Selasa, 16 November 2021

Pengertian dan Hukum Muzara'ah - Perjanjian kerjasama dalah mengolah Lahan

Pengertian dan Hukum Muzara'ah - Perjanjian kerjasama dalah mengolah Lahan



- Pengertian dan Hukum Muzara’ah

            Secara etimologi, muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap. Secara terminologi, terdapat beberapa defenisi muzara’ah yang dikemukakan ulama fiqh.

            Ulama Malikiyah  mendefeniskan: “Perserikatan dalam pertanian”

            Ulama Hanabilah mendefenisikan:“Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua”

            Kedua defenisi dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “ paruhan sawah”. Penduduk Irak menyebutnya “ al- mukhabarah”. Tetapi dalam al-mukhabarah, bibit yang ditanam berasal dari pemilik tanah.

Imam Syafi’i, mendefenisikan:

“ pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah”.

            Dalam muhkarabah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam muzara’ah, bibit yang akan ditanam boleh dari pemilik.

            Jadi, muzara’ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut al-mukhabarah.

            Antara muzara’ah dan musaqah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah kedua-duanya merupakan akad (perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: didalam musaqah tanaman telah ada tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Didalam muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dahulu oleh penggarapnya[13].

            Kerja sama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama fiqh hukumnya mubah (boleh). Dasar kebolehannya itu, disamping dapat dipahami dari keumuman firman Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadis Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang mengatakan:

     “Bahwasanya Rasulullah saw.mempekerjakan  penduduk khaibar (dalam    pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam         bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud       dan Nasa’i).

Rukun dan Syarat Muzara’ah

            Jumhur ulama yang membolehkan akad muzara’ah mengemukakan rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah.

            Rukun Muzara’ah menurut mereka sebagai berukut:

1.      Pemilik tanah.

2.      Petani penggarap.

3.      Objek muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.

4.      Ijab dan kabul. Contoh ijab dan kabul: “ Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani penggarap menjawab: “ Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mengatakan bahwa penerimaan (kabul) akad muzara’ah tidak perlu denngan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu[14].

Adapun syarat-syarat muzara’ah, menurut jumhur ulama sebagai berikut:

1.      Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah baliq dan berakal.

2.      Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.

3.      Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berukut:

a.       Menurut adat dikalangan para petani, tanah ini boleh digarap dan menghasilkan. Jika tanah ini tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad muzara’ah tidak sah.

b.      Batas-batas tanah itu jelas.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad muzara’ah tidak sah.

4.      Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:

a.       Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

b.      Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada pengkhususan.

c.       Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti saru kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh dibawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

5.      Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan  sebagian hasil panen. Oleh sebeb itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.

            Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani


Tidak ada komentar:

Posting Komentar