Rabu, 07 Mei 2025

Definisi Manusia yang baik

MENJADI MANUSIA YANG TERBAIK DALAM PERJALANAN WAKTUNYA

Sahabat gudang da'i,Kita dilarang untuk membiarkan kemungkaran terjadi di tengah masyarakat,  padahal sebenarnya kita bisa mengingatkannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kita untuk mengingkari kemungkaran yang ada di hadapan kita. Baik dengan tangan, lisan, atau minimal hatinya membenci.

Dalam hadits dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah meluruskannya dengan tangannya, maka jika tidak sanggup hendaklah meluruskan dengan lisannya, jika tidak sanggup hendaklah dia meluruskan dengan hatinya dan ini adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim 49)

Bagian dari pengingkaran terhadap kemungkaran itu adalah menjauhinya dan tidak bergabung dengan para pelaku kemungkaran. Allah Azza wa Jalla mengingatkan para hamba-Nya untuk tidak berkumpul dengan orang munafiq,

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آَيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

“Sungguhnya Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan oleh orang-orang kafir, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sungguh jika kalian tidak menyingkir, berarti kalian serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa: 140)

Allah Azza wa Jalla menyebutkan, orang yang ikut _nimbrung_ bersama orang kafir atau orang munafiq dalam melakukan kekufuran dengan “jika kalian tidak menyingkir, berarti kalian serupa dengan mereka.”

Al-Qurthubi mengatakan,

فَدَلَّ بِهَذَا عَلَى وُجُوبِ اجْتِنَابِ أَصْحَابِ الْمَعَاصِي إِذَا ظَهَرَ مِنْهُمْ مُنْكَرٌ ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَجْتَنِبْهُمْ فَقَدْ رَضِيَ فِعْلَهُمْ ، وَالرِّضَا بِالْكُفْرِ كُفْرٌ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلّ : (إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ) . فَكُلُّ مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسِ مَعْصِيَةٍ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ يَكُونُ مَعَهُمْ فِي الْوِزْرِ سَوَاءً

Ayat ini menunjukkan wajibnya menjauhi pelaku maksiat ketika mereka menampakkan kemungkaran. Karena orang yang tidak menjauhi kemungkaran mereka, berarti ridha dengan perbuatan mereka. Dan ridha dengan perbuatan kekufuran adalah kekufuran. Allah Azza wa Jalla menegaskan, “Berarti kalian seperti mereka.” Sehingga semua yang duduk bersama di majelis maksiat, dan tidak mengingkarinya, maka dosa mereka sama... (Tafsir Al-Qurthubi, 5/418)

Allah Azza wa Jalla berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Sahabat, Para _salaf_ mengatakan bahwa _amar ma’ruf nahi munkar_ itu wajib bagi insan. Namun wajibnya adalah _fardhu kifayah,_( jika sebagian telah memenuhi kewajiban ini, maka yang lain gugur kewajibannya). Walaupun pahalanya akan diraih oleh orang yang mengerjakannya, begitu pula oleh orang yang asalnya mampu namun saat itu tidak bisa untuk melakukan _amar ma’ruf nahi munkar_ yang diwajibkan. Jika ada orang yang ingin ber _amar ma’ruf nahi munkar,_ wajib bagi yang lain untuk membantunya hingga maksudnya yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan tercapai. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 2)

Meninggalkan _amar ma’ruf nahi munkar_ adalah sebab datangnya hukuman dunia sebelum hukuman di akhirat. Janganlah menyangka bahwa hukuman meninggalkan amar _ma’ruf nahi munkar_ bukan hanya menimpa orang yang dzalim dan pelaku maksiat, namun boleh jadi juga menimpa umat manusia secara keseluruhan.

Sahabat, Orang yang melakukan _amar ma’ruf_ hendaklah orang yang _faqih_ (paham) terhadap yang diperintahkan dan _faqih_ terhadap yang dilarang. Begitu pula hendaklah dia _halim_ (santun) terhadap yang diperintahkan, begitu pula terhadap yang dilarang. Hendaklah orang tersebut orang yang _halim_ terhadap apa yang dilarang. Ketika dia melakukan _amar ma’ruf nahi munkar,_ hendaklah ia bersikap lemah lembut terhadap apa yang ia perintahkan dan ia larang. Lalu ia harus _halim_ dan bersabar setelah ia ber _amar ma’ruf nahi munkar._ Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman dalam kisah Luqman,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah.” (QS. Luqman: 17)

Sahabat, Melakukan _amar ma'ruf_ itu harus dengan cara yang baik, tidak boleh ada dampak jelek. Demikian pula melakulan _nahi munkar_  harus dilakukan dengan baik tanpa membawa dampak keburukan. Janganlah menghilangkan kemungkaran malah dengan cara yang mungkar pula, maka itu hanya membawa banyak kerusakan daripada  mendapatkan banyak kebaikan dan kemanfaatan.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

خير الناس أنفعهم للناس

“Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan banyak kemanfaatan bagi manusia lainnya.”

Pada prinsipnya, pergunakanlah seluruh kemampuan kita untuk memberikan kemanfaatan pada sesama manusia dan lingkungan sekitarnya. Itulah manusia yang terbaik dalam perjalanan waktunya...

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menebarkan kebaikan dan kemanfaatan sebagai manusia terbaik untuk meraih ridha-Nya.

Sabtu, 03 Mei 2025

Tips Terhindar dari Fitnah Ahir Zaman

SABAR OBAT FITNAH AKHIR ZAMAN



Sobat gudang da'i, Pada akhir zaman ini, fitnah banyak bertebaran, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sejak dulu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah memberikan pesan kepada umat Islam terkait fitnah di akhir zaman dan umat Islam harus memiliki bekal untuk menghadapinya.

Menurut Ibnu Arabi, fitnah dapat bermakna ujian, cobaan, harta, maupun anak-anak. Ia berkata,

الفِتْنَةُ الإِخْتِبَارُ، وَالفِتْنَةُ المِحْنَةُ، وَالفِتْنَةُ المَالُ، وَالفِتْنَةُ الأَوْلاَدُ، وَالفِتْنَةُ الكُفْرُ، وَالفِتْنَةُ اخْتِلاَفُ النَّاسِ بِالآرَاءِ

“Fitnah bermakna ujian, fitnah bermakna cobaan, fitnah bermakna harta, fitnah bermakna anak-anak, fitnah bermakna kekafiran, fitnah bermakna perselisihan pendapat di antara manusia.” (Linasul Arab, Ibnu Mandzur al-Ifriqi, 13/317)

Saudaraku,Seorang Muslim hendaklah kembali kepada Allah Azza wa Jalla dan senantiasa meminta perlindungan kepada-Nya dalam menghadapi fitnah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun selalu memohon perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dan memerintahkan umatnya mengerjakannya.

Sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَدْعُو: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, ‘Ya Allah aku meminta perlindungan padamu dari azab kubur, dan dari azab neraka dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian dan dari fitnah al-Masih Dajjal.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam kitabnya yang berjudul _Ighatsatul Lahfan,_ Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan tidak ada obat bagi fitnah kecuali sabar. Sabar merupakan penempa seseorang dan pembersih dirinya dari dosa sebagaimana pembakaran merupakan tempaan untuk menghasilkan perhiasan emas dan perak. Fitnah itu tempaan untuk menghasilkan seorang Mukmin yang jujur...

Saudaraku,Sesungguhnya menyibukkan diri dengan ketaatan dan bersegera menuju peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla saat fitnah akhir zaman merupakan faktor besar yang mendukung seorang Mukmin bisa teguh di jalan Allah Azza wa Jalla. Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam juga berpesan kepada umatnya segera melakukan amal shaleh saat terjadi fitnah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bersegeralah beramal sebelum munculnya fitnah yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap, seseorang di pagi harinya beriman dan di sorenya telah menjadi kafir, atau sorenya masih beriman dan pagi harinya telah menjadi kafir, menjual agamanya dengan gemerlap dunia.”(HR. Muslim)

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah Azza wa untuk meraih Ridha-Nya.

Sabtu, 05 April 2025

Batasan Akal Manusia

DENGAN AKAL MEMBUAT AMALAN MENJADI BAIK DAN SEMPURNA


Sahabat gudang da'i, Berkata al-Imam asy-Syafi'i radliyallahu Anhu,

كما أن للعين حدا تقف عنده كذلك للعقل حد يقف عنده

"Sebagaimana mata memiliki keterbatasan yang ia pasti berhenti padanya, maka akal juga memiliki keterbatasan yang ia harus berhenti padanya." (Adabus Syafi'i)

Sangat benar apa yang dinyatakan oleh al-Imam asy-Syafi'i di atas. Masing-masing dari kita telah merasakan keterbatasan mata kita. Bagaimana ketika di malam hari ketika tiba-tiba listrik padam? Itulah keterbatasan mata kita. Seketika itu pula kita tidak bisa melihat apapun. Demikianlah ketika mata tidak mendapatkan cahaya. Tidak bisa melihat apapun. Ketika ada setitik cahaya ia bisa melihat dengan remang-remang. Demikian pula halnya dengan akal manusia. Sebagaimana tubuh manusia yang serba terbatas, akal juga memiliki keterbatasan yang ia harus berhenti ketika itu. Sebagai bukti terbatasnya akal, adakah orang yang bisa menjelaskan di mana ruhnya? Atau seperti apa ruhnya?

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk perintah Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."(QS. Al-Isra': 85)

Saudaraku,Karena akal manusia terbatas maka sangat bergantung kepada petunjuk dari Allah Azza wa Jalla dalam menjalani kehidupan yang fana ini. Ketika tidak mendapatkan cahaya dan rahmat dari Allah Azza wa Jalla, ia akan berjalan dengan serampangan. Terlebih ketika si pemilik akal bukan orang yang memiliki kehati-hatian, sifat _wara',_ tidak takut kepada Allah Yang Maha Perkasa, maka yang muncul dari orang seperti ini hanyalah pendapat, perkataan, atau pikiran-pikiran 'nyeleneh' yang hanya akan membuat dirinya sengsara dan rusak sebelum membuat orang lain sengsara dan rusak.

Saudaraku,Kata "akal" berasal dari bahasa Arab: _aqala, ya'qilu, aqlan._ Rangkaian ketiga huruf tersebut berkisar maknanya pada “menghalangi” dan (dari sana) lahir kata _‘iqal_ yang berarti "tali". Mengapa "menghalangi" dan "tali"?

Tali yang biasanya berwarna hitam yang melilit kain yang menyelubungi kepala pria dalam pakaian Arab Saudi dinamai _‘iqal_ karena "tali" itu menghalangi" kain tersebut diterbangkan angin atau terjatuh. Demikian juga tali yang mengikat binatang agar tidak lepas atau kabur.

Saudaraku,Manusia tidak tepat disebut _antropomorfisme_ karena potensi dan keunggulan yang dimilikinya luar biasa besarnya. Akan tetapi manusia juga tidak bisa disebut sebagai makhluk _antroposentris,_ karena meskipun ia memiliki keunggulan dan keutamaan tetapi manusia masih memilki kelemahan fundamental. Manusia dikaruniai akal pikiran dan intelektualitas yang bertingkat-tingkat tetapi manusia memiliki kelemahan dasar sebagai pelupa ( _al-gafil_ ). 

Sayed Hussen Nasr menyebut manusia lebih tepat disebut sebagai makhluk _teomorfis,_ suatu makhluk yang agung tetapi masih memiliki kekurangan. Karena kekurangannya itu maka manusia membutuhkan Allah Azza wa Jalla sebagai kekuatan ekstra untuk mengembalikan manusia dari kelemahannya sebagai makhluk pelupa ( _al-gafil_ ) menjadi makhluk yang sadar ( _al-dzakir_ ).

Manusia sebagai makhluk _teomorfi_ tidak sepantasnya bisa berperilaku sombong, angkuh, dan _'ujub,_ karena Allah Azza wa Jalla Maha Tahu kelemahan mendasar manusia. Sebaliknya manusia juga tidak bisa bersikap _pesimistik_ dan _under confidence_ karena satu-satunya makhluk yang mendapatkan kepercayaa dan kelebihan begitu besar dari Allah Azza wa Jalla. Sikap paling benar bagi manusia ialah bersikap optimisme ( _al-raja'_ ) yang diimbangi rasa takut ( _khauf_ ) dan dipandu dengan rasa _tawadhu'_ dan mawas diri. Usaha keras bagi manusia bukan jaminan meraih keberhasilan.

Saudaraku,Ketahuilah bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa mendapatkan _taklif_ (beban syariat) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang batil. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al Qur’an dengan menggunakan akal,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an?” (QS. Muhammad: 24)

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa optimisme ( _al-raja'_ ) yang diimbangi rasa takut ( _khauf_ ) dan dipandu dengan rasa _tawadhu'_ dan mawas diri untuk meraih ridha-Nya.

Kamis, 27 Maret 2025

Jadilah Juara di Bulan Suci

MENJADI FINALIS RAMADHAN


Sobat gudang da'i,Memasuki hari-hari terakhir Ramadhan banyak orang lebih menyukai menghabiskan waktu untuk belanja persiapan menyambut hari raya dari pada mengisinya dengan melakukan amalan-amalan ibadah terbaik. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)

Saudaraku, Pada setiap perlombaan selalu ada yang disebut finalis. Disebut finalis

karena bisa bertahan sampai akhir. Jika ada yang bertahan maka ada juga yang gugur atau tidak bertahan. Di awal perlombaan banyak peserta itu biasa. Seiring waktu maka mulai berguguran dan yang bertahan itulah finalis. Demikian pula dengan Ramadhan.

Finalis Ramadhan adalah mereka yang mampu bertahan di hari-hari terakhir. Finalis Ramadhan harus lebih baik lagi dibandingkan hari-hari awal. Jika di awal biasa saja maka di hari-hari terakhir harus maksimal.

Saudaraku, Lakukan ibadah yang terbaik. Sedekahlah terbaik. Bacalah Al Qur'an terbaik. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di hari-hari terakhir mengencangkan sarungnya. Tidak mendekati istrinya. Beliau iktikaf di masjid. Menghidupkan malamnya dengan shalat. Mengkhatamkan Al Quran dalam sekali shalat lail. Jadi semalam 30 juz. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda "amalan itu dinilai di akhirnya." Jika pada awal Ramadhan tidak mampu menyambut dengan baik karena masih kurang ilmu dan waktu maka tutup atau akhiri dengan yang terbaik. Maksimalkan hari-hari terakhir. Jadilah finalis Ramadhan yang tidak pernah menyerah kecuali jadi pemenang.

Pada pertandingan sepakbola saat _injury time_ di babak final semua pemain akan habis-habisan. Bahkan penjaga gawang juga maju ikut menyerang. Kemenangan yang diraih saat final dan _injury time_ akan menjadi kemenangan yang terindah. Bagi yang kalah itu juga menjadi kekalahan tak terlupakan yang paling menyakitkan...

Saudaraku, Ada perbedaan finalis Ramadhan dan sepakbola. Pada finalis Ramadhan semua bisa jadi juara. Lawannya bukan orang lain tapi diri sendiri. Siapa yang mampu menjaga semangat amalannya maka bisa jadi pemenang. Siapa yang malas maka itulah yang kalah. Oleh karena itu di akhir Ramadhan mari perbanyak doa, istighfar, shalat dan tilawah...

Hidupkan malamnya untuk meraih Lailatul Qadr yang lebih

baik dari 1000 bulan. Siapa yang beribadah pada malam itu maka

pahalanya lebih dari 83 tahun 4 bulan beribadah di bulan di luar

Ramadhan. Jangan sampai menyesal karena menjadi pecundang Ramadhan. Tidak ada jaminan masih ada umur sampai tahun depan. Mari isi tiap detik di akhir Ramadhan dengan amal ibadah terbaik.

Di kesempatan yang baik ini mari kita memanjatkan doa kehadirat Allah Azza wa Jalla,

اَللُّهُمَّ لاَ تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا اِلاَّ غَفَرْتَهُ

 وَلاَ هَمًّا اِاِاِلاَّوَيَسَّر

وَلاَ عَيْبًا اِاِلاَّوَيَسَّرْت

وَلاَ سَقَمًا اِلاَّوَيَسَّرْتَه

وَلاَ حَاجَةً اِلاَّ قَضَيْتَهَا وَيَسَّرْتَهَا

 فَيَسِّرْ لَنَا اُصُقُاَعْمَ

وَاشْرَحْ صُقُاَعْمَال

وَنَوِّرْ قُاَعْمَالَن

وَاخْتِمْ بِالصَّالِحَاتِ اَعْمَالَنَا

Yaa Allah, tiada dosa kami melainkan Engkaulah yang mengampuninya.

Tiada kesedihan kami melainkan Engkaulah yang menghilangkannya.

Tiada aib bagi kami melainkan Engkaulah yang menutupinya.

Tiada penyakit pada kami melainkan Engkaulah yang menyembuhkannya. 

Tiada hajat kami melainkan Engkaulah yang memenuhi dan yang memudahkanya, maka berilah kemudahan dalam semua urusan kami.

Bukalah hati kami,Terangilah kalbu kami,Dan tutuplah semua amal kami dengan kebaikan.

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menjaga semangat amal Ramadhan dengan sebaik-baiknya untuk meraih ridha-Nya.

Sabtu, 22 Maret 2025

Tips Tetap Syukur dan Sabar

JADIKANLAH SUKAMU ADALAH SYUKUR DAN DUKAMU ADALAH SABAR


Sobat gudang da'i,Kehidupan ini tak selamanya indah. Senang dan duka datang silih berganti. Hal ini semakin memantapkan hati untuk menilai kehidupan dunia ini adalah semu. Kebahagiaannya semu. Demikian juga Kesedihannya semu...

Ada kehidupan selanjutnya di hadapan kita. Itulah negeri akhirat. Abadi dan hakiki. Di sanalah tempat istirahat dan bersenang-senang yang hakiki, yakni di surga-Nya yang penuh limpahan rahmat dan kenikmatan. Atau kesengsaraan hakiki, di neraka yang panas membara. Tempat kembali orang-orang durhaka kepada Sang Pencipta.

Saudaraku,Kesenangan dunia dan kesengsaraannya adalah ujian dari Allah Azza wa Jalla. Apakah menjadi hamba yang bersyukur saat diberi nikmat dan sabar saat diberi cobaan, ataukah sebaliknya. Karena dunia ini adalah _daarul ibtilaa’_ (negeri tempat ujian). Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Wahai manusia, Kami akan menguji kalian dengan kesempitan dan kenikmatan, untuk menguji iman kalian. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan kembali.” (QS. Al-Anbiya: 35).

Ikrimah rahimahullah pernah mengatakan,

ليس أحد إلا وهو يفرح ويحزن، ولكن اجعلوا الفرح شكراً والحزن صبر

“Setiap insan pasti pernah merasakan suka dan duka. Oleh karena itu, jadikanlah sukamu adalah syukur dan dukamu adalah sabar.”

Senang dan duka adalah sunatullah yang pasti mewarnai kehidupan ini. Tidak ada seorang manusia pun yang terus merasa senang, dan tidak pula terus dalam duka dan kesedihan. Semuanya merasakan senang dan duka datang silih berganti. Jangankan kita, generasi terbaik umat ini, para wali Allah, yakni para sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun pernah dirundung kesedihan. Allah Azza wa Jalla mengisahkan keadaan mereka saat kekalahan yang mereka alami dalam perang Uhud,

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِين

“Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan di antara manusia agar mereka mendapat pelajaran; dan supaya Allah ingin memberi bukti kebenaran kepada beriman dengan orang-orang kafir dan menjadikan sebagian di antara kalian sebagai syuhada’. Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140)

Saudaraku,Allah Azza wa Jalla menciptakan kebahagiaan dan kesedihan agar manusia menyadari nikmatnya kebahagiaan, sehingga ia bersyukur dan berbagi. Dan sempitnya kesedihan diciptakan agar ia tunduk bersimpuh di hadapan Allah Azza wa Jalla yang maha rahmat dan mengasihi, serta tidak menyombongkan diri. Hinggalah ia hanya mengadu harap di hadapan Allah Azza wa Jalla. Merendah, bersimpuh pasrah kepada Allah Azza wa Jalla yang maha penyayang. Seperti aduannya Nabi Ya’qub saat lama berpisah dengan putra tercinta; Yusuf ‘alaihi sallam,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanya kepada Allah aku mengadukan penderitaan dan kesedihanku.” (QS. Yusuf: 86)

Sungguh senantiasa ada hikmah dalam ketetapan Allah Azza wa Jalla yang maha hakim (bijaksana) itu,

وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ

“Dialah Allah yang menjadikan seorang tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm: 43)

Oleh karena itu, tidaklah tercela bila seorang merasa sedih. Itu adalah naluri. Tak ada salahnya bila memang sewajarnya. Terlebih bila sebab-sebab kesedihan itu suatu hal yang terpuji. Seperti yang dirasakan orang beriman saat melakukan dosa, di mana Nabi mengabarkan bahwa itu adalah tanda iman,

مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَهُوَ الْمُؤْمِنُ

“Barangsiapa yang merasa bergembira karena amal kebaikannya dan sedih karena amal keburukannya, maka ia adalah seorang yang beriman.” (HR. Tirmidzi).

Atau seorang merasa sedih saat tertidur di sepertiga malam terakhir hingga luput dari sholat tahajud, ini suatu hal yang terpuji. Ini tanda adanya cahaya iman dalam hatinya...

Saudaraku,Ternyata bila kita amati, kata-kata sedih dalam Al-Qur'an tidaklah datang kecuali dalam konteks larangan atau kalimat negatif (peniadaan). Sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya _Madaarijus Saalikiin,_

Dalam konteks larangan, misalnya adalah firman Allah Azza wa Jalla,

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)

وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ

“Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka.” (QS. An-Nahl: 127)

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ

“Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At-Taubah: 40)

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menjadikan suka adalah syukur dan duka adalah sabar untuk meraih ridha-Nya.