bagi Warganegara. Memberikan Sarana dan Prasarana dalam proses belajar mengajar sesuai standar minimal Pendidikan Dasar, tanpa diskriminasi apakah Warganegara yang terkena kewajiban belajar Pendidikan Dasar dan Menengah itu memilih pada sekolah umum ataupun sekolah agama
Keberadaan UU tentang pemerintah daerah mengakibatkan persepsi yang berbeda bagi Daerah dalam memperhatikan dan menjalankan kebijakan mengenai pembiayaan pendidikan lembaga keagamaan, memunculkan persoalan apakah madrasah dan pendidikan keagamaan lainnya yang berada di bawah Departemen Agama termasuk yang diotonomikan atau tidak atau dengan istilah lain, apakah pendidikan di bawah Departemen Agama menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional atau bagian dari sistem agama untuk itu perlu adanya regulasi khusus yang bisa menjawab permasalahan pengelolalaan dan penyelenggaraan pendidikan madrasah yang menjadi bagian dari system pendidikan nasional yang tidak termarjinalkan.
Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
Legalitas yang dijadikan pijakan selama ini hanya Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dimana dalam Pasal 1 disebutkan sebagai berikut:
Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Pendidikan diniyah adalah pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
Pesantren atau pondok pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
Pasraman adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
Pesantian adalah satuan pendidikan keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
Pabbajja samanera adalah satuan pendidikan keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
Shuyuan adalah satuan pendidikan keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
Tempat pendidikan agama adalah ruangan yang digunakan untuk melaksanakan pendidikan agama.
Rumah ibadah adalah bangunan yang secara khusus dibangun untuk keperluan tempat beribadah warga satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau masyarakat umum.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
Menteri Agama adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Peraturan Pemerintah tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan ini dilihat belum sepenuhnya mampu menyentuh realitas kebutuhan umat beragama dalam ranah pendidikan keagamaan, sebab peraturan tersebut belum konkrit membicarakan tentang bagaimana bentuk perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren. Di samping itu, regulasi ini hadir dalam bentuk peraturan pemerintah yang secara hirarki perundang-undangan masih jauh dibawah undang-undang. Oleh sebab itu, yang diinginkan disini adalah regulasi tentang pendidikan keagamaan yang diatur dalam undang-undang, sehingga semua hal yang berkaitan dengan kebutuhan pendidikan keagamaan dan pesantren lebih bisa tercover dengan baik.
Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 yang dirubah dengan PP No. 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaran Pendidikan
PP ini diundangkan untuk memaksimalkan terselenggarakannya sistem pendidikan nasional dan melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 mengatur terkait :
Pengelolaan pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan;
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal, pendidikan jarak jauh, pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus, pendidikan bertaraf internasional dan pendidikan berbasis keunggulan lokal, pendidikan oleh perwakilan negara asing dan kerjasama lembaga pendidikan asing dengan lembaga pendidikan Indonesia;
penyetaraan pendidikan informal;
kewajiban peserta didik;
pendidik dan tenaga kependidikan;
pendirian satuan pendidikan;
peran serta masyarakat;
pengawasan; dan
sanksi.
Dalam PP ini juga mencantumkan nomenklatur madrasah sebagai bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum/kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan (SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MAK). Dalam PP ini juga diatur Status penyelenggaran dan pengelolaan madrasah sejajar dengan sekolah (pendidikan umum), namun dalam PP ini belum diatur pengelolaan dan penyelenggaran pendidikan madrasah yang mempunyai kekhasan islam dan kesetaraan madrasah dengan sekolah umum dan belum adanya pengaturan yang menjawab permasalahan pengelolaan dan penyelenggaran madrasah dari aspek regulasi, penganggaran, sarana dan prasarana yang setara dengan sekolah (pendidikan umum).
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional
PP ini diundangkan dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional, yang memerlukan suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kaitan ini, kriteria dan kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan:
pendidikan yang berisi muatan yang seimbang dan holistik;
proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis;
hasil pendidikan yang bermutu dan terukur;
berkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan;
tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal;
berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan; dan
terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Acuan dasar tersebut di atas mempakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu.
Selain itu, Standar Nasional Pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Standar nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin untuk memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dalam mengembangkan mutu layanan pendidikannya sesuai dengan program studi dan keahlian kerangka otonomi perguruan tinggi. Demikian juga standar nasional pendidikan untuk jalur pendidikan nonformal hanya mengatur hal-hal pokok dengan maksud memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang memiliki karakteristik tidak terstruktur untuk mengembangkan programnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan jalur informal yang sepenuhnya menjadi kewenangan keluarga dan masyarakat didorong dan diberikan keleluasaan dalam mengembangkan program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, standar nasional pendidikan pada jalur pendidikan informal hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik saja.
Madrasah sudah mengusahakan pengelolaan dan penyelenggaran system pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan yang memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan madrasah yang berkhasanahkan pendidikan Islam, namun dalam pelaksanaan pengelolaan dan penyelenggaran madrasah masih terkendala beberapa masalah yang belum dinaungi sebuah peraturan perundang undangan yang mendukung pengelolaan dan penyelengaraan madrasah yang minimal setara dengan sekolah (pendidikan umum).
Peraturan Menteri Agama RI No 90 tahun 2013 yang dirubah dengan Peraturan Menteri Agama RI No. 60 tahun 2015 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Madrasah.
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) RI No. 90 Tahun 2013 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan madrasah, pengertian madrasah selalu terdapat pernyataan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam baik di tingkat Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsnawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).
Dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) ini, disebutkan bahwa madrasah adalah satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dengan kekhasan agama Islam yang mencakup Madrasah Ibtidaiyyah, Madrasah Tsnawiyah, Madrasah Aliyah dan Madrasah Aliyah Kejuruan. Adapaun terkait dengan Madrasah Aliyah disebutkan sebagai berikut: Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA adalah satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat, diakui sama atau setara Sekolah Menengah Pertama atau MTs.
Berdasarkan kutipan Peraturan Menteri Agama (PMA) RI No. 90 Tahun 2013 di atas, dipahami bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan formal yang di samping menyelenggarakan pendidikan umum, juga harus menunjukkan karakteristiknya yang Islami karena basis religius madrasah adalah agama Islam, bukan Hindu, Budha, Konghucu ataupun agama-agama lainnya.
Peraturan Menteri Agama (PMA) RI No. 90 Tahun 2013 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan madrasah merupakan ikhtiar Pemerintah dalam mengatur pengelolaan dan penyelenggaraan madrasah sesuai dengan system pendidikan nasional dan standar pendidikan nasional yang memenuhi kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan madrasah yang berkhasanahkan pendidikan Islam dan setara dengan sekolah umum.
Keberadaan Peraturan Menteri Agama (PMA) RI No. 90 Tahun 2013 yang mengatur pengelolaan dan penyelenggaraan madrasah dalam bagian kecil dari pendidikan Islam di Kementerian Agama, belum menjadi satuan pendidikan otonom yang dapat menjawab permasalahan madrasah selama ini. Beberapa masalah yang dihadapi madrasah adalah pengelolaan yang bersifat lintas sektoral dan persoalan ketiadaan regulasi yang dapat membuat madrasah setara dengan sekolah umum dalam sistem pendidikan nasional.
Selain peraturan diatas, ada beberapa peraturan lain yang menjadi acuan dalam mengkaji lembaga pendidikan keagamaan yaitu:
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam
Peraturan Menteri Agama nomor 18 tahun 2015 tentang Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 71 tahun 2015 tentang Ma’had Aly
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 5877 tahun 2014 tentang Pedoman Izin Operasional Pondok Pesantren
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam nomor 5839 tahun 2014 tentang Pedoman Pendirian Pendidikan Diniyah Formal
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang berisi falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
Selanjutnya, dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945 khususnya Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Pendidikan tersebut diharapkan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diharapkan dalam Pemukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. Berdasarkan hal tersebut, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan negara Indonesia, baik dalam pendidikan jalur formal, nonformal, maupun informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya karena pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Hadirnya lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan menjadi hal yang tidak bisa dihindari agar proses pendidikan itu berjalan lancar. Semua lembaga pendidikan tanpa terkecuali memiliki peran penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara filosofis, khusus terhadap lembaga pendidikan keagamaan didasarkan pada sila pertama dari falsafah bangsa (Pancasila) khususnya sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini dapat diartikan bahwa bangsa Indonesia memiliki kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan salah satu upaya merealisasikan hal tersebut maka diperlukan pendidikan keagamaan, yang secara tidak langsung meniscayakan adanya lembaga yang melaksanakan pendidikan keagamaan tersebut. Hadirnya lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan merupakan wadah terlaksananya pendidikan keagamaan sehingga diharapkan moralitas umat terjaga dengan baik di tengah perkembangan peradaban dunia.
Selain itu, kebebasan untuk memeluk dan menjalankan ibadah agamanya masing-masing merupakan hak asasi yang dijamin pelaksanaannya dalam UUD NRI Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 29 yang menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak asasi tersebut merupakan cerminan dari kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Landasan Sosiologis
Pendidikan merupakan kunci utama keberhasilan suatu negara. Karena pendidikan adalah aset penting bagi kemajuan suatu bangsa. Pada 2 Mei bangsa Indonesia merayakan hari pendidikan nasional. Peringatan hari pendidikan nasional itu juga dijadikan sebagai perenungan bersama tentang tingkat pendidikan di Indonesia ini. Seperti diketahui, pendidikan di Indonesia saat ini masih dibilang memperhatinkan.
Di media massa, misalnya, banyak berita yang memaparkan kondisi pendidikan formal di Indonesia. Padahal sudah maklum bersama, perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan formal sudah jelas. Bantuan sarana dan prasarana pada lembaga pendidikan formal dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan amanat UUD NRI 1945. Tetapi, hal ini masih menyisakan persoalan karena ternyata lembaga pendidikan belum juga sesuai dengan harapan secara kualitas. Kalau di daerah perkotaan mungkin pemenuhan sarana dan prasarana lembaga pendidikan sudah bisa dianggap cukup, namun di daerah pelosok masih banyak kekurangan yang perlu pembenahan. Ada data yang menyebutkan sekitar 2.000 ruang kelas di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dalam kondisi yang memprihatinkan, dan tidak layak untuk diditempati.
Ini adalah persoalan yang dimiliki lembaga pendidikan formal. Apalagi lembaga pendidikan nonformal dan informal yang ada di Indonesia dimana memang belum mendapatkan perhatian maksimal dari pemerintah, tentu lebih parah lagi kondisinya. Kalau bicara dunia pendidikan, maka tidak bisa menafikan semua jenis pendidikan secara umum, baik formal, informal ataupun nonformal. Sebab, bagaimanapun semua lembaga pendidikan tanpa terkecuali memiliki peran penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi, amanat UUD NRI 1945 itu mencakup semua jenis pendidikan yang ada di Indonesia.
Sebagai Negara yang berlandaskan pada ajaran-ajaran ketuhanan, sebagaimana tercantum dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini mengindikasikan bahwa perilaku kehidupan masyarakat Indonesia harus senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu, pendidikan keagamaan menjadi sesuatu yang niscaya. Di sinilah urgensi adanya lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan sebagai wadah terlaksananya pendidikan keagamaan itu menjadi hal yang perlu diperhatikan secara serius. Dalam pelaksanaan pendidikan keagamaan tersebut, butuh payung hukum yang berbentuk undang-undang. Kebutuhan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini semakin mendesak ketika dihadapkan pada kondisi realitas masyarakat Indonesia dalam menghadapi dinamika perkembangan peradaban global seperti sekarang. Perkembangan teknologi yang begitu cepat harus disertai dengan pemahaman keagamaan yang bagus agar moralitas umat terjaga dengan baik. Pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia sekarang harus diakui masih rendah. Ini menjadi rentan disaat desakan perkembangan peradaban dunia.
Moralitas bangsa Indonesia harus terus dijaga. Media paling utama dalam menjaga moralitas adalah agama. Sebab, diantara fungsi agama memang pengukuhan nilai-nilai dengan bersumber pada kerangka yang bersifat sacral. Norma-norma itu dikukuhkan dengan sanksi-sanksi yang sakral. Dalam setiap sanksi yang sakral mempunyai kekuatan memaksa istimewa, karena hukuman bersifat duniawi, supramanusiawi dan ukhrowi.
Atas dasar itu, undang-undang yang mengatur pelaksanaan pendidikan keagamaan di Indonesia harus segera direalisasikan agar pemerintah bisa lebih maksimal memperhatikan dan ikut meningkatkan kualitas lembaga-lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan yang terlaksana secara sukarela dari masyarakat umum.
Landasan Yuridis
UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 11 ayat (1), dan Pasal 30, menyatakan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi”.
Pasal 30
Pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dan pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarkan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabbajja, samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjtu dengan peraturan pemerintah.
PP 55 tahun 2007 tentang Pendidikan agama dan Pendidikan keagamaan pasal 8 dan pasal 9 ayat (2):
Pasal 8
Pendidikan keagamaan berfungsi mempesiapkan peserta didik manjeadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli imu agam ayng berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pasal 9 ayat (2) berbunyi: “Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal”.
Permen 13 tahun 2014 tentang pendidikan keagamaan Islam pasal 52 ayat (1) berbunyi: “Pendidikan diniyah informal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c diselenggarakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam”.
Dari UU yang ada, baik UUD NRI 1945 ataupun UU Sisdiknas belum secara spesifik mengatur tentang persoalan pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya. Di dalamnya hanya mengatur tentang pendidikan secara umum. Padahal pesantren dan pendidikan keagamaan, yang secara historis muncul lebih awal yaitu sejak Indonesia belum merdeka di mana jumlahnya juga sangat banyak, membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah.
Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama serta keputusan direktur jenderal substansinya perlu dinaikkan menjadi undang-undang, sebab materi muatan dalam peraturan perundang-undangan tersebut lemah dan belum mengatur keberadaan lembaga pendidikan keagamaan secara komprehensif.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
Sasaran
Sasaran yang ingin diwujudkan dengan penyusunan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yaitu untuk penguatan sekaligus penataan terhadap praktik penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya melalui undang-undang secara komprehensif sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan.
Jangkauan dan Arah Pengaturan
Jangkauan dan arah pengaturan RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yaitu memperbaiki penyelenggaraan atau pengelolaan lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya yang memiliki kedudukan yang sama atau sejajar dengan pendidikan umum sehingga mampu meningkatkan kualitasnya dan tertata secara baik. Untuk mencapai kondisi tersebut maka diatur mengenai sistem dan mekanisme penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang mencakup pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh agama-agama yang ada di Indonesia baik formal, nonformal, maupun informal dan peranan dari setiap stakeholder yang terkait baik pengelola atau penyelenggara pendidikan keagamaan, pemerintah, dan masyarakat.
Ruang Lingkup Materi Muatan
Ketentuan Umum
Dalam ketentuan umum, diuraikan istilah yang digunakan atau yang seirng disebut di dalam batang tubuh undang-undang serta batas definisi dari istilah tersebut. Definisi istilah ini dimaksudkan untuk memberikan batasan makna bagi istilah yang digunakan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini. Istilah-istilah yang dimaksud tersebut seperti pendidikan keagamaan, pendidikan diniyah, pondok pesantren, pasraman, pesantian, pabbajja, shuyuan, dan lain-lain. Istilah tersebut perlu dipertegas di awal agar tidak menimbulkan multimakna. Berikut penjabaran dari masing-masing istilah:
Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya.
Lembaga Pendidikan Keagamaan adalah institusi yang dijadikan tempat untuk melaksanakan pendidikan keagamaan.
Pendidikan Diniyah adalah Pendidikan Keagamaan Islam yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
Pondok Pesantren yang selanjutnya disebut Pesantren adalah lembaga Pendidikan Keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan Pendidikan Diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya.
Pasraman adalah satuan Pendidikan Keagamaan Hindu pada jalur pendidikan formal dan nonformal.
Pesantian adalah satuan Pendidikan Keagamaan Hindu pada jalur pendidikan nonformal yang mengacu pada sastra agama dan/atau kitab suci Weda.
Pabbajja samanera adalah satuan Pendidikan Keagamaan Buddha pada jalur pendidikan nonformal.
Shuyuan adalah satuan Pendidikan Keagamaan Khonghucu yang diselenggarakan pada semua jalur dan jenjang pendidikan yang mengacu pada Si Shu Wu Jing.
Selain istilah juga ditentukan fungsi dan tujuan lembaga pendidikan keagamaan. Pendidikan Keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Sedangkan tujuan Pendidikan Keagamaan untuk membentuk peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Lingkup Pengaturan
Dalam RUU ini pengaturan tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya mencakup Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pesantren dan Pendidikan Keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum/keterampilan yang bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pindah pada jenjang yang sama atau melanjutkan ke pendidikan umum atau yang lainnya pada jenjang berikutnya.
Selanjutnya RUU ini mengatur peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang dasar dan yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, Madrasah Aliyah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. Hasil Pendidikan Keagamaan nonformal dan/atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Begitu pula diatur bahwa peserta didik Pendidikan Keagamaan formal, nonformal, dan informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum/kejuruan dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya pada Pendidikan Keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya
Penyelenggaraan
Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu, pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pemerintah bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan dilaksanakan oleh Menteri. Penyelengaraan Pendidikan Keagamaan dapat berbentuk satuan atau program pendidikan yang dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat setelah memenuhi persyaratan tertentu. Syarat pendirian satuan Pendidikan Keagamaan terdiri atas isi pendidikan/kurikulum, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran, sumber pembiayaan untuk kelangsungan program pendidikan paling sedikit untuk 1 (satu) tahun pendidikan/akademik berikutnya, sistem evaluasi, serta manajemen dan proses pendidikan. Disamping itu, khusus bagi Pendidikan Keagamaan tertentu berlaku juga persyaratan lain. Seperti pendirian Pendidikan Keagamaan Katolik oleh masyarakat harus mendapatkan rekomendasi dari keuskupan dari wilayah setempat. Pada umumnya, pendirian Pendidikan Keagamaan oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum dan wajib memperoleh izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan jalur nonformal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas) orang atau lebih yang merupakan program pendidikan yang wajib mendaftarkan diri kepada Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota. Terhadap Pendidikan Keagamaan yang telah terdaftar diberikan tanda daftar oleh Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota. Dalam penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melindungi kemandirian dan kekhasan penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan. Jaminan terhadap kemandirian dan kekhasan dimaksud tentunya tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Untuk penjaminan dan pengendalian mutu penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan, Pemerintah berwenang melakukan akreditasi sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akreditasi atas Pendidikan Keagamaan dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama sebagai penanggungj jawab penyelenggaraan pendidikan keagamaan di Indonesia.
Pembinaan
Dalam RUU ini diatur bahwa pembinaan atas penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. Pembinaan dilakukan dalam rangka peningkatan manajemen mutu pendidikan yang dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Selain itu pembinaan juga dilakukan dalam rangka mengamalan ilmu agama, pembentukan akhlak, meneguhkan Islam rahmatan lil’alamiin, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhennika Tunggal Ika.
Dalam rangka pembinaan tersebut Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan lembaga Pendidikan Keagamaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah juga berkewajiban memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya lembaga Pendidikan Keagamaan tanpa diskriminasi.
Pendanaan
Pada bagian pendanaan, dalam RUU ini diatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berkewajiban mengalokasikan pendanaan dalam penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan tanpa diskriminasi. Alokasi pendanaan tersebut merupakan prioritas anggaran kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah.
Selain pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah, pendanaan Pendidikan Keagamaan juga bersumber dari penyelenggara, masyarakat, dan sumber lain yang sah. Pendanaan penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan dikelola secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kerja Sama Internasional
Dalam RUU ini diatur bahwa Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lainnya dapat melakukan kerjasama dengan lembaga keagamaan lainnya yang bersifat nasional dan/atau Internasional. Kerjasama antara lain dilakukan dalam bentuk pertukaran peserta didik, perlombaan, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan pendanaan, dan pelatihan dan peningkatan kapasitas.Kerja sama internasional tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peran Serta Masyarakat
RUU ini mengatur bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dengan tujuan dalam rangka pengembangan Pendidikan Keagamaan. Peran serta tersebut dapat berupa :
melaporkan apabila mengetahui terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan;
memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan;
memberikan beasiswa dan/atau bantuan kepada Lembaga Pendidikan Keagamaan;
mengawasi mutu dan standar Pendidikan Keagamaan; dan
mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan Lembaga Pendidikan Keagamaan.
Peran serta masyarakat dapat dilakukan baik secara perorangan, kelompok, badan , dan/atau organisasi kemasyarakatan. Selain itu juga dapat dilakukan melalui komite atau forum wali murid/santri satuan Pendidikan Keagamaan.
Ketentuan Penutup
Sebagai konsekuensi dari diundangkannya RUU ini nantinya maka diatur bahwa pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dikeluarkan peraturan pelaksanaan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Begitu pula semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang ada pada saat diberlakukan Undang-Undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Untuk memberikan kepastian hukum maka peraturan pelaksana dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:
Teori dan praktik empiris mengenai penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan:
a. Secara teoretis, pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Lembaga Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sangat penting dan strategis dalam perannya memberikan kontribusi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
b. Secara empiris, pesantren dan pendidikan keagamaan sudah ada di Indonesia jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Pendidikan keagamaan tidak hanya tumbuh di Batavia, namun pada perkembangannya juga menjamur di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan seluruh nusantara.
c. Dalam praktiknya, penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan mengalami permasalahan yang terpusat pada tiga persoalan yaitu regulasi, pembiayaan, dan manajerial. Tidak setaranya pengalokasian APBN ataupun APBD untuk lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren secara implementatif menyebabkan masih terjadi ketimpangan terhadap lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren dalam hal pemberian bantuan yang sangat tergantung dengan kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah setempat. Pembiayaan seadanya yang mengandalkan dari siswa dan wali murid serta tidak standarnya pengelolaan dan kurikulum juga menjadi permasalahan bagi lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren.
Kondisi peraturan perundang-undangan saat ini yang berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Dalam evaluasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ditemukan beberapa permasalahan norma substantif perundang-undangan yang belum mengatur pendidikan keagamaan secara komprehensif sehingga dalam implementasinya menimbulkan hambatan di lapangan, sehingga perlu adanya Undang-Undang tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Landasan filosofis
Untuk merealisasikan sila pertama yaitu bangsa Indonesia yang memiliki kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pembukaan UUD NRI 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka diperlukan pendidikan agama sehingga meniscayakan adanya lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren dan penyelenggaraannya yang berkualitas.
Landasan sosiologis
Perlunya penguatan institusi lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan melalui perbaikan penyelenggaraan/pengelolaan dan penataan dengan didukung pendanaan yang memadai serta sarana dan prasarana yang layak.
Landasan yuridis
Adanya beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang belum mengakomodir apa yang diperlukan bagi penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan sehingga tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan dinamika masyarakat terutama stakeholder yang terlibat dalam penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan.
Materi muatan dari RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Mencakup Lingkup Pengaturan, Penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang terdiri dari Pendidikan keagamaan Islam, Pendidikan Keagamaan Kristen, Pendidikan Keagamaan Katolik, Pendidikan Keagamaan Hindu, Pendidikan Keagamaan Buddha, Pendidikan Keagamaan Khonghucu, Pembinaan, Pendanaan, Kerja sama Internasional, Peran Serta Masyarakat.
B. Saran
Atas beberapa kesimpulan di atas dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut :
Perlu adanya pengaturan tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan dalam undang-undang untuk penguatan kedudukannya dalam sistem pendidikan nasional dan mengakomodir kebutuhan penyelenggaraan dan tata kelola lembaga pesantren dan pendidikan keagamaan yang baik.
Dengan adanya undang-undang yang mengatur tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan secara komprehensif diharapkan peningkatan penyelenggaraan pesantren dan pendidikan keagamaan yang berkualitas dan sesuai standar nasional pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 2002
Asshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 1998
Azra, Azyumardi, “Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik,” dalam Jurnal Madrasah vol. 1, No. 2, 1997.
Feisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1995
Hamalik, Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta, Bumi Aksara, 2005
Koesoema, Doni, Pendidikan Karakter, Jakarta, PT. Grasindo, 2007
Langgulung, Hasan, “Kata Pengantar”, dalam Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1999
Miramba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, al-Ma’arif, 1989
Modul Orientasi Pembekalan Calon PNS, Basic Kompetensi Guru, Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004
Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta, Bumi Aksara, tt.
Poerwadarminto, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN Balai Pustaka,1984
Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta, LKiS, 2007
Sagala, Syaful, Konsep Dan Makna Pembelajaran, Bandung, Alfabeta, 2006
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1985
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983
Suparla Parsudi, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1995
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2005
Tim dosen PAI, Bunga Rampai Penelitian dalam Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta, Deepublish, 2016
Undang-Undang Republik Indonesia dan Perubahannya, Penabur Ilmu, 2004
Valerine, Modul Metode Penelitian Hukum, Jakarta, FHUI, 2009
http://www.prestasi-iief.org/index.php/id/feature/68-kilas-balik-dunia-pendidikan-di-indonesia. Diakses pada 07 Februari 2017
https://ekanugnug.wordpress.com/artikel/artikel-pendidikan/kondisi-pendidikan-indonesia-saat-ini/. Diakses pada 07 Februari 2017.
https://kalbar.kemenag.go.id/berita/11462/pemahaman-dan-pengamalan-ajaran-agama-masyarakat-masih-rendah. Diakses pada 06 Februari 2017