Senin, 21 Desember 2020

Metode Dakwah yang Terlupakan

Metode Dakwah yang Terlupakan



Banyak sekali  yg saat ini muncul dan lumayan susah untuk dipecahkan karena belum adanya rujukan yg kongkrit dalam membahas hal itu, sehingga banyak pertanyaan muncul yang tidak bisa dijawab oleh para dai, terus bagaimana mengantisipasinya? 

Menjawab masalah-masalah Masalah agama pada saat ini seolah menjadi perkara gampang. Banyak orang yang tidak dikenal ahli dalam bidang fatwa tapi sudah berani tampil sebagai pemberi fatwa (mufti). Akibatnya, fatwa yang keluar adalah fatwa yang mempersulit (tasydid) atau fatwa yang menggampang-gampangkan seenaknya (tasahul). Karena itu, diskursus mengenai fatwa dan metode berfatwa pada saat ini menjadi amat penting untuk kita angkat ke permukaan. Agar orang-orang tahu bahwa berfatwa itu bukan perkara gampang. Seorang mufti tidak hanya dituntut memahami hukum syariat, tapi juga dituntut memahami realitas masyarakat, serta memahami cara menghubungkan antara hukum dan realiatas tersebut. Dengan demikian, fatwa yang lahir benar-benar bisa mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.

Sebagai penerjemah kehendak Tuhan, kedudukan mufti tentu saja merupakan kedudukan yang tinggi. Tidak sembarang orang bisa mendudukinya. Lihat saja orang-orang yang diakui sebagai mufti. Mereka adalah orang-orang hebat yang mengumpulkan antara ilmu dengan amal. Rasulullah adalah mufti pertama umat ini. Dari beliaulah para mufti mendapat pencerahan. Pasca kewafatan beliau, kedudukan sebagai mufti itu digantikan oleh sahabat-sahabat beliau. Utamanya para khulafaur Rasyidin.

Dalam menjawab masalah-masalah agama, mereka mencari terlebih dahulu hukum masalah tersebut di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Jika tidak menemukan maka mereka melakukan ijtihad dengan akal. Sebagian dari mereka ada yang memperluas kerja akal ini. Mereka berupaya mengeluarkan illat dan maslahah dari teks syariat, dan merumuskan hukum masalah-masalah baru berdasarkan illat dan maslahah tersebut. Sebagian yang lain mengambil sikap hati-hati, sehingga mereka tidak berani melampaui apa yang tertera dalam teks.

Metologi fatwa sahabat itu kemudian diikuti oleh tabiin. Di era tabiin ini dua metodologi fatwa sahabat di atas lahir menjadi aliran tersendiri, yaitu aliran ahli Hadis yang tokoh-tokohnya kebanyakan didaerah Hijaz dan aliran ahli Ra’yi yang tokoh-tokohnya kebanyakan di Irak. Mengenai dasar pengelompokan  aliran fiqih kepada dua aliran tersebut terdapat perbedaan dikalangan para penulis  Tarikh al-Tasri’. Sebagian berpendapat bahwa disamping kondisi sosial politik yang berbeda dengan di Hijaz, di Irak sedikit hadis Nabi yang tersebar. Karena itu, fuqoha’ Irak  banyak mendasarkan pemikiran hukumnya kepada akal pikiran dan pengalaman, sementara di Hijaz banyak tersebar hadis Nabi, karena itu fuqoha’ Hijaz lebih banyak mendasarkan ijtihadnya kepada hadis Nabi.

Namun, tafsir semacam ini dinilai tidak tepat oleh sebagian penulis dengan beberapa argumen: (1). Ada 1500 sahabat berdomisili di Kufah dan diantara mereka termasuk sahabat yang terkenal banyak meriwayatkan hadis, seperti Ibn ‘Abbas, Anas bin Malik, Ibn Mas’ud, dan lain-lain. Melalui  Ibn Mas’ud ini lahir ribuan ahli fiqih dan ahli hadis. Jumlah ahli hadis dan ahli fiqih semakin tak terhitung jumlahnya setelah  imam Ali memilih Kufah sebagai pusat pemerintahanya. Karena itu, tidak heran jika Anas bin Sirin berkata, “saya mendatangi kota Kufah, lalu saya melihat empat ribu orang belajar hadis dan empat ratusnya telah menjadi Faqih.”; (2). Para Fuqoha’ dan Muhaddis di Kufah tidak hanya mengambil hadis dari sahabat yang ada di Kufah, akan tetapi mereka juga pergi ke daerah  lain  untuk mencari ilmu hadis. Lebih dari itu, tatkala musim haji banyak ulama’ Kufah yang berjumpa dengan ulama’ dari daerah lain yang juga menjadi ajang tukar menukar informasi seputar hadis. Diantara mereka adalah Abu Hanifah sendiri. Selama 55 kali melaksanakan haji, dia banyak bertemu ulama’ di Hijaz, termasuk Imam Malik. (3). Jika kondisi sosial-politik yang menyebabkan timbulnya kecendurungan terhadap Ra’yu, maka bagaimana lahir dari sana imam Ahmad bin Hanbal yang merupakan imamnya ahli Hadis.

Berdasarkan argumen di atas, tafsir yang dinilai benar terhadap lahirnya dua aliran tersebut  hanyalah  melihat pada perbedaan metodologi berintraksi dengan teks.  Ahli Ra’yi yang kebanyakan di Irak lebih banyak melakukan ta’lil terhadad teks, sementara Ahli Hadits lebih banyak mendasarkan ijtihadnya pada dhohir teks tanpa banyak melakukan ta’lil.

Setelah tabiin, datang era ulama’ mujtahidin. Pada era ini lahir cukup banyak mazhab-mazhab fiqih, tapi yang paling terkenal dan memilki banyak pengikut sampai sekarang hanya ada empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Madzhab Hanbali. Dalam merumuskan fiqih, pertama kali yang dilakukan para imam mazhab tersebut adalah melacak secara langsung di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam memahami keduanyan, mereka menggunakan kaidah-kaidah penafsiran teks yang dikenal dengan ushul fiqih. Namun jika ditemukan konsensus ulama’ berkaitan dengan makna suatu ayat atau hadits maka mereka mengikuti konsensus ulama’ itu.

Jika di dalam al-Qur an dan al-Hadits tidak ditemukan maka mereka beralih kepada metode-metode lain, diantaranya adalah qiyas. Secara singkat qiyas didefinisikan dengan menyamakan kasus baru yang belum ada kejelasan hukumnya dengan kasus lama yang sudah ada kejelasan hukumnnya di dalam nash atau ijma’ karena ada kesamaan illat. Dari definisi ini kita mengetahui bahwa hakikat qiyas terdiri dari empat rukun yaitu Ashl(masalah lama yang sudah ada kejelasan hukumnya), Far’ (masalah baru yang belum ada kejelasan hukumnya dan ingin diperjelas dengan qiyas, hukum Ashl, dan Illat (alasan hukum).

 

Metode qiyas dipakai oleh seluruh ulama’ sebagai dalil mandiri setelah al-Quran, al-Hadis dan al-Ijma’ kecuali oleh Imam Dawud al-Dhohiri dalam qiyas khofi dan al-Naddhom, Syi’ah Imamiyah dan Ibn Hazm dalam qiyas khofi maupun jali. Akan tetapi metode qiyas dianggap sebagai dalil yang sahih apabila keempat rukun tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Illat misalanya, baru dapat menjadi pijakan qiyas apabila telah memenuhi beberapa syarat, antara lain: a) Keberadaan illat di dalam hukum Ashal harus diakui. Artinya illat tersebut ditunjukkan oleh nash atau ijma’ atau berupa sifat yang pantas dan sesuai menjadi muara hukum; b) Illattersebut harus wujud di dalam far’; c) Pengakuan terhadap illat tersebut tidak menyebabkan batalnya hukum Ashl; d) berupa sifat yang jelas dan bisa dibatasi dengan akal; dan e) berupa sifat yang bisa menunjukkan ketetapan suatu hukum sekaligus petunjuk kandungan hikmah dibalik ketetapan hukum tersebut.

Selain qiyas metode yang dipakai dalam perumusan hukum adalah Istishlah. Esensi Istishlah adalah memformulasi hukum berdasarkan kemaslahatan yang masuk dalam lingkup tujuan-tujuan syariah namun tidak ditemukan dalil spesifik yang mengakui atau mengabaikannya. Ketentuan harus masuk di dalam lingkup tujuan-tujuan syariah mengeluarkan setiap sesuatu yang diasumsikan sebagai manfaat, namun ia tidak masuk di dalam lingkup tujuan-tujuan syariah. Ketentuan harus tidak ditemukan dalil spesifik yang mengakui atau mengabaikannya mengeluarkan setiap sesuatu yang sudah ada ketentuan dalam teks-teks syariah atau dalam konsensus ulama’. Termasuk di dalam pengecualian ini adalah sesuatu yang diserahkan pada kebijakan pemerintah, seperti kebijakan dalam menentukan distribusi harta negara, kadar sangsi (ta’zir) dan macam-macamnya. Hal ini, karena otoritas tersebut masuk dalam wilayah masalah yang telah dijelaskan oleh al-Quran atau as-Sunnah.

 

Pada umumnya kitab-kitab ushul fiqih klasik menyebutkan bahwa ishtishlah merupakan metode menformulasi hukum yang diperselisihkan. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam al-Ihkâm fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, al-I’tishom karya al-Syâthibiy, Raudhoh al-Nâzir karya Ibn Qudâmah, Muktashor karya Ibn al-Hajib. Namun menurut penelitian Mumammad Sa’îd Ramadhon al-Buthiy, semua imam mazhab memakai istishlah. Termasuk imam al-Syafi’iy yang dianggap sebagai tokoh paling terdepan menolak istihsan dan istishlah.Tatkala menjelaskan sikap al-Syafi’iy terhadap kehujjahan maslalah mursalah, imam al-Juwainiy menulis:

ومن تتبع كلام الشافعي لم يره متعلقا بأصل ولكنه ينوط الأحكام بالمعاني المرسلة فإن عدمها التفت إلى الأصول [مشبها] كدأبه إذ قال طهارتان فكيف يفترقان؟.

“Barang siapa meneliti perkataan imam Syafii maka dia akan mengetahui bahwa dia tidak hanya berpijak kepada ashal (al-Quran dan al-Sunnah), akan tetapi dia mengaitkan hukum dengan al-ma’ani al-mursalah (nilai-nilai yang yang tidak ada penjelasan khusus dalam nash). Jika tidak menemukan maka dia menoleh kepada ushul dengan cara menyerupakan, sebagaimana kebiasaannya tatkala dia mengatakan: dua pekerjaan bersuci, bagaimana bisa berbeda?”

 

Senada dengan pernyatan imam al-Juwainiy, al-Zanjaniy menulis:

ذهب الشافعي رضي الله عنه إلى أن التمسك بالمصالح المستندة إلى كلي الشرع وان لم تكن مستندة إلى الجزئيات الخاصة المعينة جائز.

“Al-Syafi’iy berpendapat bahwa berpedoman dengan kemaslahatan yang bersandar kepada nilai-nilai universal sayriat, meskipun tidak ada sandaran dalil secara khusus, adalah boleh.”

 

Tentang argumen pandangan al-Syafi’iy ini, dia menulis:

واحتج في ذلك بأن الوقائع الجزئية لا نهاية لها وكذلك أحكام الوقائع لا حصر لها والأصول الجزئية التي تقتبس منها المعاني والعلل محصورة متناهية المتناهي لا يفي بغير المتناهي فلا بد إذا من طريق آخر يتوصل بها إلى إثبات الأحكام الجزئية وهي التمسك بالمصالح المستندة إلى أوضاع الشرع ومقاصده على نحو كلي وإن لم يستند إلى أصل جزئي.

“Pandangan tersebut bisa diberi argument bahwa persoalan-persolan particular tidak terbatas, dan demikian pula hukum-hukum kejadian-kejadian juga tidak terbatas, sementara dalil-dali khusus yang bisa mengeluarkan makna dan illat terbatas. Sesuatu yang terbatas tidak mungkin mencukupi terhadap sesuatu yang tidak terbatas. Karena itu, maka harus ada metode lain yang bisa dipakai untuk menetapkan hukum persoalan-persolan particular yang tidak terbatas itu, yaitu berbedoman terhadap kemaslahatan yang bersandar kepada tujuan-tujuan Syariat, meskipun tidak ada sandaran dalil khususnya.”

 

Pernyataan al-Juwainiy dan al-Zanjaniy di atas menunjukkan secara jelas bahwa imam al-syafi’iy memakai istishlah. Hanya saja memang jika kita merujuk kepada al-Risalah karya al-Syafi’iy, maka kita akan menemukan bahwa beliau tidak menyebutnya dengan istishlah, akan tetapi memasukkan dalam qiyas. Sebab istilah qiyas bagi al-Syafi’iy berlaku dalam semua bentuk perumusan hukum dengan selain nash. Setelah menjelaskan contoh-contoh qiyas, di dalam al-Risâlah beliau menulis:

وقد يمتنع بعض أهل العلم من أن يسمي  هذا ” قياساً ” ويقول: هذا معنى ما أحل الله، وحرم، وحمِد، وذمّ، لأنه داخل في جملته، فهو بعينه، ولا قياسٌ على غيره. ويقول مثل هذا القول في غير هذا، مما كان في معنى الحلال فأُحل، والحرام فحُرم.ويمتنع أن يُسمَّى” القياس ” إلا ما كان يحتمل أن يُشَبَّه بما احتمل أن يكون فيه شَبَهاً  من معنيين مختلفين، فَصَرَفَه على أن يقيسه على أحدهما دون الآخر.ويقول غيرهم من أهل العلم: ما عدا النصَّ من الكتاب أو السنة، فكان في معناه فهو قياس، والله أعلم.

“Sebagian ahli ilmu enggan menyebut ini Qiyas dan berkata, ini adalah makna sesuatu yang dihalalkan Allah, diharamkan, dipuji dan dicela, karena ia masuk di dalamnya, karena itu ia bukan disamakan terhadap perkara lainnya. Mereka juga berkata seperti ini dalam selain masalah ini dari segala sesuatu yang mengandung nilai halal lalu dihalalkan, atau mengandung nilai haram lalu diharamkan. Mereka enggan menyebut Qiyas kecuali pada sesuatu yang mungkin ada kesamaan. Sementara sebagian ahli ilmu yang lain berpendapat bahwa segala sesuatu yang tidak terdapat dalam nash al-Quran dan al-Sunnah, namun mengandung nilai yang terkandung di dalam keduanya maka ia disesebut qiyas, wallâhu a’lam.

 

Di dalam tempat yang lain dari kitab ini, al-Syafi’iy menulis:

فالاجتهاد أبداً لا يكون إلا على طلب شيء، وطلبُ الشيء لا يكون إلا بدلائل، والدلائلُ هي القياس.

“Ijtihad selamanya tidak dilakukan kecuali untuk mencari sesuatu. Mencari sesuatu membutuhkan dalil, dan dalil itu adalah qiyas.

 

Pernyataan al-Syafi’iy ini menunjukkan bahwa beliau termasuk orang yang berpendapat bahwa qiyas adalah segala sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah, namun mengandung makna yang terdapat di dalam keduanya meskipun tidak ada dalil khusus yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyamakan kasus-kasus baru.

 

Selain metode qiyas dan istishlah ada juga metode perumusan hukum yang disebut dengan istihsan. Terdapat banyak definisi yang ditampilkan para penulis buku-buku ushul fiqih tentang istihsan, namun menurut Abȗ Zahroh definisi yang paling bagus adalah definisi yang ditampilkan oleh Abȗ al-Hasan al-Karkhiy, saoarang ulama besar dalam mazhab Hanafi. Menurut beliau, istihsan adalah mengalihkan suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang mirip kepada hukum lain karena ada alasan tertentu yang menuntut peralihan tersebut.

 

Berdasarkan definisi ini, kita dapat memahami bahwa istihsan pada hakikatnya adalah pengecualian dari kaidah yang berlaku karena ada tuntutan dalil lain yang lebih kuat. Yang dimkasud dalil yang lebih kuat disini bisa berupa nash sehingga menjadi istihsan bi al-nash, bisa berupa ijma’ sehingga menjadi istihsan bi al-ijma’, bisa berupa dali darurat sehingga menjadi istihsan bi al-dharurat, bisa berupa qiyas khofi, namun memiliki efek yang lebih kuat sehingga menjadi istihsan bi al-qiyas al-khafi.

 

Istihsan dengan pengertian seperti ini tidak selayaknya mendapat penolakan dari ulama’. Setelah menampilkan istihsan dengan pengertian seperti di atas beserta contoh-contohnya, al-Ghazaliy menulis:

وهذا مما لا ينكر، وإنما يرجع الاستنكار إلى اللفظ وتخصيص هذا النوع من الدليل بتسميته استحسانا من بين سائر الأدلة، والله أعلم.

“Ini tidak bisa dinkari, pengingkaran terarahkan kepada lafaz dan pengkhususan dalim semacam ini dengan nama “istihsan” yang berbeda dengan dalil-dalil yang lain, wallâhu ‘alam.”

 

Karena itu, pengingkaran al-Syafi’iy terhadap istihsan tidak bisa diarahkan kepada istihsan dalam pengertian seperti ini. Penolakan al-Syafi’iy ini harus dipahami karena kalimat ini merupakan kalimat yang kurang layak digunakan dalam metode penggalian hukum Syar’i karena istihsan adakalanya muncul dari logika saja dan adakalanya muncul dari syara’ . Dan yang pertama itulah yang dimaksud al-Syafi’iy dalam statmennya yang terkenal, man istahsana fa qod syarra’a (siapa yang beristihsan maka dia telah membuat syariat sendiri). Di samping itu, terma istihsan ini berpotensi dijadikan pintu oleh sebagian kalangan untuk menjastifiksi pandangan-pandangan yang menyimpang dengan dalih bahwa pandangan-pandang tersebut juga pernah dipraktikkan oleh ulama’ masa lammpau.

 

Metode lain yang dipakai untuk merumuskan hukum adalah Istishab, yaitu memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan hukum asal, baik hukum asal ini ditetapkan berdasarkan dalil akli ataupun berdasarkan dalil nakli, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut. Misalnya kasus seseorang yang mendaku barang milik orang lain yang inkar. Dalam menyikapi sengketa ini, berdasarkan istishab hakim harus menuntuk pihak pendakwa untuk mendatangkan saksi, jika dia tidak mampu mendatangkan saksi maka pihak terdakwa harus dibenarkan, karena barang itu sebelumnya merupakan milikinya.

 

Istishab sangat penting dalam rangka menetapkan dan menghilangkan tuntutan syariat, dan penting juga bagi seorang hakim dalam memutuskan perkara serta mengetahui siapa yang menjadi pendakwa (mudda’i) dan siapa yang menjadi terdakwa (mudda’â alaih), sehingga dia bisa menentukan siapa yang harus mendatangkan saksi dan siapa yang cukup disumpah. Secara umum Istishab dipakai oleh semua mazhab.  Karena itu sebagian ulama’ mengatakan bahwa dalil-dalil yang disepakati ada empat, yaitu al-Quran, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Istishab. Mereka mengganti qiyas dengan Istishab karena qiyas masih ada ulama yang menolak, yaitu ulama’ dari kalangan Zâhiriyah.

 

Selain metode-metode di atas, metode Syad al-Dzariah juga dipakai untuk merumuskan hukum. Syadd al-Zara’i adalah metode merumuskan hukum berdasarkan kemafsadatan yang akan timbul dari sebuah pekerjaan. Metode ini, telah dicontohkan di dalam al-Quran surat al-An’am ayat 108. Di dalam ayat ini Allah swt melarang mencaci sesembahan kaum musyrik, karena mereka akan membalas dengan mencaci maki Allah.

 

Al-Qarâfiy menyatakan bahwa dalam praktik ijtihad para fuqaha’, metode ini terkadang disepakati untuk dipakai, terkadang disepakati untuk tidak dipakai, dan terkadang diperselisihkan. Perincian yang demikian berlaku sesuai tingkat kemungkinan timbulnya kemafsadatan tersebut. Jika sebuah perbuatan secara pasti atau mendekati pasti dapat membawa kemafsadatan maka metode ini sepakat untuk dipakai. Jika sebuah perbuatan jarang membawa kemafsadatan maka dalam hal ini metode syadd al-zarâ’i sepakat tidak dipakai. Jika sebuah perbuatan seringkali membawa mafsadah maka dalam hal ini metode syadd al-zarî’ah diperselisihkann oleh para ulama’. Pandangan al-Qarâfiy ini ditolak oleh Taqiy al-Din al-Subukiy. Menurutnya, al-Syâfi’iy tidak memakai Sadd al-Zarîah, tetapi memakai tahrim al-wasâil (mengharamkan wasilah). Tahrimal-wasâil hanyalah dipakai untuk perbuatan yang secara pasti mengantarkan pada kemafsadatan. Sementara Sadd al-zarîah bermakna menutup segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada kemafsadatan meskipun hanya sebatas dugaan.

 

Setelah era mujtahidin, lahir era muqallidin. Pada era ini kebanyakan ulama’ memberikan fatwa dengan mengacu kepada hasil-hasil ijtihad imam mazhab yang diikutinya. Pada era ini lahir pembahasan tingkatan-tingkat mufti dan wilayah otoritasnya. Dalam Muqaddimah al-Majmu’, Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa mufti terbagi menjadi dua macam, yaitu mustaqil (mandiri) dan ghoiru mustaqil (tidak mandiri). Mufti ghoiru mustaqil ini terbagi menjadi empat macam, yaitu: mujtahid mutlaq muntasib, mujtahid muqayyad, mujtahid tarjih, dan Al-huffadz.

 

Mujathid muthlaq muntasib memiliki otoritas untuk berijtihad dengan mengacu kepada sumber-sumber hukum Islam secara langsung. Hanya saja kaidah yang dipakai dalam berijtihad bukan hasil ijtihad sendiri. Akan tetapi kaidah-kaidah imam yang mencapai tingkatan mujtahid mustaqil yang diikutinya Sedangkan otoritas mujathid muqayyad terbatas pada ijtihad melakukan takhrij atau analogi masalah-maslah baru yang muncul di masa mereka kepada masalah lama yang hukumnya sudah dijelaskan imamnya. Jika terdapat dua masalah yang mirip, namun oleh imamnya diberi hukum yang berbeda. Kemudian mujtahid muqayyad memakai pendapat imam dalam satu masalah itu untuk menghukumi masalah lain yang menyerupainya maka hasil penyilangan ini disebut “qaul mukharraj”.

 

Sebagai contoh, masalah iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi dan iqtidâu al-qâim bi al-qâid. Dua masalah ini mirip, yaitu sama-sama masalah bermakmumnya orang yang sempurna (al-tâm) kepada imam yang tidak sempurna (al-nâqish). Tapi dua masalah ini dijawab dengan jawaban yang berbeda oleh imam al-Syafii. Iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi dijawab tidak sah. Sedangkan iqtidâu al-qâim bi al-qâid di jawab sah. Maka dalam menyikapi hal ini, sebagian Ashhab melakukan takhrij dengan cara menjadikan pendapat imam Syafii dalam kasus iqtidâu al-qâim bi al-qâid sebagai jawaban kasus iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi. Sehingga masalah iqtidâu al- qâri’ bi al-ummi ini berdasarkan takhrij ini dihukumi sah. Dalam Syarh al-Mahalli Ala al-Minhaj diterangkan sebagai berikut:

ولاقدوة قارئ بالأمي في الجديد لأن الإمام بصدد تحمل القراءة عن المأموم المسبوق فإذا لم يحسنها لم يصلح للتحمل والقديم يصح إقتداءه به في السرية لقراءة المأموم فيها بخلاف الجهرية فيتحمل الإمام عنه في القديم وفي ثالث مخرج (أي من الجديد السابق في صلاة القائم بالقاعد) يصح إقتداءه به في السرية والجهرية بناء على لزوم القرأة للمأموم فيهما في الجديد. قال في الروضة: هذه الأقوال جارية سواء علم المأموم كون الإمام أميا أم لا، وقيل هي إذا لم يعلم كونه أميا فإن علم لم يصح قطعا.

 

Mujtahid tarjih memiliki otoritas melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat mujtahid yang berada dalam tingkatan diatasnya. Dalam internal mazhab Syafii misalnya, cukup banyak perbedaan-perbedaan pendapat, bahkan al-Syafii sendiri memiliki penadapat lama(qaul kodim) dan pendapat baru (qaul jadid).Menyikapi banyaknya perbedaan diinternal mazhab al-Syafii ini, para uluma’ ahli tarjih berijtihad untuk menentukan pendapat yang paling kuat serta membuat istilah-istilah khusus untuk membedakan pendapat yang kuat dengan pendapat yang lemah.

 

Di bawah mujtahid tarjih, ada al-Hufadz. Para ulama’ yang berada dalam tingkatan ini tidak memiliki otoritas untuk melakukan tarjih, akan tetapi hanya memilih pendapat yang rajih berdasarkan tarjih ahli tarjih sebelumnya. Bahkan menurut Imam al-Nawawi, ulama yang berada dalam tingkatan ini hanya boleh menjawab masalah-masalah hukum dengan mengacu kepada apa yang tersurat dalam nushushul fuqaha’. Mereka tidak moleh melakukan analogi kasus-kasus baru dengan kasus-kasus yang sudah ada penjelasannya.

 

Metode berfatwa dengan berpedoman kepada madzhab fiqih yang empat di atas, terus berlanjut hingga sekarang. Jarang sekali kita menemukan ulama’ yang memberikan fatwa tanpa bersandar kepada hasil-hasil ijtihad ulama masa lampau. Kalaupun mereka menyebutkan dalil al-Qur’an atau al-Sunnah maka itu hanya untuk memperkuat pendapat ulama’ yang diikutinya. Memang ada bebera tokoh yang mendorong untuk berijtihad dan meninggalkan madzhab fiqih tersebut. Akan tetapi tokoh yang demikian itu cuma sedikit.  Tokoh-tokoh anti mazhab ini juga masih terbagi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Kelompok pertama menyerukan kembali kepada nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Sementara kelompok kedua menyerukan kembali kepada esensi nash-nash tersebut. Kelompok pertama cendrung kaku, keras dan mempersulit. Sedangkan yang kedua cendrung memudah-memudahkan, bahkan bisa dibilang ceroboh (tasahul). Bagi kelompok pertama, keterikatan kepada mazhab melahirkan fanatisme, sehingga para pengikut mazhab tetap mengikuti pendapat imamnya meski nyata-nyata bertentangan dengan nash-nash syariat. Bagi kelompok yang kedua, saat ini zaman telah mengalami perubahan-perubahan. Karena itu, madzhab-mazhab fiqih itu sudah tidak cocok untuk dijadikan pedoman menjawab problem-problem yang dihadapi masyarakat saat ini. Pada saat ini dibutuhkan ijtihad-ijtihad baru agar fiqih benar-benar bisa mewujudkan kemaslahatan bagi manusia

Berbeda dengan kedua kelompok di atas,  Habib Abdullah bin Mahfudh al-Haddad. Beliau adalah seorang ulama’ yang tegas menolak seruan untuk meninggalak mazhab-mazhab fiqih. Namun dalam waktu bersamaan beliau tidak terjatuh dalam fanatisme mazhab. Beliau adalah seorang ulama besar penganut mazhab Syafii. Bahkan beliau dijuluki “al-Syafii al-Shoghir” karena kuatnya pembelaan beliau terhadap mazhab syafii.

 

Hal ini tidak aneh karena beliau memang lahir dan belajar di lingkungan ulama’ yang menganut mazhab syafii. Beliau dilahirkan di Kota Dis Timur, Mukalla, Hadramaut, Republik Yaman pada tahun 1342 H. Setelah belajar kepada orang tuanya sendiri, beliau belajar di kota Dis Timur kepada as-Syekh Ahmad Bashol’ah. Sesudah itu, beliau pergi ke Tarim dan belajar di Ribath Tarim kepada al-Habib Abdullah bin Umar as-Syathiri (W 1361 H) dan kepada murid-murid beliau, diantaranya  al-Habib Ahmad bin Umar as-Syathiri, penulis kitab al-Yaqut al-Nafis Fi Mazhab Ibn Idris.

 

Meski beliau lahir dan besar dalam lingkungan ulama’ mazhab syafii, dan mengikuti mazhab ini sampai wafat. Akan tetapi dari fatwa-fatwa beliau diketahui bahwa beliau tidak selalu berfatwa dengan pendapat mu’tamad dalam mazhab syafii. Dalam berfatwa beliau berpijak pada prisnsip moderat, seimbang dan memudahkan. Prinsip ini sangat gampang dijumpai dalam fatwa Sayyid Abdullah. Hal ini, karena syariat Islam memang terbangun di atas prinsip memudahkan bukan menyulitkan. Kalaupun ditemukan kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan aturan-aturan syariat tersebut, ia tidak lebih dari sekedar sarana untuk menggapai kemaslahatan yang menjadi tujuan utama syariat Islam. Diantara dalil yang menjadi dasar pandangan ini adalah firman Allah yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu.”(QS al-Baqarah: 185), “Allah tidak menjadikan dalam Agama suatu kesulitan.”(QS al-Hajj: 78), “Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Allah hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Maidah: 6)dan sabda  Nabi Muhammad Saw.:” saya diutus dengan membawa ajaran yang lurus dan mudah.”(HR al-Thobarani).

 

Dalam fatwanya tentang orang yang suka mempersulit terhadap para wanita, hingga mengharamkan sesuatu yang seharusnya tidak sampai haram, Habib Abdullah menulis:

والغالب على المتشدد الإنحراف والضيق بما أوقع نفسه فيه. ويكفيه ماثبت عن ابن مسعود: أن محرم الحلال كمحرم الحرام. يعني في الإثم ، والإسلام في كل تشريعاته وسط بين الإفراط والتفريط فكل قول فيه شدة فهو مناف للإسلام وإن كان قائله في أعلى درجات العلم إذ لا توجد هذه الشدة في تشريعات الإسلام المنصوص كتابا وسنة ولكنها تأتي من هوس هؤلاء المهووسين وبعضهم يتبع أناسا مشبوهين مدفوعين من أيد خفية تعمل ضد الإسلام لتثبت لأهله قبل غيرهم أن الإسلام لايصلح لحكم ولايصلح أن يقود المجتمعات لما فيه من جمود وتطرف. وقد ثبت أن جماعة من هؤلاء المتطرفين وراءهم جهات غربية صليبية وصهيونية تعمل ضد الإسلام.

فتمسكي- حفظك الله – بأداء فرئضك وبماأمرك الله به ولاتغتري بالمفرطين ولا بالمفرطين وتأكدي أن هؤلاء الذين يظهرن التشدد والتشديد أن باطهن غير ظاهرهن كما ثبت ذلك بالتجارب وأكدته سنة الرسول صلى الله عليه وسلم وتأكدي أنني أشتم من رسالتك حرصك على بنات جنسك المؤمنات من هذه الموجات التي أشبه ماتكون بالموضات ومن شأن من أفرط لابد له أن يفرط. ومن دعاء الرسول صلى الله عليه وسلم: اللهم إني أعوذ بك من الحور بعد الكور.

وقد كان الأوضاع في أرض مصر والشام العربيتين المسلمتين مصابة بهذا التشدد في التحريم، فلما جاءت موجة التحرر خرجن على شرع الله وجاوزن الحدود كلها وبلغن الغاية في التفريض في كل شيء ونحن نريد أن تجنب أمتنا موجة هذاالتشدد حتى لاتكون ردة الفعل هي التسيب المطلق ولكن الوسط هو دين الله تعالى. ولوالتزموه منذ البداية كماكان المجتمع الأول لما حصل هذا التفريط المجاوز لكل حد حتى صرن كأنهن غريبات غريبات غير مسلمات. نسأل الله أن يحيد بلدنا وأمتنا من الوقوع في أحد الطرفين النقيضين الإفراط والتفريط: وكذلك جعلناكم أمة وسطا (البقرة:14) ، والله أعلم.

 

Meski berpijak pada prisnsip memudahkan, Habib Abdullah tetap tidak keluar dari prinsip kehati-hatian. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam fatwa beliau tentang hukum bersalaman dengan lawan jenis. Dalam Fatawa Tahummu al-Mar’ah hal. 89 disebutkan fatwa beliau sebagai berikut:

س :ما حكم مصافحة الرجل للمرأة أو بالعكس؟

الجواب:إن الفقهاء في المذاهب الأربعة يعدونها حراما لأن ما حرم نظره عندهم فلمسه حرام أخذوها بالقياس ولكن هذا القياس لايتم لأن معظمهم لايرى الوجه والكفين عورة. أما من حيث الدليل نصا فلا يوجد إلا قوله صلى الله عليه وسلم (إني لاأصافح النساء) وهذا لايفيد في الحرمة لأنه من خصائصه صلى الله عليه وسلم. ولهذا عبر(إني لاأصافح النساء) والإقتداء به مطلوب من كل مسلم.

نعم في الموضوع حديث آخر ذكره في الجامع الصغير عن معقل بن يسار مرفوعا ((لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس إمرأة لا تحل له))

وأشار السيوطي إلى ضعفه لكن قال شارحه المناوي: قال البيهقي رجاله رجال الصحيح وقال الحافظ المنذري في رجاله: ثقات. وهذا هو الحق ولكنه لايفيد إلا الكراهة الشديدة  فالأولى للرجل والمرأة أن يتجنبا ذلك ماستطاع إليه سبيلا ، فإن أحرج أو أحرجت فاليمد الواحد طرف أصابعه ويستغفر الله وكان الورعون من صلحاء هذا البلد إذا أحرج أحدهم يعتذر بأن معه وضوء أو يصافح بعد أن يلف يده بثوبه حتى لا تحصل المماسة. والله أعلم.

 

Fatwa ini memperlihatkan bahwa meski beliau menilai dalil yang dijadikan dasar oleh ulama’ yang mengharamkan salaman dengan lawan jinis yang bukan mahram tidak secara pasti menunjukkan demikian. Akan tetapi beliau tetap menganjurkan untuk menghindari bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram semampunya. Jika terpaksa, hendaknya bersalaman sekedarnya dan beristighfar atau bersalaman setelah tangan dibungkus dengan pakaiannya sehingga tidak terjadi persentuhan kulit.

 

Hampir sama dengan fatwa ini, fatwa beliau tentang hukum seseorang mengeluarkan zakat fitrah untuk adiknya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam Fatawa Ramadhan hal. 134, disebutkan fatwa beliau sebagai berikut:

(مسألة) مجموعة من الإخوة مصروفهم في المعيشة واحد فقام أحدهم بإخراج زكاة الفطر عن نفسه وعن إخوانه بغير إذن منهم وهو بالطبع يعتقد رضاهم فهل تجزيهم الفطرة أو لا بد من إذنهم؟

الجواب أن الأصل في زكاة الفطر أنها عبادة ولا بد من نية حتى يتم الأمر كما أراده الشرع والنية لاينوب فيها أحد عن أحد إلابإذنه وإبانته وهكذا نجد علماءنا يتشددون في هذا الموضوع حتى قرروا أن القاضي لايملك الإذن عن الغائب في إخراج الفطرة عن زوجته وأولاده الصغار بالرغم من أن القاضي يملك بيع عقار الغائب لوفاء ديونه أو نفقة زوجته وأولاده ولكن لأن لزكاة عبادة إشترطوا إذنه لكن الشيخ بامخرمة من علماء حضرموت في القرن العاشر أفتى بأن القاضي يملك الإذن بإخراج الزكاة عن الغائب كما يملك الإذن للزوجة أن تستدين عنه وتوفى من ماله لارتباط الفطرة بالنفقة ،ومع كل هذا لونظرنا إلى الهدف الذي من أجله أمر الشارع إخراج الفطرة وهو إسعاف المحتاجين في هذااليوم العظيم وهو يحصل بإخراج الأخ الأكبر عن بقية إخوانه فيما مضى ويحسن في المستقبل أن يأخذ بالإختياط فيأخذ الإذن منهم باعتبار العبارة.

Fatwa ini memperlihatkan bahwa beliau begitu memperhatikan tujuan syariat sebagai salah satu pijakan hukum, sehingga beliau berani berpendapat zakat fitrahnya orang dewasa yang dikeluarkan tanpa izin dianggap cukup. Namun dalam waktu bersamaan beliau tetap mengarahkan masyarakat untuk lebih berhati-hati dengan meminta izin terlebih dahulu.

 

Disamping berpijak pada prinsip memudahkan, beliau juga berpijak pada ilmu pengetahuan. Misalnya fatwa tentang hukum darah yang keluar dari perempuan hamil dan fatwa beliau tentang air yang masuk melalui telinga orang yang berpuasa. Dalam fatawa Tahummu al-Mar’ah hal. 44 disebutkan fatwa beliau sebagai berikut:

س :إمرأة حامل في شهرها الخامس وفي أيام حملها الأخيرة خرج منها دم ليس بقليل ، فما حكمه هل هو حيض أم إستحاضة مع العلم أنها توقفت عن الصلاة لمدة عشرين يوما؟

الجواب: أيتها السائلة إن الحامل إحتلف العلماء في الدم الخارج منها هل هو حيض أو إستحاضة؟ والراجح من حيث الوضع الطبي لهذه المرأة أن ماتراه من دم في أثناء الحمل ليس بحيض لأن الرحم ينغلق بعد العلوق ويتحول الدم إلى مساعد نمو الحمل ، ولاتررى الحامل الدم إلا إذاكانت في حالة غير طبيعية من مرض أو ضعف أو حمل ثقيل وإن كان المتأخرون من الشافعية رجحوا أن ماتراه يعد حيضا أعطوه كل أحكامه. وأنا أرجح الأول وأطالب الحامل أ ن لا تقطع صلاتها وصومها إن رأت هي الدم في أيام حملها وتعده إستحاضة فتتوضأ وتعصب فتصلي وتصوم ولا غسل عليها وما دامت السائلة قد تركت الصلاة في مدة عشرين يوما فإن عليها قضاء هذه الصلوات. وإن أرادت الأخذ بالقول الآخر واعتبرته حيضا فإن هؤلاء يلزمونها قضاء خمسة الأيام الزائدة على أكثر الحيض هذا هو مذهبنا. والله أعلم.

 

Dalam fatawa Ramadhan hal. 90 disebutkan fatwa beliau sebagai berikut:

هل الأذن منفذ مفتوح فيفطر ما دخل به والكحل هل يفطر؟ الجواب قال فقهاءنا إن الأذن منفذ مفتوح فيحكمون بالفطر لمن دخل في أذنه ماء عند الإنغماس ومع ذلك إغتفرو له عند التألم أن يضع قطرة في أذنه أخذا بالتيسير ، والإمام الغزالي من الشافعية وهو من علماء التشريح قال: بأن الأذن ليس منفذا مفتوحا لاينفذ منه شيء إلى الرأس ورأيه هو الراجح لماقرره الطب الحديث من القول بما يوافق رأيه فالحق أن الأذن لايفطر الصائم بدخول شيء فيه لأنه لا ينفذ إلى الباطن بل يستقر فترة حتى يخرج. وأما الكحل فالمذهب عندنا لايفطر الصائم لأن العين منفذ غير مفتوح ولكنه يكره مراعة للخلاف فإنه يحكى عن الإمام أحمد أنه يقول بأنه مفطر. أما الدهن فلا خلاف بين العلماء أنه لايفطر الصائم مطلقا.

 

Kedua fatwa di atas memperlihatkan dengan jelas betapa ilmu kedokteran modern menjadi pijakan beliau di dalam mentarjih salah satu pendapat dalam polemik ulama’ masa lampau. Dalam kedua fatwa tersebut beliau mengunggulkan pendapat yang mengatakan darah yang keluar dari perempun hamil termasuk darah istihadah bukan darah haid, dan mengunggulkan pendapat yang mengatakan air yang masuk melalui telinga tidak membatalakan puasa. Semua tarjih ini berpijak kepada ilmu kodokteran modern.

 

Ketika keluar dari pendapat mu’tamad dalam mazhab Syafii, terkadang beliau mengambil pendapat yang dinilai lemah dalam mazhab syafii (muqabil al-dzhar dan muqabi al-ashah), bahkan terkadang keluar dari mazhab empat karena pertimbangan maslahah dan memudahkan masyarakat. Berikut ini, penulis tampilkan contoh-contoh keterangan tesebut:

 

  1. Berfatwa dengan muqabilul adhar seperti fatwa beliau tentang masa terputusnya darah dalam masa haid. Dalam Fatawa Ramadhon hal. 67 disebutkan fatwa beliu sebagai berikut:

(مسألة) إمرأة حاضت وبعد أن اغتسلت وبعد يومين من طهرها رأت الدم ثم نقت واغتسلت ثم ظهر عليها الدم مرة أخرى، وعلى هذا الحال تراه ثم تطهر وتغتسل إلى عشرين يوما على هذا الحال، فماذا تفعل هل تقضي الصلاة والصوم علما بأن ذلك حصل لها في شهر رمضان؟

(الجواب) إن هذه المسألة فيها إختلاف المذاهب التي تعتبر أكثر الحيض خمسة عشر يوما وهم الشافعية والمالكية والحنابلة فما بعد الخمسة عشر تعتبر غير حيض باتفاق فعليها قضاء صومها إن أفطرت. وأما ما حصل في أثناء الخمسة عشر من دم وطهر، فإن الراجح هو إعتبار أيام الدم أيام حيض وأيام نقاء طهر، فما فعلته في أيام النقاء من صلاة وصوم هو صحيح وتقضي صيام أيام الدم سواء صامت أو أفطرت. وبعضهم يتشدد فيعتبر أيام النقاء في هذه المدة من الحيض ويقرر أن صيامها ينتقض فيلزمها خمسة عشر يوما ويسمونه أصحابنا (السحب) وي لكن المرجح هو مذهب أهل التلقيط الذين يعتبرون أيام الدم حيض وأيام النقاء طهر ويصححون العبادة فيها…

 

  1. Berfatwa dengan muqabilul ashah seperti fatwa beliau tentang air yang masuk melalui telinga. Dalam fatawa Ramadhan hal. 90 disebutkan fatwa beliau sebagai berikut:

هل الأذن منفذ مفتوح فيفطر ما دخل به والكحل هل يفطر؟

الجواب قال فقهاءنا إن الأذن منفذ مفتوح فيحكمون بالفطر لمن دخل في أذنه ماء عند الإنغماس ومع ذلك إغتفرو له عند التألم أن يضع قطرة في أذنه أخذا بالتيسير ، والإمام الغزالي من الشافعية وهو من علماء التشريح قال: بأن الأذن ليس منفذا مفتوحا لاينفذ منه شيء إلى الرأس ورأيه هو الراجح لماقرره الطب الحديث من القول بما يوافق رأيه فالحق أن الأذن لايفطر الصائم بدخول شيء فيه لأنه لا ينفذ إلى الباطن بل يستقر فترة حتى يخرج. وأما الكحل فالمذهب عندنا لايفطر الصائم لأن العين منفذ غير مفتوح ولكنه يكره مراعة للخلاف فإنه يحكى عن الإمام أحمد أنه يقول بأنه مفطر. أما الدهن فلا خلاف بين العلماء أنه لايفطر الصائم مطلقا.

 

  1. Berfatwa dengan pendapat mayoritas ulama’ diluar madzhab Syafiiyah seperti fatwa beliau tentang seorang perempuan yang melihat satu rambut ketika sedang sholat. Dalam fatawa Tahumm al-Mar’ah hal. 70 disebutkan fatwa beliau sebagai berikut:

سؤال :إمرأة تصلي وفي أثناء الصلاة لاحظت شعرة من شعرها بارزة فهل عليها أن تعيد الصلاة؟

الجواب: إن الفقهاء في مثل مختلفون بين مشدد ومخفف. فالعلماء الشافعية يلزمونها الإعاذة أخذا بالإحتياط. والجمهور لايلزمها خصوصا إذا كان عن عدم علم. وعلى كل وفي هذا الأخطاء من العسر إلزامها الإعادة بها ولا تعد عورة وإنما أوجب الشارع عليها الخمار وهو تغطية الرأس في الجملة وها هي قد فعلت فلاتضرها مثل هذه الشعرة لو أغفلت لأنها تعد مع ذلك مختمرة والتفاصيل المتشددة بعيدة عن اليسر الذي هو أساس من أسس الدين خصوصا في العبادة. والله أعلم.

 

4.Berfatwa dengan selain pendapat yang mu’tamad dalam mazhab empat seperti dalam fatwa beliau tentang musik dan bolehnya jama’ bagi orang yang berada dalam kesibukan tertentu. Dalam Fatawa Tahummu al-Mar’ah hal. 70 disebutkan fatwa beliau sebagai berikut:

سؤال: في المناسبات والأعياد تستعمل النساء الحناء ويمكثن زمنا طويلا وقد تترك بعضهن الصلاة فهل لهن جمع الصلاة في هذه الحالة؟

الجواب تحدثنا طيلة حلقتين عن سؤال من إحدى الطالبات عن تقديمهن صلاة العصر مع صلاة الظهر في فترة سابقة لأنه لايتمكن من الصلاة في المدرسة فتفوت العصر. وذكرنا الجمع للحاجة قال به جماعة من العلماء ومنهم إبن سيرين من التابعين وأشهب من أصحاب مالك والقفال الشاشي الكبير من أصحاب الإمام الشافعي وجماعة أخرى من أصحاب الحديث واختاره إبن المنذر من الشافعية. ومستندهم حديث إبن عباس عند مسلم: أن رسول الله جمع الظهر والعصر والمغرب والعشاء في المدينة من غير مرض ولامطر قيل لابن عباس ما أراد بذلك. قال أراد أن لا يحرج أمته. ولذلك قال هؤلاء الأئمة بجواز الجمع لأية حاجة مالم يتخذ عادة.

وكان الإمام الحداد يأمر نساءه عند إرادة الحناء أو الخروج للزواج بألا تضعه إلابعد دخول وقت الظهر فتصلي الظهر وتقدم معه العصر ثم تؤخر المغرب مع العشاء وهذه فسحة عظيمة يخرج بها صاحبها عن إثم التأخير ويكون محافظا على صلواته. والله أعلم.

 

Di kalangan ulama Syafiiyah  terjadi perbedaan pendapat mengenai boleh dan tidaknya mengikuti pendapat yang lemah karena pertimbangan maslahah. Di dalam al-Fawaid al-Makkiyah, Sayyid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf menulis:

العاشرة قال ابن حجر في بعض مؤلفاته كما نقله عن الأشخر في فتاويه إذا رأينا كلام الأصحاب أوبعضهم ولم يعارضه من كلام غيره ماهو أقوى منه ثم رأينا المصلحة اقتضت الإفتاء بخلافه كيف يسوغ لنا ذلك الإفتاء, هذا مما لم يمكن مقلدا القول به وإن كان مجتهدا لأن ذلك ليس من وظيفته وإنما وظيفته الترجيح عند تعارض الأراء, وأما مخالفة منقول المذهب لمصلحة أو مفسدة قامت في الذهن فذلك لايجوز , ومن فعله فقد وقع في ورطة التقول في  الدين وسلك سنن المارقين حفظنا الله من ذلك بمنه وكرمه…و قال الشيخ العلامة عبد الله بن عمر بامخرمة في فتاويه العدنية: وأما قول السائل في الإحتجاج بخلاف الصحيح في المذهب أن الشريعة مبنية على جلب المصالح ودرء المفاسد فجوابه وإن كان الأمر كذلك فحقيقة ذلك محجوبة عنا لايدركها عقل ولا يضبطها حد ولايوقف عليها بحدس ولا قياس بل أمرها إلى الله تعالى ثم إلى من أطلعه الله على شيئ من أنبياءه ورسله عليهم الصلاة والسلام وليس الى المجتهدين من ذلك إلا مجرد الظواهر ولم يوجب الله سبحانه وتعالى الا ذلك ولم يكلفه البحث عن بواطن الأمور وأسرارها لطفا بهم ورحمة عليهم وإذا كان الأمر على ما ذكرنا فليست دعوى في العمل بخلاف الصحيح بأولى من دعوى كونها في العمل في الصحيح لما ذكرناه من أن حقيقة المصلحة والمفسدة محجوبة عنا وليس إلينا الا النظر من الكتاب والسنة وقد دلت الظواهر على اعتماد الصحيح في المذهب كما لا يخفى على من له نظر في الأدلة الخاصة بمسألتنا ولو ذهبنا الى ما يسبق الوهم ويقتضيه بادئ الرأي من المصالح والمفاسد لا تسع الخرق وخرج عن الضبط الشرعي والقانون التعبدي , ألا ترى أنه لو ادعى شخص على أخر أنه غصبه فلسا وشهدت له فا طمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم والصديقة عائشة رضي الله عنها بل وسائر نساء المهاجرين والأنصار من الصحابيات رضي الله عن الجمييع ممن لا يشك في صدقه ولا يرتاب في خبره لم يحكم بشهادتين في ذلك ولم يترتب عليه حكم شرعي مع أن كثيرا من أحكام الشريعة المطهرة ثبتت برواية الصديقة رضي الله عنها, فهذا وأمثاله مما سبق الوهم  الى أنها خلاف ما ثبتت عليه الشريعة المطهرة من جلب المصالح ودرء المفاسد , ولا شك أن ذلك غلط سببه ما ذكرنا من قصور العقول والأذهان عن درك الأسرار الإلهية ولهذا قا ل سيدنا علي لو كان الدين بالرأي والقياس لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه ورأيت النبي صلى الله عليه وسلم يمسح أعلاه… قال النووي في مجموعه إن المسألة إذا دخلت تحت إطلاق كلام الأصحاب كانت منقولة لهم وفيه أيضا البحث عن المصالح والمفاسد إنما هو وظيفة المجتهدين , وأ ما المقلد المخض فلا يجوز له أن ينظر  الى ذلك ويخالف كلام أئمتنا وساق كلاما يؤيد ماذكره  إلى أن قا ل فعلمنا بذلك الى أن غير المجتهد لا يجوز له النظر في المصالح والمفاسد وإنما عليه النظر في كلام إمامه وأئمة مذهبه , وقال في موضع أخر من هذا لكتاب والناس في هذ المدة الطويلة أي منذ سبعمائة سنة إنما يعملون بقول المجتهدين ووجوه الأصحاب من أقوال المجتهدين با عتبار أنها مأخوذة منها وكل عالم لا ينطق إلا ما لا يليق بقواعد مذهبه لاق بأهل زمانه أولا ا هـ

 

Ibarat di atas memperlihatkan bahwa bagi banyak ulama’ Syafiiyah berfatwa dengan selain pendapat yang mu’tamad dengan pertimbangan maslahah tidak diperbolehkan. Karena berfatwa dengan berpijak pada keamaslahatan merupakan tugas mujtahid. Disamping itu kemaslahatan hakiki itu tidak selalu tampak jelas. Bisa jadi sesuatu yang kita nilai maslahah pada hakikatnya justru mengandung mafsadah yang lebih besar yang luput dari perhatian kita.

 

Namun dalam buku al-Madkhal Ila Ilm al-Maqashid guru penulis di Universitas al-Ahgaff, Dr. Sayyid Zain al-Idrus menjelaskan bahwa dalam masalah ini dikalangan Syafiiyah masih terjadi perbedaan pendapat. Beliau menulis:

اختلف أهل العلم في مسألة إذا وجدنا حادثة أو قضية فقهية تقتضي المصلحة الإفتاء بخلاف المعتمد أو المنقول في المذهب فهل يعمل بالمصلحة؟ في المسألة قولان.

القول الأول: عدم جواز الإفتاء بخلاف المعتمد المقرر لأجل المصلحة خوفا من التقول في الدين بالهوى. وقال بهذا لقول إبن حجر الهيتمي وعبد الله بن عمر بامخرمة ومحمد سليمان الكردي- رحمهم الله- وغيرهم. القول الثاني: جواز الإفتاء بخلاف المنقول في المذهب ولو على قول مرجوح لمرجح خارجي وهو المصلحة المنضبطة شرعا لأن الشريعة مبنية على المصالح ودرء المفاسد. وقال بهذا السمهودي وابن زياد اليمني والجشيري ، وإليه يميل محمد بن عبد الله باسودان وابن عبيد الله السقاف. قال العلامة عبد الله بن حسين بلفقيه رحمه الله:( وقد خالف الشيخ إبن حجر وموافقيه الشيخ اين زياد فيما إذا وجدت حادثة واقتضى العمل فيها بما يخالف المنقول عملا بقاعدة جلب المصالح ودرء المفاسد فقال ابن حجر لا يعمل فيها بذلك وقال إين زياد يعمل فيها بمقتضى القاعدة وقد أطال النقل عنهما وعن غيرهما العلامة البدر السيد عبد الرحمن بن سليمان الأهدل في جواب له على أعراف القبائل وعوائدهم ومنه في تقرير كلام إبن زياد. قال مانصه: قال الجشيري رحمه الله الشرع مبني على درء المفاسد وجلب المصالح بل لوكان حكم شرعي يخالف العادة وترك العمل بالعادة يؤدي إلى فنتة عظيمة عمل بالعادة شدا للذريعة المؤدية إلى الشقاق والعداوة التي لاينقطع بابها إذا فتح ولاينسد. إنتهى كلام الجشيري.)

وقال العلامة عبد الرحمن المشهور- رحمه الله- (قال السبكي ماأحسن التمذهب واستعمال الأوجه في درأ المفاسد الواقعة في مصادمة الشرع. وفي التحفة قال السبكي: يجوز الإفتاء بغير المذاهب الأربعة لمصلحة دينية أي مع تبيينه للمستفتي قائل ذلك إنتهى.وفي فتاوى باصهي : أن المغارسة بجهة حضرموت عمل بها من لايشك في علمه وعمله وهو عمل أهل المدينة وهو المفتى به والأصلح للناس بحسب ماشرطوه وتراضوا به مما لايخالف المذهب. إنتهى.

والقول الثاني هو هو الأقرب للصواب. والله تعالى أعلم. لأنه ما من حكم شرعي إلا وراءه مصلحة شرعية أو يدفع مفسدة شرعية وذلك باستقراء أحكام الشرع الحنيف والمصلحة التي يأخذ بها العلماء ليست وهمية أو المبنية على الأهواء بل منضبطة بضوابط شرعية مقررة عند العلماء فهو الصمام من الوقوع في الشطط والتقول على الله تعالى بغير حجة ولا هدى.

وللعلامة البوطي رحمه الله كلام قيم جدا يرسم للمجتهد والمفتي منهجا سديدا في الترجيج بين الأقوال المختلفة مراعيا مراعة المصالح الشرعية المنضبطة. قال رحمه الله:(وظيفة المجتهد اليوم أمام ذخر هذه الإختلافات أن ينتقي الأنسب منها لتحقيق حاجة العصر فيسقطه عليها ومظهر الإجتهاد في هذا العمل يتمثل في أن الفقيه لايحق له أن يلتقظ من ذخر الإختلافات الفقهية ما يشاء إعتباطا أو لرغبة مزاجية أو مصانعة لجهة ما بل يجب أن يتبع في ذلك المنهج الذي يحقق الحكمة من وجود هذه المسائل الخلافية ومشروعية الخلاف فيها وهي مراعية مصالح الأمة المطوية في مقاصد الشريعة الإسلامية ويتلخص المنهج الذي يجب إتباعه فيما يلي: أما الخلافات الناتجة من تبدل الأعراف والمصالح وتصورع الذرائع إنفتاحا وانغلاقا فيجب إعتماد ما يتفق نها مع العرف الناتج في ذلك المجتمع أو ذلك العصر في كل كان سبب الخلاف فيها تبد العرف ويجب إعتماد ماتقتضيه المصلحة المنضبطة بسلم المقاصد الشرعية مقيدة بترتيبها المعتمد في كل ماكان سبب الخلاف فيه الإستصلاح ويجب إعتماد ماتقتضيه حال الذرائع إنفتاحا أو إنغلاقا إلى ما هو واجب أو إلى ماهو مندوب أو محرم. وأما الإختلافات الناتجة عن الإحتمالات الواردة للمعنى المراد بالنص بسب كون الصيغة محتملة وليست قاطعة الدلالة فينبغي للمجتهد أن يختارمن الأقوال الواردة فيها ماهو الأكثر رعاية لمقاصد الشريعة الخمسة مع الإنضباط بترتيبها الذي هو محل إجماع من علماء المسلمين عامة ومع الإنضباط بالدرجات الثلاثية لكل منها وهي الضروريات فالحاجيات فالتحسينيات.)

 

Demikian pula ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum berfatwa dengan selain mazhab empat. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa selain mazhab yang empat tidak boleh dijadikan rujukan dalam putusan hukum dan fatwa. Bahkan sebagian ulama’ mengklaim bahwa larangan mengikut selain mazhab empat ini merupakan konsensus ulama’. Al-Zarkâsyiy misalnya, di dalam al-Bahr al-Muhîd, dia menulis:

والحق أن العصر خلا عن المجتهد المطلق، لا عن مجتهد في مذهب أحد الأئمة الأربعة وقد وقع الاتفاق بين المسلمين على أن الحق منحصر في هذه المذاهب، وحينئذ فلا يجوز العمل بغيرها، فلا يجوز أن يقع الاجتهاد إلا فيها.

“Pendapat yang benar bahwa masa ini tidak ada mujtahid mutlak. Adanya cuma mujtahid dalam mazhab salah satu imam yang empat. Telah terjadi kesepakatan di antara umat Islam bahwa kebenaran terbatas pada mazhab-mazhab ini. Karena itu, tidak boleh beramal dengan selainnya, karena tidak boleh terjadi ijtihad kecuali dalam lingkup mazhab yang empat itu.”

 

Mengenai alasan larangan tersebut, Ibn ‘Allan dalam Dalil al-Fâlihin berkata:

ومحل تقليد الصحابة بالنسبة للمقلد الصرف في تلك الأزمنة القريبة من زمنهم. أما في زمننا فقال بعض أئمتنا: لا يجوز تقليد غير الأئمة الأربع الشافعي ومالك وأبي حنيفة وأحمد لأن هؤلاء عرفت مذاهبهم واستقرّت أحكامها وخدمها تابعوهم وحرروها فرعاً فرعاً وحكماً حكماً فقلّ أن يوجد فرع إلا وهو منصوص لهم إجمالاً أو تفصيلاً، بخلاف غيرهم فإن مذاهبهم لم تحرر وتدوّن كذلك فلا يعرف لها قواعد يتخرج عليها أحكامها، فلم يجز تقليدهم فيما حفظ عنهم منها لأنه قد يكون مشترطاً بشروط أخرى وكلوها إلى فهمها من قواعدهم، فقلت الثقة بخلوّ ما حفظ عنهم من قيد أو شرط فلم يجز التقليد حينئذٍ.

“Bagi muqalid murni, taklid kepada sahabat hanyalah boleh bagi mereka yang dekat dengan masa sahabat. Adapun di zaman ini maka sebagian imam melarang bertaklid kepada selain imam yang empat, al-Syafii, Malik, Abȗ Hanifah dan Ahmad. Alasannya karena mazhab mereka telah diketahui, hukum-hukumnya telah mantab, dan para pengikutnya telah membukukan dan merumuskan cabang percabang dan hukum perhukum. Hampir tidak ada suatu masalah cabang kecuali terdapat nash mereka baik secara global ataupun secara rinci. Berbeda dengan selain imam yang empat itu, mazhab mereka tidak terumuskan dan tidak terbukukukan, sehingga tidak diketahui kaidah-kaidah yang menjadi pijakan hukum-hukum mereka. karena itu, tidak boleh taklid kepada mereka berkaitan pendapat-pendapat yang disandarkan kepada mereka, karena bisa jadi ada syarat lain yang tidak kita ketahui.”

Alasan berbeda ditampilkan oleh Ibn Rajab al-Hanbali dalam al-Raddu ‘Ala Man Ittaba’a Ghoir al-Mazâhib al-Arba’ah. Dia berkata:u.

“Jika orang bodoh berkata: bagaimana manusia dibatasi untuk mengikuti pendapat-pendapat ulama’ tertentu, dilarang berijtihad dan bertaklid pada selain mereka, maka dijawab: sebagaimana para sahabat memabatasi bacaan tertentu tatkala mereka memandang bahwa kemaslahatan menuntut demikian maka begitu juga dalam masalah-masalah hukum dan fatwa halal-haram. Jika tidak ada pembatasan untuk mengikuti ulama’ tetertentu maka hal itu akan menyebabkan kerusakan, dan orang bodoh akan mengklaim dirinya sebagai bagian dari kelompok mujtahid, sehingga berani membuat pendapat yang disandarkan kepada ulama’ salaf. Bahkan mungkin saja dengan melakukan perubahan terhadap pendapat-pendapat mereka, sebagaimana hal itu terjadi pada sebagian pengikut Zâhiriyah. Mungkin juga pendapat itu merupakan pendapat yang salah dari salah satu ulama’ yang terdahulu, yang ditolak oleh par ulama’ yang lain. Berdasarkan alasan ini, maka kemaslahatan menuntut membatasi manusia untuk mengikuti mazhab yang telah populer itu.”

Alasan yang ditampilkan Ibn Rajab ini menutup secara total peluang untuk mengikuti pendapat-pendapat di luar mazhab empat. Sementara alasan yang ditampilkan Ibn ‘Allan masih membuka peluang untuk itu. Karena itu, jika sebuah pendapat di luar mazhab itu dapat diketahui secara utuh, serta dapat diyakini keberadaannya maka diperbolehkan untuk mengamalkan bahkan menfatwakannya. Pendapat yang terakhir banyak didukung oleh ulama’ kontemporer, seperti Abdullah bin Bayyah, Muhammad Abȗ Zahroh, dan Yusuf al-Qardlâwiy.

Tatkala berbicara wilayah operasionalisasi maqashid dalam pembaharuan Bin Bayyah mengatakan, maqashid bisa dihadirkan untuk menyeleksi pendapat-pendapat ulama’ masa lampau, termasuk pendapat yang telah lama ditingalkan (mahjurah) untuk kemudian pendapat tersebut dikuatkan dengan maqashid al-syarî’ah. Dalam konteks ini, Bin Bayyah menulis:

أقول لطلبتي؛ إن مكانة القول الراجح محفوظة، وحقوقه مصونة، لكن المقاصد تحكم عليه بالذهاب في إجازة، ولا تحيله إلى التقاعد، ريثما تختفي المصلحة التي من أجلها تبوأ القول الضعيف مكانه. ولكن الأمر يحتاج إلى ميزان يتمثل في النظر في الدليل الذي يستند إليه القول الراجح الذي قد لا يكون إلا ظاهرا أو فعلا محتملا. هذا من جهة الدلالة. ومن جهة المعقولية قد يكون قياسا غير جلي أو ذريعة غير قطعية المآل، وأيضا من جهة الثبوت قد يكون خبر آحاد ونحوه. ثم إن القول الضعيف غير العري عن الدليل والقائل به من أهل العلم الذين عرفت مكانتهم، وأنهم أهل لأن يقتدى بهم. وبذلك يكون الترجيح بالمقصد متاحا، بل ومتعينا.

“Saya selalu sampaikan kepada murid-murid saya bahwa kedudukan pendapat yang kuat tetap terpelihara dan hak-haknya tetap terjaga, tetapi kadangkala maqashid menetakan pendapat rajih itu harus berlibur untuk sementara, selama tersembunyi kemaslahatan yang juga merupakan alasan pendapat lemah menampati tempatnya. Akan tetapi, persoalan ini butuh kepada neraca yang terepresentasikan dalam pengkajian terhadap dalil yang menjadi pijakan pendapat rajih, yang terkadang ia hanya teks bertipe zahir atau perbuatan syari’ yang memilki banyak kemungkinan makna. Ini dari aspek dilalah. Sementara dari aspek  nalar terkadang ia berupa dalil qiyas khofi atau dzariah yang tidak pasti akibat negatifnya, dan demikian pula dari aspek validitas dalil tersebut, ia terkadang berupa hadis ahad dan semacamnya. Kemudian pendapat yang lemah juga tidak sepi dari dalil, dan yang memiliki pendapat itu termasuk ulama’ yang sudah diketahui kedudukannya dan patut dijadikan panutan. Dengan demikian, pengunggulan suatu pendapat dengan pendekatan maqashid menjadi sangat mungkin, bahkan bisa saja menjadi keharusan.”

Dengan statemen ini, Bin Bayyah hendak menyatakan bahwa pengunggulan sebuah pendapat dalam polemik para ulama’ masa lampau tidak hanya bisa dilakukan dengan dalil nash, tetapi juga dengan dalil maqashid. Yang dimaksud ulama’ disini bukan hanya ulama’ dalam lingkup satu mazhab saja, akan tetapi semua ulama’ yang diakui keilmuannya dalam bidang hukum Islam.

Tatkala menjabarkan praktik ijtihad intiqâi, Syaikh Yusuf al-Qardhowi menulis:

وفي دائرة di التابعين أو من بعدهم من أئمة السلف.

“Dalam ruang lingkup pemilihan pendapat yang kuat ini, boleh saja kita keluar dari empat mazhab guna memilih pendapat yang dikemukakan oleh para pakar fiqih dari kalangan sahabar, tabi’in, dan para ulama’ salaf yang hidup setelah mereka.”

 

Salah satu contoh kasus yang menurut ijtihad al-Qardlâwiy, mengambil pendapat diluar empat mazhab justru lebih benar adalah tentang maksimal usia kandungan. Menurut Hanafiyah dan satu pendapat dalam mazhab Hanabilah, maksimal usia kehamilan dua tahun. Menurut Syafiiyah dan Hanabilah empat tahun. Menurut Mâlikiyah lima tahun, bahkan diantara mereka ada yang berpendapat tujuh tahun. Menurut al-Qardlâwiy, ilmu pengetahuan modern yang berdasarkan obeservasi dan ekprimen menolak mentah-mentah pendapat-pendapat di atas. Pendapat-pendapat tersebut tidak didukung oleh bukti yang kongkrit dan penelitian ilmiah yang akurat, dan juga tidak memiki dasar al-Quran dan al-Hadis. Karena itu, dia lebih cocok dengan pendapat Ibn Hazm al-Zahiriy yang mengatakan bahwa maksmal usia kandungan adalah sembilan bulan atau pendapat Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam yang mengatakan bahwa maksimal usia kandungan adalah satu tahun berdasarkan perhitungan Qamariyah.

 

Sebelum al-Qardlâwiy, Abȗ Zahroh juga punya pendapat yang sama. Dalam kitab al-Akhwal al-Syahshiyah dia menulis:

والحق في هذه القضية أن هذه التقديرات لم تبن على النصوص بل على ادعاء الوقوع في هذه المدد وأن الإستقراء في عصرنا الحاضر لا يجد من الوقائع ما يؤيد التقدير بخمس ولا أربع ولا سنتين وإنما الوقائع تؤيد التقدير بتسعة أشهر وقد يوجب الإحتياط التقدير بسنة ورجح بعض الفقهاء المتقدمين ذلك ، فقد قال ابن رشد: ةهذه المسألة الرجوع فيها إلى العادة والتجربة وقول ابن الحكم والظاهرية هو الأقرب إلى المعتاد.

“Yang benar dalam masalah ini, sesungguhnya ketentuan-ketentuan masa itu tidak dbangun berdasarkan nash-nash akan tetapi hanyalah berdasarkan klaim terjadinya peristiwa itu pada masa-masa tersebut. Penelitian pada masa ini tidak menemukan kejadan-kejadian yang memperkuat pendapat yang mengatakan maksmal usia kehamilan adalah lima tahun, empat tahum atau dua tahun. Realiata-realita justru menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa maksimal usia kehamilan dalah sembilan bulan. Dan sebagai langkah hati-hati, ditambah sampai satu tahun. Ibn Rusyd berkata: masalah ini rujukan adalah kebiasaan dan pengalaman nyata. Sedangkan pendapat Ibn al-Hakam dan Dzahiriyah lebih dekat pada kebiasaan.

Contoh yang ditampilakan oleh al-Qardlâwiy dan Abȗ Zahroh ini memperlihatkan bahwa bagi mereka boleh saja menggunakan mazhab diluar mazhab empat, termasuk mazhab Zâhiriyah. Pendapat ini berbeda dengan pendapat al-Juwaini atau yang dikenal dengan imam Haramain, yang berpendapat bahwa para penolak qiyas tidak dianggap sama sekali pendapatnya, baik dalam perbedaan atau kesepakatan. Pendapat al-Juwaini ini terlalu berlebihan dalam menolak mazhab Zahiriah. Dalam hemat penulis, boleh saja menerima pendapat Zâhiriyah dalam persoalan yang tidak jelas-jelas bertentangan dengan nalar sehat. Adapun yang terakhir ini, penulis cendrung sepakat dengan al-Juwainiy di atas. Diantara contoh yang terakhir ini adalah pendapat mereka bahwa membuang kotoran ke dalam air diperbolehkan berdasarkan argumen bahwa yang tertera di dalam hadis hanyalah larangan berkencing di dalam air. Demikian pula pandangan sebagian dari mereka bahwa persetujuan wanita perawan untuk dinikahkan yang diungkapkan secara terus terang dapat merusak akad dengan argument bahwa di dalam hadis izin wanita perawan adalah diamnya.

Walhashil, fatwa-fatwa Habib Abdullah bin Mahfud al-Haddad berpijak kepada prinsip moderat dan seimbang antara memudahkan dan kehati-hatian. Tidak tashil yang sampai tasahul dan tidak ihtiyath yang sampai tasydid. Akan tetapi prinsip al-taisir dan prinsip al-ihtiyath ini mendapat porsi yang seimbang dalam fatwa-fatwa beliau.

 

Fatwa–fatwa beliau juga terbangun di atas prinsip kesejalanan antara agama dan ilmu pengetahuan. Agama mendorong perkembangan ilmu pengetahun. Karena itu, ia juga mesti menjadi pertimbangan dan pijakan dalam merumuskan hukum-hukum agama.

Fatwa-fatwa beliau juga berpijak kepada mazhab-mazhab fiqih masa lampau. Tapi dalam waktu bersamaan beliau tidak jatuh ke dalam taassub mazhabi. Sehingga beliau tidak keberatan untuk meninggalkan pendapat dalam mazhab yang dianutnya dan mengikuti pendapat dalam mazhab lain yang dinggap memiliki dalil lebih kuat dan lebih mewujudkan tujuan syariat Islam.

 

Penulis adalah Koordinator Devisi Riset dan Bahtsul Masail HIMMAH MADURA

Diambil dari https://himmahmadura.id/metodologi-berfatwa-habib-abdullah-bin-mahfudh-al-haddad/

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar