Rabu, 04 Mei 2022

Hakekat Bulan Syawwal


BULAN SYAWWAL, ADALAH BULAN PENINGKATAN AMAL

Assalamualaiku Wr. Wb.

Tak terasa kita telah masuk hari ke 4 bulan Syawwal . Sebentar lagi ada tayakuran ketupat di berbagai daerah. Dalam kalender Hijriah, urutan setelah bulan Ramadhan adalah bulan Syawal. Secara alami, kita tidak bisa terus berada dalam bulan Ramadhan yang penuh rahmat dan ampunan الله serta pembebasan dari api neraka, Oleh karena itu, kita diharapkan bisa terus meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan-bulan setelahnya yang salah satunya adalah bulan Syawal.


Perkataan Syawal berasal dari kata Arab, yaitu  syala yang berarti   irtafa’a, naik atau meninggi. Orang Arab biasa berkata, syala al-mizan (naik timbangan), idza irtafa’a (apabila ia telah meninggi).


Lalu, yang menjadi pertanyaan, mengapa bulan setelah Ramadhan itu dinamai Syawal, bulan yang naik atau meninggi? Ada dua alasan yang dapat dikemukakan, yaitu:


Pertama, karena derajat kaum Muslim meninggi di mata Allah SWT.

Hal ini disebabkan mereka mendapat pengampunan (maghfirah) dari Allah SWT. setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Sebagaimana sabda Rasulullah, 

“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan tulus kepada Allah SWT, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah SWT”

Ampunan Allah SWT. tersebut, dapat diibaratkan seperti kaca yang dibersihkan oleh kain yang diberi pewangi, sehingga kaca tersebut menjadi bersih dan kembali mengkilap seperti baru.

Kedua, karena secara moral dan spiritual, kaum Muslim harus mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai amaliah Ramadhan pada bulan ini dan bulan-bulan berikutnya hingga datang Ramadhan tahun depan.

Dalam hal ini, Syawal justru bermakna bulan peningkatan ibadah dan amal saleh sebagai kelanjutan dari pendidikan moral dan spiritual yang dilakukan selama Ramadhan, sebulan penuh.

Secara etimologi, arti kata syawal adalah peningkatan. Hal itu merupakan target ibadah puasa. Pasca-Ramadhan diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat ketakwaan, seorang Muslim yang terlahir kembali seperti kertas yang masih bersih, sehingga di bulan Syawal ini kualitas keimanannya mengalami peningkatan. Tidak hanya kualitas ibadah, tetapi juga kualitas pribadinya, yang selama di bulan Ramadhan dilatih secara lahir batin.

Makna dan semangat peningkatan amal ini dapat dilihat dari perintah puasa di bulan ini, walaupun hukumnya sunah, tetapi sangat dianjurkan (sunnah muakkad). Setelah berlebaran pada 1 Syawal, kaum Muslim dianjurkan agar berpuasa dalam bulan Syawal selama enam hari, tidak mesti berturut-turut. Sebab, puasa tersebut amat besar pahalanya. Rasulullah bersabda, 

من صام رمضان ثم اتبعه ستة من شوال كان كصوم الدهر

"Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan lalu berpuasa lagi enam hari di bulan Syawal, maka ia seolah-olah berpuasa selama satu tahun.”

Namun tidak demikian yang terjadi di masyarakat, fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Syawal, seakan-akan bulan yang ditunggu-tunggu agar terlepas dari belenggu dan bebas melakukan kegiatan apa saja seperti sedia kala. Indikatornya yang sangat jelas, antara lain adanya perayaan Idul Fitri dengan pesta atau dengan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islam-an, dibukanya kembali tempat-tempat hiburan yang sebulan sebelumnya ditutup. Kemaksiatan seperti itu justru langsung ramai sejak hari petama bulan Syawal. Na’udzubillah! Lalu setelah itu, masjid-masjid akan kembali sepi dari jemaah salat lima waktu. Lantunan ayat suci Alquran juga tidak lagi terdengar. Yang ada justru umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali membudaya. Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci dengan bersih kembali penuh noda?

Dengan demikian, Idul Fitri dan Syawal sesungguhnya mengandung semangat peningkatan ibadah dan amal saleh. Oleh sebab itu, sayang rasanya apabila di antara kaum Muslim pasca-Ramadhan, malah kembali melakukan dosa-dosa dan berpaling dari petunjuk Allah SWT. Memang, pada dasarnya manusia tidak bisa lepas dari berbuat salah dan dosa. Tetapi, hendaknya kita berusaha untuk meminimalkannya agar tidak larut dalam hal tersebut. Begitu pula, kesucian diri kita harus dijaga dan dipelihara sepanjang waktu, sesuai dengan prinsip istiqamah yang diajarkan oleh Islam.

Sikap istiqamah dalam beribadah dan berbuat baik harus kita jaga sampai malaikat maut mencabut nyawa kita. Semakin hari, seharusnya kita semakin giat lagi dalam beribadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT, karena usia kita tidak ada yang mengetahui, kecuali Allah SWT.

 

Wallahu A’lam bi Asshawab. 


والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Tidak ada komentar:

Posting Komentar