Tampilkan postingan dengan label Cerita Sufi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Sufi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Mei 2018

Hikmah KOPI dan ROKOK

"KERAJAAN JIN DI OBRAK ABRIK OLEH WALI PAIDI"
"Setelah beberapa hari di Indonesia, Wali Paidi ini berencana melakukan suluk nyepi ke goa di Gunung Arjuna, sesuai perintah sang Sulthonul Aulia. Ia mulai berkemas, berangkat ke Gunung Arjuna. Ber pres-pres rokok sudah disiapkan, mulai Dji Sam Soe, Gudang Garam hingga Djarum. Tidak ketinggalan juga kopi satu blek (satu toples besi) dibawanya.
Setelah sampai di kaki Gunung Arjuna, Wali Paidi mulai mendaki, mencari goa yang dimaksud sang Sulthonul Aulia. Mulut goa itu ternyata sangat kecil dan tertutup ilalang. Namun dalamnya sangat luas.
Di pojok kiri ada sumber mata air. Sementara pojok kanannya ada batu yang menyerupai meja. Mungkin meja itu pernah dipakai untuk shalat oleh seseorang. Barang bawaan Wali Paidi diletakkan di sebelah batu itu, lalu bergegas menuju mata air, mandi dan berwudlu.
Ketika mandi, hati Wali Paidi ini tiba-tiba saja memiliki kecepatan berzikir. Pengetahuan ruhaninya pun kian bertambah mendadak. Hatinya berbunga-bunga tanpa dapat dicegah. Nur bashirahnya semakin terang benderang.
Setelah berwudlu, Wali Paidi mengerjakan shalat di atas batu yang mirip meja tadi. Saking nikmatnya, tanpa terasa Wali Paidi shalat ratusan rakaat hingga akhirnya tersadar ketika ia mendengar ayam berkokok, tanda memasuki Subuh.
Istirahat, Wali Paidi turun dari batu shalat. Ia menuju tempat perbekalannya, membuat kopi dan duduk santai sambil merokok. Panci sudah dikeluarkan, dan rokok Dji Sam Soe Reefil sudah disiapkan pula. Namun, ketika mau menyalakan sebatang rokok, Wali Paidi bingung. Koreknya tidak ada, raib. Ia keluarkan semua isi tas, tapi tetap saja tidak ditemukan.
''Wadoh, ciloko iki,'' gumamnya, tak ada orang.
Satu blek kopi yang aromanya harum menggoda bersama pres-presan rokok pelbagai merk, tergeletak di sampingnya.
''Muspro kabeh iki, kok bisa koreknya gak kebawa," Wali Paidi kesal.
Satu dua hari dilalui Wali Paidi tanpa kopi dan rokok. Namun pada hari ketiga, ia mulai tidak tahan. Hatinya semeblak (tergoda) ketika melihat kopi dan rokok terkulai tak berguna.
Cari korek, Wali Paidi mulai membaca banyak hizib. Setelah membaca isyfa' (berikanlah syafaat!) tiga kali, mengusapkan telapak tangan pada matanya, "byarr!", seluruh alam jin dan makhluk halus lainnya tampak sangat jelas dilihat.
Segerombolan jin di luar goa di sebelah kiri, kira-kira 10 meter dari mulut goa, terlihat sangat jelas oleh Wali Paidi. Ia mendatangi bangsa jin itu. Mereka takut melihat Wali Paidi datang.
''Ada yang punya korek api?''
''Kami tidak punya,'' jawab para jin.
Mendengar jawaban itu, Wali Paidi malah mengobrak-abrik tempat para jin tersebut. Mereka lari tunggang langgang, banyak yang terluka.
Karena belum juga menemukan korek api untuk rokoknya, Wali Paidi terus mendatangi banyak tempat para bangsa jin di sekitar goa. Kalau ditanya korek api dijawab "tidak punya", ia lansung memborbardir tempat bersemanyam mereka.
Seluruh desa dan kota dari kerajaan jin yang ada di kawasan Gunung Arjuna telah diobrak-abrik oleh Wali Paidi. Hampir semuanya. Gempar. Namanya terkenal dan menjadi sosok misterius yang menakutkan di kalangan bangsa jin.
Kabar kesaktian wali tak dikenal itu akhirnya sampai ke pusat kerajaan bangsa jin. Penasaran, raja jin mengundang Wali Paidi ke istana. Di pintu gerbang istana, Wali Paidi disambut dua prajurit yang memang diperintah raja menyambutnya, walau wajah mereka nampak ketakutan melihat Wali Paidi.
Di dalam istana, raja jin bernama Ismoyo sudah menunggu. Takdzim, Raja Ismoyo ini langsung turun dari singgasana menyambut Wali Paidi dan mempersilakannya duduk di sampingnya.
''Hamba dengar tuan wali telah membuat geger kerajaan hamba. Tuan telah mengobrak-abrik seluruh wilayah kerajaan tanpa ada yang sanggup melawan, apakah gerangan yang tuan cari sehingga tuan murka begini. Mungkin hamba bisa membantu,'' Raja Ismoyo sangat hati-hati menyusun kalimat. Ia ketakutan sekali.
"Aku mencari korek, apakah Anda punya?"
Seluruh prajurit tegang menunggu jawaban raja mereka. Pedang dan tombak sudah mereka pegang, hanya bersiap saja kalau-kalau ada hal tak diinginkan bakalan terjadi. Keringat bau khas kemenyan keluar dari pori para prajurit Raja Jin Ismoyo. Saking tegangnya, ada perajurit yang terkencing-kencing di celana. Hehehe. (Celana mereka Jeans semua kayaknya).
"Tuan wali, buat apakah korek tersebut kalau hamba boleh tahu?"
"Menyalakan ini dan membuat ini," jawab Wali Paidi sambil menunjukkan rokok dan kopinya.
"Hanya untuk itu?"
"Ya, hanya untuk ini".
Raja Ismoyo membatin: wali ini aneh, masak hanya gara-gara pingin ngerokok dan ngopi saja dia pakai menghacurkan kerajaanku, dasar wali semprul!
"Eeitt, namaku Paidi, bukan Semprul," sahut Wali Paidi.
"Ah, mohon maaf tuan, ternyata tuan bisa membaca isi hati hamba," Raja Ismoyo makin takut, gemes campur kagum dan penasaran.
"Trus gimana, sampeyan punya korek apa tidak?"
"Kalau hanya untuk menyalakan itu, pakai ini saja, tuan," Ismoyo menjulurkan jari telunjuknya yang tiba-tiba bisa mengeluarkan api.
"MasyaAllah, kalian kan memang terbuat dari api yah. Maaf, baru ingat saya. Hehehe," Wali Paidi malah cengengesan lagak tak bersalah telah hancurkan tempat-tempat keramat jin.
Wali Paidi mendekati raja Ismoyo, mengeluarkan sebatang rokok Dji Sam Soe Refill-nya dan mulai menghisap.
"Hu...Allah...Hu...Allah..," begitulah yang terdengar ketika Wali Paidi merokok.
Tak diperintah, Raja Ismoyo memanggil panglima, "buatkan kopi untuk tuan wali ini," titahnya. Ismoyo mengambil kopi dari Wali Paidi dan menyerahkan kepada the panglima.
"Jangan manis-manis, ya!" Wali Paidi masih saja menganggap dia sedang ngopi di warung Sutemi sana.
Gara-gara Wali Paidi, kerajaan jin Raja Ismoyo yang dulu terkenal angker dan ditakuti bangsa jin lainnya dan juga manusia, kini berubah bak warung kopi pinggiran jalan, ramainya mirip makam-makam para Sunan Walisongo di Jawa yang tiap hari didatangi ribuan peziarah.
"Sampeyan tidak merokok ya?"
"Tidak".
"Apakah sampeyan itu jin Muhammadiyyah?"
"Saya tidak mengerti maksud tuan," jawab Raja Ismoyo. Ya jelas tidak tahu lah. Muhammadiyah kan ormas sebelah, pimpinannya juga manusia, bukan jin. Lagi-lagi Wali Paidi memang paidi, masih merasa kalau di alam jin ada NU dan Muhammadiyah (yang mengharamkan rokok).
"Maaf, agama sampeyan apa?"
"Saya tidak beragama".
"Oh, begitu!"
Keduanya lalu terdiam agak lama, "maaf tuan, mantra apa yang tuan baca sehingga tuan tidak bisa dikalahkan oleh para prajurit saya," tanya raja Ismoyo menyela jeda keheningan obrolan.
"Hizib dan shalawat".
"Maukah tuan mengajarkan kepada saya?"
"Boleh-boleh, tapi sampeyan harus masuk Islam dulu," Wali Paidi memberi syarat.
Raja Ismoyo akhirnya memanggil panglima. Sang panglima diperintah mengumpulkan seluruh rakyat dan semua prajuritnya. Dalam sekejab, balai agung istana ramai, disesaki prajurit dan rakyat yang datang. Bahkan sampai meluber keluar istana.
Di kaki Wali Paidi, di hadapan prajurit dan rakyatnya, Raja Ismoyo bersimpuh.
"Kami dengan suka rela siap masuk Islam, mengikuti agama tuan".
"Baiklah, ikuti apa yang saya ucapkan," perintah Wali Paidi kepada ribuan jin yang akan jadi muallaf.
Dengan suara yang sangat berwibawa, Wali Paidi mengucapkan dua kalimat syahadat yang diikuti seluruh bangsa jin kerajaan Raja Ismoyo hingga suaranya menggema ke seluruh Gunung Arjuna, seperti dentuman suara koor lagu. Seluruh hewan di Gunung Arjuna pun berhenti sejenak mendengar ikrar syahadat itu. Tidak ada yang bersuara mendengarkan ucapan syarat awal jadi muslim tersebut.
Setelah itu, Wali Paidi mengajarkan kepada mereka tentang makna Islam dan menjabarkan arti iman secara singkat. Selama beberapa minggu, Wali Paidi harus tinggal di istana Raja Ismoyo untuk mengajari bangsa jin tentang tata-cara shalat, berdzikir dan lain sebagainya.
"Kami masih butuh pencerahan dari tuan, sudilah kiranya tuan tetap di sini beberapa hari lagi," pinta raja Ismoyo kepada Wali Paidi ketika ia berniat pamit.
"Jangan kuatir, kelak aku akan datang lagi kemari".
Wali Paidi tersenyum. mendekat, memegang dada Raja Ismoyo, "Ajaklah hatimu untuk dzikir terus menerus, ucapkan Allah...Allah...secara berkesinambungan. Dalam keadaan apapun, teruslah berdzikir dan berusahalah selalu dalam keadaan punya wudlu (dawamul wudlu). Andai Allah mencabut nyawamu, kamu dalam keadaan suci".
"Terima kasih tuan, pesan tuan akan kami laksanakan". Ismoyo sangat ta'dzim.
"Kalau hatimu sudah bisa berdzikir, maka Allah sendiri yang akan membimbingmu".
"Apakah kami akan menjadi wali kalau hati kami sudah bisa berdzikir sendiri".
"Hahahahaha. Jangan sekali-kali punya niat ingin jadi wali, karena keinginan itu termasuk nafsu. Berdzikirlah karena Allah. Jangan ada niatan yang lain!".
Setelah menghisap rokoknya, Wali Paidi berkata lagi, "Allah menjadikan manusia sebagai pemimpin dimuka bumi ini, dan mengangkat para walinya dari kalangan manusia".
"Oh begitu, kalau Allah menghendaki begitu, kami sangat ridla atas keputusan Allah tersebut," jawab Raja Ismoyo. Ia sadar posisi dan tawakkal atas kehendak Allah. Subhanallah.
"Kalau boleh tahu, tuan ini wali yang bagaimana?"
"Hmm, aku adalah wali Abdal, wali pengganti. Kalau istilah dalam sepak bola disebut pemain cadangan, wali tingkat rendah. Aku dulu hanya abdi ndalem seorang kiai. Tugasku hanya menyiapkan rokok dan kopi. Setelah kiai saya meninggal, akulah yang dipilih Allah sebagai gantinya," terang Wali Paidi.
"Kalau diganti terus, berarti jumlah wali itu tetap sama dari dulu sampai sekarang?"
"Iya, jumlah wali di seluruh dunia tetap sama, karena setiap ada yang meninggal, pasti ada gantinya. Biarpun kamu tidak ada hak untuk menjadi wali, harus tetap semangat. Di mata Allah, derajat seseorang itu dilihat dari ketaqwaannya. Wali itu hanya title yang diberikan Allah buat para wakil-wakilnya dimuka bumi (khalifah) guna untuk mengatur dan menata manusia. Dan wali dipilih dari para hamba yang dikehendaki-Nya. Bukan karena ibadahnya, bukan karena dzikirnya, tapi karena kehendak Allah. Jadi salah besar kalau ada orang yang ingin atau mempunyai cita-cita menjadi wali".
Pesan itu dianggap sangat bermanfaat oleh para bangsa jin yang baru masuk Islam tersebut. Wali Paidi pamit meninggalkan Gunung Arjuna, diiringi Raja Ismoyo dan seluruh rakyatnya.
Setelah Wali Paidi sudah tidak tampak, Raja Ismoyo memerintahkan dengan suara lantang kepada seluruh rakyatnya.
"Rakyatku semua, nanti atau kapanpun, jika ada orang yang ke Gunung Arjuna ini berbekal rokok dan kopi, jangan sampai diganggu. Jagalah sampai mereka meninggalkan Gunung Arjuna ini. Kita niatkan menghormati guru kita, Wali Paidi".
"Titah paduka siap laksanakan," jawab para jin. Di belakang, ada jin nakal yang ngelinthing rokok Dji Sam Soe sisa-sisa hisapan Wali Paidi. "Barokah nih rokoknya!" ujarnya.
Kemudian raja jin Ismoyo melihat prajurit nya ngopi sambil merokok, langsung ngomong, "Oooow Kake'ane tenan! Malah ndisiki rojomu kowe.. Semprol tenan.

Dahsyatnya sebuah hidayah

*SANG JENDERAL & AL-QUR'AN*
baca sampai habis.......


👍👍👍

Suatu sore, thn 1525 di sebuah Penjara di Spanyol, suasana di situ terasa hening mencengkam.

*Jendral Adolfo Roberto,* pemimpin penjara yg terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap sipir penjara membungkukkan badannya serendah mungkin ketika 'Algojo Penjara' itu berlalu di hadapan mereka.

Karena kalau tidak, sepatu 'Jungle' milik tuan Roberto itu akan mendarat di wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar suara seseorang membaca Ayat2 Suci Alqur'an yang amat ia benci.

_"Hai ... hentikan suara jelekmu ! Hentikan ...!!!"_ Teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi ?
Lelaki di kamar tahanan tadi tetap saja membaca & bersenandung dengan khusyu'nya

Roberto bertambah berang.

Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yg sempit.

Dgn congak ia meludahi wajah renta sang tahanan yg keriput hanya tinggal tulang.

Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dgn rokoknya yg menyala.

Sungguh ajaib ...! tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yg pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan kepada sang Algojo.

Bibir keringnya hanya berkata lirih, _"Robbi, wa-ana 'abduka ..."_

Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
_"Bersabarlah wahai ustadz ... Insya Allah tempatmu di Syurga."_

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.

Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.

_"Hai orang tua busuk...!!_
_Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu ?!_
_Aku tidak suka apapun yang berhubungan dengan agamamu....!!!"_

Sang Ustadz lalu berucap, _"Sungguh ... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, Allah SWT._

_Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-Nya._

_Maka patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk ?_

_Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk orang2 yg zhalim"._

Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya.
Laki-laki itu terhuyung-huyung.
Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah.

Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'Buku Kecil'.

Adolfo Roberto bermaksud memungutnya.

Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

_"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu !"_, bentak Roberto.

_"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini !"_, ucap sang ustadz dgn tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu.

Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.

Namun tidak demikian bagi Roberto.

Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus.

Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran.

Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh

Mendadak algojo itu termenung dan berkata dalam hatinya :
_"Ah ... sepertinya aku pernah mengenal buku ini._
_Tapi kapan ??_
_Ya, aku pernah mengenal buku ini."_ suara hati Roberto bertanya-tanya.

Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.

Jenderal berumur 30 tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu.

Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu.

Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang sakarat melepas nafas-nafas terakhirnya.

Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.

Mata Roberto rapat terpejam.

Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang di alaminya sewaktu masih kanak-kanak dulu.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.

Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.

Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia).

Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa.

Beribu-ribu jiwa kaum muslimin yg tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia.

Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi.

Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap.

Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua.

Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.

Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang Ummi (ibu) yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti abaya hitamnya.

Sang bocah berkata dengan suara parau,
_"Ummi.. ummi.. mari kita pulang. Hari sudah malam._
_Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa ....?_
_Ummi, cepat pulang ke rumah ummi ..."_

Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya.

Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa.

Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.

Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, _"Abi ... Abi ... Abi ..."_

Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

_"Hai ... siapa kamu?!"_ teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.

_"Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi ..."_ jawab sang bocah memohon belas kasih.

_"Hah ... siapa namamu bocah ??_
_Coba ulangi !!!"_
bentak salah seorang dari mereka

_"Saya Ahmad Izzah ..."_ sang bocah kembali menjawab dengan rasa takut.

Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.

_"Hai bocah ...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek._
_Aku benci namamu._
_Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus._
_Namamu sekarang 'Adolfo Roberto' ..._
_Awas !_
_Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu._
_Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!"_ ancam laki-laki itu.

Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata.

Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar dari lapangan Inkuisisi.

Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sadar dari renungannya yang panjang.

Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan.

Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz.

Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu.

Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, _"Abi... Abi ... Abi ..!!."_

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.

Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya.

Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya.

Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusarnya.

Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah.

Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini.

Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut,

_"Abi ... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa ..."_

Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.

Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya.

Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat orang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.

_"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu ..."_

Terdengar suara Roberto memelas.

Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya.
Air matanya pun turut berlinang.

Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini.

Sungguh tak masuk akal.

Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap.
_"Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy._
_Belajarlah engkau di negeri itu"._

Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Dua Kalimah Syahadat..!

Beliau pergi menemui Robbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.

*******

Beberapa tahun emudian.....

Ahmad Izzah telah menjadi seorang Ulama Besar di Mesir.

Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agama Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya.

Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru kepadanya ... *Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.*

Sang Ulama berpesan kepada Seluruh Umat Islam se dunia:
*Jangan engkau pilih Pemimpin yang menzhalimi para Ulama* dan *Jangan kau pilih pemimpin yang suka berdusta.*

Firman Allah swt :

_"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."_
(QS. 30:30)

*******

اللّهمّ صلّ علی سيّدنا محمَّدْ