Pengertian dan Hukum Muzara'ah - Perjanjian kerjasama dalah mengolah Lahan
- Pengertian dan Hukum Muzara’ah
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian
antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat
beberapa defenisi muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.
Ulama Malikiyah mendefeniskan: “Perserikatan dalam pertanian”
Ulama Hanabilah mendefenisikan:“Penyerahan tanah pertanian kepada
seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua”
Kedua defenisi dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “ paruhan
sawah”. Penduduk Irak menyebutnya “ al- mukhabarah”. Tetapi dalam
al-mukhabarah, bibit yang ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam Syafi’i, mendefenisikan:
“ pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan
hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah”.
Dalam muhkarabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap
tanah, sedangkan dalam muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Jadi, muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap
tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama,
sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja
sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini
disebut al-mukhabarah.
Antara muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun
perbedaannya ialah: didalam musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga
kerja untuk memeliharanya. Didalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya
masih harus digarap dahulu oleh penggarapnya[13].
Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya
mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman
firman Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari
Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:
“Bahwasanya Rasulullah saw.mempekerjakan
penduduk khaibar (dalam
pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan
Nasa’i).
Rukun dan Syarat Muzara’ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan
syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.
Rukun Muzara’ah menurut mereka sebagai berukut:
1.
Pemilik tanah.
2.
Petani penggarap.
3.
Objek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4.
Ijab dan kabul. Contoh ijab dan kabul: “ Saya serahkan tanah pertanian
saya ini kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”.
Petani penggarap menjawab: “ Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap
dengan imbalan hasilnya dibagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad
ini sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa penerimaan
(kabul) akad muzara’ah tidak perlu denngan ungkapan, tetapi boleh juga dengan
tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu[14].
Adapun syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur
ulama sebagai berikut:
1.
Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah baliq
dan berakal.
2.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga
benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3.
Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berukut:
a.
Menurut adat dikalangan para petani, tanah ini boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah ini tanah tandus dan kering sehingga tidak
memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.
b.
Batas-batas tanah itu jelas.
c.
Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila
disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah
tidak sah.
4.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:
a.
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b.
Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
c.
Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau
seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di
kemudian hari. Dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara
mutlak, seperti saru kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena
kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah itu atau dapat juga jauh melampaui
jumlah itu.
5.
Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad
sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah
(sewa-menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebeb itu, jangka
waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan
dengan adat setempat.
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah,
mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang
akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga
benihnya dari petani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar