Hukum Perjanjian Dalam Pernikahan
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk ciptaannya yang berakal, maka perkawinan adalah salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.
Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan pemuka masyarakat adat atau para pemuka agama. Di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itun sudah ada sejak zaman kuno, dari sebelum merdeka sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga Negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.
Dalam menjalani segala perkara khususnya perkawinan pasti akan ditemukan suatu hambatan atau masalah, untuk bersiap-siap dalam menyelesiakan atau mencegah suatu masalah tersebut maka sepasang suami istri dapat membuat suatu perjanjian pernikahan, yang mana perjanjian tersebut mereka buat atas kesepakatan bersama pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan oleh kedua belah pihak, selama perjanjian perkawinan tersebut tidak menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan juga hukum atau undang-undang Negara. Perjanjian perkawinan yang sering terjadi untuk mengatasi atau mengatur kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada dasarnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat.
Dengan diadakannya perjanjian perkawinan atau perjanjian pranikah, maka terdapat kepastian hukum terhadap apa yang diperjanjikan mereka untukn melakukan suatu perbuatan hukum terhadap apa yang diperjanjikan.
Bentuk dan isi perjanjian perkawinan dalam hukum islam
Perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK 69/2015”).
Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Perjanjian dapat dibuat baik sebelum perkawinan dilangsungkan (prenuptial agreement) maupun selama dalam ikatan perkawinan (postnuptial agreement).
Selain itu, perjanjian perkawinan diatur pula dalam Pasal 45 sampai Pasal 52 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Bentuk perjanjian perkawinan
Terdapat dua bentuk perjanjian perkawinan yang dimungkinkan dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
1. Taklik talak
Menurut Pasal 1 huruf e KHI, yang dimaksud dengan Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Dalam hal taklik talak, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
• Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
• Apabila keadaan yang terdapat dalam taklik talak terjadi, maka bukan berarti talak jatuh dengan sendirinya. Istri harus mengajukan ke Pengadilan Agama untuk menjatuhkan talak tersebut.
• Perjanjian taklik talak bukan hal yang wajib diadakan.
• Apabila suami telah membuat taklik talak, maka taklik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Pasal 47 ayat (1) KHI mendeskripsikan frasa ‘perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam’ sebagai berikut:
• Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
b. Isi Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Islam
Isi perjanjian perkawinan dapat berupa:
1. Percampuran harta pribadi
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) KHI yang mengatur sebagai berikut:
• Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
• Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
Pada dasarnya, perkawinan tidak menimbulkan adanya percampuran harta antara suami-istri karena harta di dalam hukum Islam bersifat individual. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 86 ayat (1) KHI:
• Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Namun, apabila kedua pihak ingin melakukan pencampuran harta pribadi maka hal tersebut dibolehkan. Dengan catatan, apa yang diatur di dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2. Pemisahan harta pencaharian
Merujuk pada Pasal 47 ayat (2) di atas, kedua pihak juga dapat mengatur mengenai pemisahan harta pencaharian masing-masing selama dalam ikatan perkawinan.
Menurut Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 83), yang dimaksud dengan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami istri setelah mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.
Dalam hal pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 ayat (1) KHI:
• Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
3. Kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama
Selain itu, kedua pihak juga dapat mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (3) KHI.
• Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Harta kekayaan suami istri dalam perkawinan
Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Ketika dalam menjalin perkawinan seorang suami istri dihadapkan dengan suatu masalah atau problem yang karena masalah atau problem tersebut berakibat fatal sehingga mengganggu status perkawinannya atau berakibat perceraian.
Suatu perceraian akan membawa berbagai akibat hukum, salah satunya adalah berkaitan dengan harta bersama dalam perkawinan. Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur tentang harta bersama antara lain:
Pasal 35 ayat 1 menyatakan harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama. Ayat 2 bawaaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama.
Pasal 37 bilaman perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasannya pasal 37 ditegaskan hukum masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya yang bersangkutan dengan harta bersama tersebut.
Selain Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, di Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan pembagian harta bersama sebagaimana diatur dalam pasal 96 dan pasal 97 KHI tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup atau cerai mati, masing-masing mendapat setengah dari harta bersama tersebut, selengkapnya pasal 96 KHI berbunyi:
• Apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
• Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama.
Sedangkan pasal 97 KHI menyatakan “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan”
harta kekayaan perkawinan atau yang disebut harta bersama yang mana jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian kawin yang intinya memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut, maka ketika perceraian terjadi, masing-masing suami atau istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta bersama atau istilah awamnya “harta gono gini”.
Namun, apabila di antara suami istri tersebut tidak pernah dibuat Perjanjian Kawin, maka berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terhitung sejak perkawinan terjadi, demi hukum terjadilah percampuran harta di antara keduanya (jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - “UU Perkawinan”). Akibatnya harta istri menjadi harta suami, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai harta bersama. Terhadap harta bersama, jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari usaha maupun upaya yang dilakukan oleh pasangan suami/istri tersebut selama mereka masih terikat dalam perkawinan.
Perjanjian perkawinan adalah salah satu bentuk dari perjanjian yang dibuat antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Terdapat dua bentuk perjanjian perkawinan yang dimungkinkan dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Isi perjanjian perkawinan dapat berupa: 1. Percampuran harta pribadi. 2. Pemisahan harta pencaharian. 3. Kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama.
Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur tentang harta bersama antara lain:
• Pasal 35 ayat 1 menyatakan harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama. Ayat 2 bawaaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bersama.
• Pasal 37 bilaman perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasannya pasal 37 ditegaskan hukum masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya yang bersangkutan dengan harta bersama tersebut.
Selain Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, di Indonesia juga berlaku Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan pembagian harta bersama sebagaimana diatur dalam pasal 96 dan pasal 97 KHI tersebut, yang menyebutkan bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup atau cerai mati, masing-masing mendapat setengah dari harta bersama tersebut, selengkapnya pasal 96 KHI berbunyi:
• Apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
• Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama.
Sedangkan pasal 97 KHI menyatakan “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan”
Bagus makalahnya
BalasHapus