HUKUM AR-RAHN - GADAI - Hadits Tematik Muamalah
Berdasarkan al Qur`an, Sunnah dan ijma’ kaum
Muslimin, sistem hutang-piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan
disyari’atkan. Dalil di dalam al Qur`an, yaitu firman Allah:
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَنْ
يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al
Baqarah/2:283]. Dalam ayat ini, walaupun disebutkan “dalam perjalanan”, namun
tetap menunjukkan keumumannya. Yakni baik dalam perjalanan maupun dalam keadaan
mukim. Karena, kata “dalam perjalanan” pada ayat ini, hanya menunjukkan keadaan
yang biasa membutuhkan sistem ini. Dibolehkannya ar-rahn, juga dapat
ditunjukkan dengan amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa
beliau pernah melakukan sistem gadai ini, sebagaimana dikisahkan Ummul-Mukminin
‘Aisyah Radhiyallahu anha :
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ
إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli dari seorang Yahudi bahan makanan dengan
cara hutang dan menggadaikan baju besinya. [HR al Bukhari, no. 2513 dan Muslim,
no. 1603].
Demikian juga para ulama
telah bersepakat bolehnya ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), akan tetapi
masih berselisih tentang bolehnya jika dalam keadaan tidak safar. Imam al
Qurthubi mengatakan: “Tidak ada seorangpun yang melarang ar-rahn pada keadaan
tidak safar, kecuali Mujahid, adh-Dhahak dan Dawud (adh-Dhohiri)”.
Demikian juga Ibnu Hazm.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan: “Diperbolehkan ar-rahn adalah dalam
keadaan tidak safar (menetap), sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar
(bepergian)”. Sedangkan Ibnul-Mundzir mengatakan, kami tidak mengetahui
seorangpun yang menyelisihi hal ini, kecuali Mujahid. Menurutnya, ar-rahn tidak
ada, kecuali dalam keadaan safar. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Jika kamu dalam perjalanan
(dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). [al Baqarah/2:283].
Namun yang benar dalam hal
ini, adalah pendapat mayoritas ulama dengan menunjuk adanya perbuatan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sabda beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Ar-rahn (gadai) ditunggangi
dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan. Dan susu hewan menyusui, diminum,
dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan
meminumnya (memberi) nafkah. [HR al Bukhari, no. 2512]. Wallahu a’lam.
Pendapat ini dirajihkan Ibnu Qudamah, al
Hafidz Ibnu Wallah, dan Muhammad al Amin as-Singqithi. Setelah jelas
pensyari’atan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib
dalam safar dan mukim, atau tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam keadaan
safar saja? Dalam keadaan demikian, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat Pertama. Tidak wajib, baik dalam perjalanan maupun saat mukim. Inilah
pendapat madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah).
Ibnu Qudamah berkata: “Ar-rahn tidaklah wajib.
Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Karena ia (ar-rahn) sebagai
jaminan atas hutang, sehingga tidak wajib seperti dhiman (jaminan
pertanggung-jawaban)”.
Dalil pendapat ini, yaitu
dalil-dalil yang menunjukkan pensyari’atan ar-rahn dalam keadaan mukim
sebagaimana disebutkan di atas, yang tidak menunjukkan adanya perintah,
sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena ar-rahn adalah jaminan
hutang, sehingga tidak wajib seperti halnya adh-dhiman (jaminan
pertanggung-jawaban) dan al kitabah (penulisan perjanjian hutang). Disamping
itu, juga karena adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian
hutang. Bila al kitabah tidak wajib, maka demikian juga penggantinya. Pendapat
Kedua. Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang
menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا
كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
Jika kamu dalam perjalanan
(dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). [al Baqarah/2:283].
Menurut mereka, kalimat
“maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”
adalah berita yang maknanya perintah. Juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
كُلُّ
شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
Semua syarat yang tidak ada
dalam Kitabullah, maka ia bathil, walaupun seratus syarat. [HR al Bukhari].
Mereka mengatakan,
pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar ada dalam al Qur`an dan diperintahkan,
sehingga wajib mengamalkannya, dan tidak ada pensyaratan dalam keadaan mukim,
sehingga ia tertolak. Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut
bermaksud bimbingan, bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah
setelahnya:
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ
الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya). [al Baqarah/2:283].
Demikian juga pada asalnya
dalam transaksi mu’amalah adalah boleh (mubah), hingga ada larangan, dan disini
tidak terdapat adanya larangan. Yang rajih adalah pendapat pertama. Wallahu
a’lam.
HIKMAH PENSYARI’ATAN AR-RAHN
Setiap orang berbeda-beda
keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, sedangkan harta sangat dicintai
setiap jiwa. Lalu terkadang pada waktu tertentu seseorang sangat membutuhkan
uang untuk memenuhi kebutuhannya yang mendesak. Dan pada saat itu tidak mendapatkan
orang yang bersedekah kepadanya, atau yang meminjamkan kapadanya. Begitu juga
tidak ada penjamin yang menjaminnya, sehingga ia mendatangi orang lain untuk
membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berhutang, atau meminjam dengan
kesepakatan ketentuan, yaitu memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak
pemberi hutang, sampai ia mampu melunasi hutangnya. Baca Juga Adab
Berhutang Oleh karena itu, Allah mensyari’atkan ar-rahn (gadai) untuk
kemaslahatan orang yang menggadaikan (rahin), pemberi hutang (murtahin) dan
masyarakat. Untuk yang menggadaikan (rahin), ia mendapatkan keuntungan sehingga
dapat menutupi kebutuhannya. Sehingga dia bisa menyelamatkan dirinya dari
krisis yang menimpanya, dan menghilangkan kegundahan di hatinya. Bahkan kadang
ia bisa berdagang bermodal hutang tersebut, lalu menjadi sebab ia menjadi kaya.
Sedangkan pihak pemberi hutang (murtahin), ia menjadi tenang dan merasa aman
atas haknya, dan mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka
mendapatkan pahala dari Allah. Adapun kemaslahatan yang kembali kepada
masyarakat, yaitu memperluas interaksi perdagangan, saling memberi kecintaan
dan kasih sayang di antara manusia. Karena peminjaman dengan ar-rahn ini
termasuk kategori tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Di sana terdapat
manfaat yang menjadi solusi krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan
penguasa.
RUKUN DAN SYARAT AR-RAHN
Mayoritas ulama memandang
rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu: Ar-rahn atau al marhun (barang yang
digadaikan). Al marhun bihi (hutang). Shighah. Dua pihak yang bertransaksi,
yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi hutang). Sedangkan
madzhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun, yaitu
shighah, karena hakikat pada ar-rahn adalah transaksi. Sedangkan syarat dalam
ar-rahn adalah sebagai berikut: Syarat yang berhubungan dengan yang melakukan
transaksi, yaitu orang yang menggadaikan barangnya adalah baligh, berakal dan
rusyd (kemampuan mengatur). Syarat yang berhubungan dengan al marhun (barang
gadai) ada tiga, yaitu: Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat
menutupi hutangnya, baik dalam bentuk barang atau nilainya, apabila yang
berhutang tersebut tidak mampu melunasinya. Barang gadai tersebut adalah milik
orang yang manggadaikannya, atau yang dizinkan bagi dirinya untuk menjadikannya
sebagai jaminan gadai. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan
sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta, sehingga disyaratkan
dalam hal seperti ini. Syarat yang berhubungan dengan al marhun bihi (hutang)
adalah hutang yang wajib, atau yang akhirnya menjadi wajib.
KAPAN AR-RAHN (GADAI) MENJADI KEHARUSAN?
Para ulama berselisih
pendapat dalam masalah keharusan ar-rahn. Apakah langsung seketika saat
transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya. Dalam masalah ini
terdapat dua pendapat: 1. Serah terima adalah menjadi syarat keharusan
terjadinya ar-rahn. Demikian pendapat madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat
dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dhohiriyah. Dasar pendapat ini
adalah firman Allah
فَرِهَانٌ
مَّقْبُوضَةُُ. Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan dipegang (serah
terima). Dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan,
sehingga perlu adanya serah terima (al qabdh), seperti hutang. Juga karena hal
itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan
menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia. Ar-rahn
langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang
menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya, maka ia pun dipaksa untuk
menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab
al Hanbaliyah. Dasar pendapat ini adalah firman Allah
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ. Dalam ayat ini, Allah menetapkannya
sebagai ar-rahn sebelum dipegang (diserah-terimakan). Juga ar-rahn adalah akad
transaksi yang mengharuskan adanya serah terima, sehingga juga menjadi wajib sebelumnya,
seperti halnya jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima
hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn, dan bukan syarat sahnya. Syaikh
Abdur-Rahman bin Hasan menyatakan, firman Allah فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ
itu, adalah sifat keumumannya, namun hajat menuntut (keharusannya) tidak
dengan serah terima (al qabdh).
KAPAN SERAH TERIMA AR-RAHN DIANGGAP SAH
Barang gadai, adakalanya berupa barang yang
tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah. Maka kesepakatan serah terimanya
dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya. Ada kalanya juga
berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar, maka
kesepakatan serah terimanya ialah dengan ditimbang pada takaran. Bila barang
timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya
dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang
diukur. Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang
dijual secara tumpukan, dalam hal ini terjadi perselisihan pendapat tantang
cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari
tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup ditinggalkan pihak yang
menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.
HUKUM-HUKUM SETELAH SERAH TERIMA
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah
terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan),
pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan, serta jaminan pertanggung jawaban
bila rusak atau hilang. Pemegang barang gadai. Barang gadai tersebut
berada di tangan murtahin (pemberi hutang) selama masa perjanjian gadai
tersebut, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا
كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ
Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). [al Baqarah/2:283].
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Hewan yang dikendarai
dinaiki, apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum, apabila hewannya
digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.
[Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi]. Pembiayaan, pemeliharaan, dan pemanfaatan
barang gadai. Pada asalnya, barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan, adalah milik orang yang menggadaikan (rahin). Adapun bagi murtahin,
ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadai tersebut, kecuali bila barang
tersebut berupa kendaraan, atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh
menggunakan dan mengambil air susunya, apabila ia memberi nafkah (dalam arti
pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tersebut, tentunya
sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ
وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Hewan yang dikendarai
dinaiki, apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum, apabila hewannya
digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi
nafkahnya. [Hadits shahih riwayat at-Tirmidzi]. Menurut Syaikh al Basam, ulama
sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.
Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut, juga menjadi
miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan, dan hewan yang memiliki air
susu boleh diperas oleh yang menerima gadai. [25] Penulis kitab al
Fiqhul-Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak
pihak penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh
mengambilnya, tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan murtahin (pemberi hutang)
untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya
dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman
hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa
kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka murtahin diperbolehkan
mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa diperlukan
izin dari penggadai, karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Ar-rahn (gadai) ditunggangi dengan sebab
nafkahnya, apabila digadaikan; dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab
nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi yang menungganginya dan meminumnya,
(untuk) memberi nafkah. [HR al Bukhari no. 2512].
Demikian madzhab Hanabilah.
Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, mereka
memandang murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan
hanyalah hak penggadai, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: Baca Juga Apa Dasar Pijak Ekonomi Islam ? لَهُ غُنْمُهُ
وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ Ia yang berhak memanfaatkannya, dan wajib baginya biaya
pemeliharaannya. [HR ad-Daraquthni dan al Hakim]. Mereka tidak mengamalkan
hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad,
dan inilah yang rajih -Insya Allah- karena hadits shahih tersebut.[26] Ibnul
Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan
gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari’at menunjukkan, hewan gadai
dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan murtahin
(yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang
gadai tersebut di tangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya,
tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan,
analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (murtahin) dan
hewan tersebut, ialah murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras
susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila murtahin
menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal
ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.[27] Pertumbuhan barang
gadai. Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan, adakalanya
bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung, seperti (bertambah) gemuk,
maka ia masuk dalam barang gadai berdasarkan kesepakatan ulama. Sedangkan jika
terpisah, maka dalam hal seperti terjadi perbedaan pendapat di kalngan ulama.
Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang, bahwa
pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai di tangan
murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i, Ibnu
Hazm, dan yang menyepatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut
barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu
Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan
hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui,
(pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.[28] Perpindahan
kepemilikan dan pelunasan hutang dengan barang gadai. Barang gadai tidak
berpindah kepemilikannya kepada murtahin apabila telah selesai masa
perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (rahin), dan
rahin tidak mampu melunasinya. Pada zaman jahiliyah dahulu, apabila telah jatuh
tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya
kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai
tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam
membatalkan cara yang zhalim ini dan menjelaskan, bahwa barang gadai tersebut
adalah amanat pemiliknya di tangan pihak yang berpiutang, sehingga tidak boleh
memaksa orang yang menggadaikan tersebut menjualnya, kecuali dalam keadaan
tidak mampu melunasi hutangnya tesebut. Bila tidak mampu melunasi saat jatuh
tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang
tersebut. Apabila ternyata ada sisanya, maka sisa tersebut menjadi hak pemilik
barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya,
bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang
menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.[29] Kesimpulannya,
barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh
tempo, maka penggadai meminta kepada murtahin untuk menyelesaikan permasalahan
hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti
hutang tanpa gadai. Bila rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau
memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka murtahin harus melepas barang
tersebut. Adapun bila rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya,
maka wajib bagi orang yang menggadaikan (ar-rahin) menjual sendiri barang
gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari murtahin, dan dalam pembayaran
hutang-hutangnya didahulukan murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila
penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang
gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual
barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya, maka pemerintah
menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil
jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Adapun
Malikiyah, mereka memadang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa
memenjarakannya, dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya.
Sedangkan Hanafiyah memandang, murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada
penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada
ar-rahin tidak maumelunasinya. Pemenrintah (pengadilan) tidak boleh menjual
barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya untuk menolak
kezhaliman.[30] Yang rajih, pemerintah menjual barang gadainya dan melunasi
hutangnya dengan hasil penjualan tersebut tanpa memenjarakan sang penggadai,
karena tujuannya adalah membayar hutang, dan tujuan itu telah terwujud dengan
menjual barang gadai tersebut. Juga untuk mencegah adanya dampak negatif di
masyarakat dan lainnya, jika diberlakukan penjara. Apabila barang gadai
tersebut dapat menutupi seluruh hutangnya, maka selesailah hutang tersebut.
Namun, bila tidak dapat menutupinya, maka penggadai tersebut tetap memiliki
hutang sisa, antara nilai barang gadai dengan hutangnya, dan ia wajib
melunasinya. Demikianlah keindahan Islam dalam permasalahan gadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar