Selasa, 16 November 2021

Akad Perjanjian Jaga dan menyiram Lahan - Musaqoh

 Akad Perjanjian Jaga dan menyiram Lahan - Musaqoh



 A.    Pengertian dan Hukum Musaqah

           Secara etimologi, musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al- mu’amalah. Secara terminologi, musaqah didefenisikan oleh para ulama fiqh sebagai berikut:

            Menurut Abdurrahman al-Jaziri[1], musaqah ialah:

            “Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang     lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.

            Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen[2], musaqah adalah:

“Penyerahan sebidang kebun kepada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.

            Ulama Syafi’i mendefenisikan: “Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang menggarap”.

           Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

            Kerja sama dalam bentuk musaqah ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya yang belum tentu[3].

            Menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:

            “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw. telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian:        mereka akan memperoleh dari penghasilannya, baik dari bauh-buahan        maupun hasil tanamannya” (HR. Muslim).

B.     Rukun, Syarat, dan Berakhirnya Akad Musaqah

1.      Rukun Musaqah

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqah adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak penggarap[4]. Adapun Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun musaqah ada lima yaitu:

a.       Dua orang/ pihak yang melakukan transaksi.

b.      Tanah yang dijadikan objek musaqah.

c.       Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.

d.      Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah.

e.       Shighat (ungkapan) ijab dan kabul[5].

2.      Syarat Musaqah

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun sebagai berikut:

a.       Kedua belah pihak yang melakukan transaksi musaqah harus orang yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil balig) dan berakal.

b.      Objek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang  mempunyai buah. Dalam menentukan objek musaqah ini terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh. Menurut ulama Hanafiyah, yang boleh menjadi objek musaqah adalah pepohonan yang berbuah (boleh berbuah), seperti kurma, anggur dan terong. Akann tetapi, ulama Hanafiyah mutaakhkhirin menyatakan, musaqah juga berlaku pada pepohonan yang tidak mempunyai buah, jika hal itu dibutuhkan masyarakat. Ulama Malikiyah, menyatakan bahwa yang menjadi objek musaqah itu adalah tanaman keras dan palawija, seperti kurma, terong, apel dan anggur dengan syarat bahwa:

1)      Akad musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipanen.

2)      Tenggang waktu yang ditentukan jelas.

3)      Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.

4)      Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman itu.

            Menurut ulama Hanabilah, yang boleh dijadikan objek musaqah adalah terhadap tanaman yang buahnya boleh dikonsumsi. Oleh sebab itu, musaqah tidak berlaku terhadap tanaman yang tidak memiliki buah.

            Adapun ulama Syafi’i berpendapat bahwa yang boleh dijadikan objek akad musaqah adalah kurma dan anggur saja, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

“Rasulullah saw.menyerahkan perkebunan kurma di Khaibar kepada orang Yahudi dengan ketentuan sebagian dari hasilnya, baik buah-buahan maupun dari biji-bijian menjadi milik orang Yahudi itu”.

c.       Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarap, tanpa campur tangan pemilik tanah.

d.      Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, tiga dan sebagainya. Menurut Imam Syafi’i yang terkuat, sah melakukan peerjanjian musaqah pada kebun yang telah mulai berbuah, tetapi buahnya belum dapat dipastikan akan baik (belum matang).

e.       Lamanya perjanjian harus jelas, karena transaksi ini sama dengan transaksi sewa-menyewa agar terhindar dari ketidak pastian[6].

3.      Berakhirnya Akad Musaqah

Menurut para ulama fiqh,akad musaqah berakhir apabila:

a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.

b.      Salah satu pihak meninggal dunia.

c.       Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

            Uzur yang mereka maksud dalam hal ini diantaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak memungkinkan dai untuk bekerja.  Jika petani yang wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika tanaman itu belum dipanen. Adapun jika pemilik perkebunan yang wafat, maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara meneruskan atau menghentikannya[7].

            Akan tetapi, ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah ialah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada uzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah, juga menyatakan bahwa akad musaqah tidak boleh dibatalkan karena adanya uzur. Jika petani penggarap mempunyai uzur, maka harus ditunjuk salah seorang yang bertanggung jawab untuk melanjutkan pekerjaan itu. Menurut ulama Hanabilah, akad musaqah sama dengan akad muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, masing-masing pihak boleh saja membatalkan akad itu. Jika pembatalan akad itu dilakukan setelah pohon berbuah, maka buah itu dibagi dua antara pemilik kebun dan petani penggarap, sesuai dengan kesepakatan yang telah ada[8].

C.    Hikmah Musaqah

            Ada orang kaya yang memiliki tanah yang ditanami pohon kurma dan pohon-pohon yang lain, tetapi dia tidak mampu untuk menyirami (memelihara) pohon ini karena ada suatu halangan yang menghalanginya. Maka Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkan orang itu untuk mengadakan suatu perjanjian dengan orang yang dapat menyiraminya, yang masing-masing mendapatkan bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada dua hikmah:

1.      Menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat mencukupi kebutuhannya.

2.      Salling tukar manfaat di antara manusia.

            Disamping itu, ada faedah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemeliharaan telah berjasa merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau sendainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi faedah dari adanya ikatan cinta, kasih sayang, antara sesama manusia, maka jadilah umat itu umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung faedah yang besar[9].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar