RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PESANTREN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatanlilalamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi berdasarkan tradisi dan kekhasannya;
bahwa pengaturan mengenai pesantren belum optimal mengakomodasi perkembangan, aspirasi, dan kebutuhan hukum masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pesantren;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, Pasal 28E, Pasal 29, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PESANTREN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatanlilalamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.
Kitab Kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.
Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin adalah kumpulan kajian tentang ilmu agama Islam yang tersusun secara terstruktur, sistematis, dan terorganisasi.
Pendidikan Muadalah adalah pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin secara berjenjang dan terstruktur.
Pendidikan Diniyah Formal adalah pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
Ma’had Aly adalah pendidikan Pesantren jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kajian keislaman sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
Santri adalah peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di Pesantren.
Kiai, Tuan Guru, Anre Gurutta, Inyiak, Syekh, Ajengan, Buya, Nyai, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh Pesantren.
Dewan Masyayikh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pesantren yang bertugas untuk pelaksanaan sistem penjaminan mutu internal Pendidikan Pesantren.
Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpim pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonomi.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Penyelenggaraan Pesantren berasaskan:
Ketuhanan Yang Maha Esa;
kebangsaan;
kemandirian;
keberdayaan
kemaslahatan;
multikultural;
profesionalitas;
akuntabilitas;
keberlanjutan; dan
kepastian hukum
Pasal 3
Pesantren diselenggarakan dengan tujuan untuk:
membentuk individu yang unggul di berbagai bidang, yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong menolong, seimbang, dan moderat;
membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air, serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama; dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berdaya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara maupun kesejahteraan sosial masyarakat pada umumnya.
Pasal 4
Pesantren menyelenggarakan fungsi:
pendidikan;
dakwah; dan
pemberdayaan masyarakat.
BAB III
PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN PESANTREN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Pesantren terdiri atas:
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengajian Kitab Kuning; atau
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi unsur paling sedikit:
Kiai;
Santri yang mukim di Pesantren;
pondok atau asrama;
masjid atau musala; dan
kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Bagian Kedua
Pendirian
Pasal 6
Pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam dan/atau masyarakat.
Pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lilalamin, dan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika;
memenuhi unsur Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai domisili Pesantren; dan
mendaftarkan keberadaan Pesantren kepada Menteri.
Dalam hal pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpenuhi, Menteri memberikan izin terdaftar.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan
Pasal 8
Penyelenggaraan Pesantren wajib mengembangkan nilai Islam rahmatan lilalamin dan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika.
Penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menjaga kekhasan atau keunikan tertentu yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam dan karakter Pesantren.
Pasal 9
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Kiai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus:
berpendidikan Pesantren;
berpendidikan tinggi keagamaan Islam, dan/atau;
memiliki kompetensi ilmu agama Islam.
Kiai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pimpinan tertinggi Pesantren, yang mampu menjadi pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan Pesantren.
Dalam penyelenggaraaan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kiai dapat dibantu oleh:
a. pendidik dan tenaga kependidikan dengan kompetensi sesuai kebutuhan Pesantren; dan/atau
b. pengelola Pesantren.
Pengelola Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b bertujuan untuk membantu peran Kiai dalam fungsi administrasi pengelolaan Pesantren.
Pasal 10
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Santri yang mukim di Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menetap di dalam pondok atau asrama Pesantren.
Selain Santri yang mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pesantren dapat memiliki Santri lain yang tidak menetap di dalam pondok atau asrama Pesantren.
Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diarahkan untuk pendalaman dan peningkatan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin, pengamalan ibadah, pembentukan perilaku akhlak mulia, dan penguasaan bahasa.
Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dididik untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat, rendah hati, dan cinta tanah air berdasarkan ajaran Islam, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia serta berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Pondok atau asrama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c merupakan tempat tinggal Santri yang mukim selama masa proses pendidikan di Pesantren.
Pondok atau asrama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pasal 12
Dalam hal penyelenggaraan Pesantren, Masjid atau musala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus memperhatikan aspek daya tampung, kebersihan, dan kenyamanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi masjid atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dilaksanakan secara sistematis, terintegrasi, dan komprehensif.
Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan metode sorogan, bandongan, metode klasikal, terstruktur, berjenjang, dan/atau metode pembelajaran lain.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pesantren Dalam Fungsi Pendidikan
Paragraf 1
Umum
Pasal 15
Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pasal 16
Pesantren menyelenggarakan fungsi pendidikan berdasarkan kekhasan, tradisi, dan kurikulum pendidikan masing-masing Pesantren.
Fungsi pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk membentuk Santri yang unggul dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu menghadapi perkembangan zaman.
Pasal 17
Pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal.
Pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pendidikan Pesantren jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk:
satuan Pendidikan Muadalah ula atau Pendidikan Diniyah Formal ula; dan/atau
satuan Pendidikan Muadalah wustha atau Pendidikan Diniyah Formal wustha.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk satuan Pendidikan Muadalah ulya atau Pendidikan Diniyah Formal ulya.
Jenjang Pendidikan Muadalah dapat diselenggarakan dalam waktu 6 (enam) tahun atau lebih dengan menggabungkan penyelenggaraan satuan Pendidikan Muadalah wustha dan satuan Pendidikan Muadalah ulya secara berkesinambungan.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk Ma’had Aly.
Pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk pengajian Kitab Kuning.
Pasal 18
Kurikulum Pendidikan Muadalah terdiri atas kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan umum.
Kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh Pesantren dengan berbasis pada Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 19
Santri satuan Pendidikan Muadalah yang telah menyelesaikan pendidikan dinyatakan lulus melalui penilaian oleh pendidik dan satuan Pendidikan Muadalah.
Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
mendapatkan kesempatan kerja.
Pasal 20
Kurikulum Pendidikan Diniyah Formal terdiri atas kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan umum.
Penyusunan rumusan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berbasis Kitab Kuning dilakukan oleh Majelis Masyayikh.
Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 21
Santri satuan Pendidikan Diniyah Formal yang telah menyelesaikan pendidikan, dinyatakan lulus melalui penilaian oleh pendidik, satuan pendidikan formal, dan penilaian oleh Menteri.
Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
mendapatkan kesempatan kerja.
Pasal 22
Ma’had Aly menyelenggarakan pendidikan akademik pada program sarjana, magister, dan doktor.
Ma’had Aly mengembangkan rumpun ilmu agama Islam berbasis Kitab Kuning dengan pendalaman bidang ilmu keislaman tertentu.
Pendalaman bidang ilmu keislaman yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly yang dikembangkan berdasarkan tradisi akademik Pesantren dalam bentuk konsentrasi kajian.
Ma’had Aly dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) konsentrasi kajian pada 1 (satu) rumpun ilmu agama Islam.
Kurikulum Ma’had Aly wajib memasukkan materi muatan Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Ma’had Aly memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya, sebagaimana tertuang dalam statuta Ma’had Aly.
Santri Ma’had Aly yang telah menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak menggunakan gelar dan mendapatkan ijazah serta berhak melanjutkan pendidikan pada program yang lebih tinggi dan kesempatan kerja.
Pasal 23
Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal dapat diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal dapat mengeluarkan syahadah atau ijazah sebagai tanda kelulusan.
Lulusan pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal diakui sama dengan pendidikan formal pada jenjang tertentu setelah dinyatakan lulus ujian.
Lulusan pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal yang dinyatakan lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, baik yang sejenis maupun tidak sejenis dan/atau kesempatan kerja.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren
Pasal 25
Dalam menjaga mutu pendidikan, Pesantren menyusun kurikulum.
Pasal 26
Untuk menjamin mutu pendidikan Pesantren disusun sistem penjaminan mutu.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi:
melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan Pesantren;
mewujudkan pendidikan yang bermutu; dan
memajukan penyelenggaraan pendidikan Pesantren.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan pada aspek:
peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya Pesantren;
penguatan pengelolaan Pesantren; dan
peningkatan dukungan sarana dan prasarana Pesantren.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Majelis Masyayikh.
Rumusan penjaminan mutu yang disusun oleh Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf 3
Dewan Masyayikh
Pasal 27
Dalam rangka penjaminan mutu internal, Pesantren membentuk Dewan Masyayikh.
Dewan Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kiai.
Dewan Masyayikh memiliki tugas paling sedikit:
menyusun kurikulum pesantren;
melaksanakan kegiatan pembelajaran;
meningkatkan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
melaksanakan ujian untuk menentukan kelulusan Santri berdasarkan kriteria mutu yang telah ditetapkan; dan
menyampaikan data Santri yang lulus kepada Majelis Masyayikh.
Paragraf 4
Majelis Masyayikh
Pasal 28
Majelis Masyayikh merupakan perwakilan dari Dewan Masyayikh.
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
Majelis Masyayikh memiliki tugas:
menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren;
memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren;
merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren;
merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan
memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren.
Pasal 30
Hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 huruf e disampaikan kepada Menteri.
Berdasarkan hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:
pemetaan mutu;
perencanaan target pemenuhan mutu berdasarkan pemetaan mutu; dan
pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam rangka pencapaian target pemenuhan mutu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemetaan mutu, perencanaan target pemenuhan mutu dan pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam rangka pencapaian target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Menteri.
Pasal 31
Majelis Masyayikh menyusun susunan, organisasi dan tata kerja.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Majelis Masyayikh dibantu oleh sekretariat.
Pasal 32
Sumber pembiayaan Majelis Masyayikh dapat berasal dari bantuan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masyarakat, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Paragraf 5
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Pesantren
Pasal 33
Dalam penyelenggaraan pendidikan Pesantren, Kiai dalam fungsinya sebagai pendidik berperan menjaga kultur dan kekhasan Pesantren.
Kultur dan kekhasan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengembangan karakter dan nilai-nilai Islam rahmatan lilalamin, toleran, keseimbangan, dan moderat, yang berkomitmen pada kebangsaan, berlandaskan kepada Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 34
Pendidik pada pendidikan Pesantren jalur pendidikan formal harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional.
Kualifikasi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berpendidikan Pesantren dan/atau pendidikan tinggi.
Kompetensi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kompetensi ilmu agama Islam dan/atau kompetensi sesuai bidang yang diampu dan bertanggung jawab.
Penetapan sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 35
Tenaga kependidikan pada pendidikan Pesantren dapat berasal dari pendidik yang diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai kebutuhan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pesantren Dalam Fungsi Dakwah
Pasal 37
Pesantren dalam menyelenggarakan fungsi dakwah untuk mewujudkan Islam rahmatan lilalamin.
Pasal 38
Fungsi dakwah oleh Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi:
upaya mengajak masyarakat menuju jalan Allah SWT dengan cara yang baik dan menghindari kemunkaran;
mengajarkan pemahaman dan keteladanan pengamalan nilai keislaman yang rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
menyiapkan pendakwah Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 39
Pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dapat dilakukan oleh Kiai, Santri, dan/atau melalui lembaga dakwah yang dibentuk dan dikelola oleh Pesantren.
Pasal 40
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren harus:
menanamkan nilai ajaran agama dan menjaga moralitas umat;
memperhatikan tradisi dan kebudayaan masyarakat;
mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat;
menjaga kerukunan hidup umat beragama;
selaras dengan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air; dan
menjadikan umat Islam di Indonesia sebagai rujukan dunia dalam praktek keberagamaan yang moderat.
Pasal 41
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
pengajaran dan pembelajaran;
ceramah, kajian, dan diskusi;
media dan teknologi informasi;
seni dan budaya;
bimbingan dan konseling;
keteladanan;
pendampingan; dan/atau
pendekatan lain.
Pasal 42
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.
Bagian Keenam
Pesantren Dalam Fungsi Pemberdayaan Masyarakat
Pasal 43
Pesantren menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan Pesantren dan masyarakat.
Pasal 44
Dalam menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat, Pesantren melaksanakan aktivitas dalam rangka penyiapan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.
Pasal 45
Pemberdayaan masyarakat oleh Pesantren dilaksanakan dalam bentuk:
pelatihan dan praktik kerja lapangan;
penguatan potensi dan kapasitas ekonomi Pesantren dan masyarakat;
pendirian koperasi, lembaga keuangan, dan lembaga usaha mikro, kecil, dan menengah;
pendampingan dan bantuan pemasaran terhadap produk masyarakat;
pinjaman dan bantuan keuangan;
bimbingan manajemen keuangan, optimalisasi, dan kendali mutu;
kegiatan sosial kemasyarakatan;
pemanfaatan dan pengembangan teknologi industri; dan/atau
pengembangan program lainnya.
Pasal 46
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
bantuan keuangan;
bantuan sarana dan prasarana;
bantuan teknologi; dan/atau
pelatihan keterampilan.
Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI
Pasal 47
Menteri mengembangkan sistem informasi dan manajemen untuk mengelola data dan informasi Pesantren.
Sistem informasi dan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terpadu dengan pengelolaan data dan informasi oleh Menteri.
Data dan informasi hasil pengelolaan digunakan dalam rangka pengembangan Pesantren.
BAB V
PENDANAAN
Pasal 48
Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren berasal dari masyarakat.
Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelengaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sumber pendanaan Pesantren yang berasal dari hibah luar negeri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 49
Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan.
Ketentuan mengenai dana abadi Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VI
KERJA SAMA
Pasal 50
Dalam rangka meningkatkan peran dan mutu, Pesantren dapat melakukan kerja sama yang bersifat nasional dan/atau internasional.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
pertukaran peserta didik;
olimpiade;
sistem pendidikan;
kurikulum;
bantuan pendanaan;
pelatihan dan peningkatan kapasitas; dan/atau
bentuk kerja sama lainnya.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 51
Dalam rangka pengembangan penyelenggaraan Pesantren, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan Pesantren.
Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
memberikan bantuan program dan/atau pembiayaan kepada Pesantren;
memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pesantren;
mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan Pesantren;
mendorong pengembangan mutu dan standar Pesantren;
mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam masyarakat dan di sekitar lingkungan Pesantren; dan
memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren.
Partisipasi dapat dilakukan secara perorangan, kelompok, badan, dan/atau organisasi masyarakat.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pesantren disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 55
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ......NOMOR .......
PIMPINAN KOMISI VIII DPR RI
Ketua,
Dr. H.M. Ali Taher, SH, M.Hum
Wakil Ketua,
Dr. H. Tb. Ace Hasan Syadzily, M.Si
Wakil Ketua,
Dr. Ir. H.D. Sodik Mudjahid, M.Sc.
Wakil Ketua,
H. Marwan Dasopang, M.Si.
Wakil Ketua,
H. Iskan Qolba Lubis, MA.
PEMERINTAH,
Menteri Agama RI,
Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI,
………….
Menteri Dalam Negeri RI,
………….
Menteri Keuangan RI,
………….
Menteri Hukum dan HAM RI,
………….
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI,
………….
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI,
………….
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ......TAHUN ......
TENTANG
PESANTREN
UMUM
Indonesia sebagai Negara demokratis memberikan jaminan bagi setiap warga negara untukbebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, Pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatanlilalamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pesantren sebagai subkultur, memiliki kekhasan yang telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Pesantren merupakan lembaga yang berbasis dan didirikan oleh masyarakat lembaga yang berbasis masyarakat yang didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatanlilalamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan Pesantren pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan Pesantren juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Secara historis, keberadaan Pesantren menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan dan layanan umat lainnya.
Untuk menjamin penyelenggaraan Pesantren dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan pengakuan (rekognisi), afirmasi, dan fasilitasi kepada Pesantren berdasarkan kekhasannya. Sementara itu, pengaturan mengenai Pesantren belum mengakomodir perkembangan, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif.
Hal tersebut menyebabnya perlakukan hukum yang tidak sesuai dengan norma berdasarkan kekhasan dan kesenjangan sumber daya yang besar dalam pengembangan Pesantren. Sebagai bagian strategis dari kekayaan tradisi dan budaya bangsa Indonesia yang perlu dijaga kekhasannya, Pesantren perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan Pesantren yang dapat memberikan pengakuan (rekognisi) terhadap kekhasannya, sekaligus sebagai landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangannya.
Undang-Undang tentang Pesantren mengatur mengenai penyelenggaraan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Melalui undang-undang tentang Pesantren, penyelenggaraan pendidikan Pesantren diakui sebagai bagian dari penyelenggaran pendidikan nasional. Undang-undang tentang Pesantren memberikan landasan hukum bagi pengakuan (rekognisi) terhadap peran Pesantren dalam membentuk, mendirikan, membangun, dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, tradisi, nilai dan norma, varian dan aktivitas, profesionalisme Pendidik dan Tenaga Kependidikan, serta proses dan metodologi penjaminan mutu. Undang-undang tentang Pesantren juga menjadi landasan hukum afirmasi atas jaminan kesetingkatan mutu lulusan, kesetaraan akses bagi lulusan, dan independensi penyelenggaraan Pesantren, serta landasan hukum bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberian fasilitasi dalam rangka pengembangan Pesantren.
Pesantren didirikan dan diselenggarakan untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Varian dan model penyelengaraan Pesantren diakui sebagaimana fakta yang ada di masyarakat sesuai kekhasan masing-masing. Ketentuan mengenai penjaminan mutu serta pendidik dan tenaga kependidikan diatur secara khusus berdasarkan kekhasan tradisi akademik Pesantren. Dalam rangka penjaminan mutu, Pesantren membentuk Dewan Masyayikh dan Majelis Masyayikh yang diakui oleh pemerintah dan independen dalam pelaksanaan tugasnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan data dan informasi Pesantren yang disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kekhasan Pesantren, dimana pengelolaan data dan informasi dilaksanakan untuk pengembangan Pesantren.
Sebagai lembaga berbasis masyarakat, sumber pendanaan utama Pesantren adalah berasal dari masyarakat. Pemerintah membantu pendanaan penyelengaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang undangan. Pemerintah daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang undangan. Selain itu, sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren untuk memastikan ketersediaan dan ketercukupan anggaran dalam pengembangan Pesantren.
Undang-Undang tentang Pesantren juga mengatur kerja sama dan partisipasi masyarakat. Kerja sama dapat dilakukan oleh Pesantren dengan lembaga lainnya yang bersifat nasional dan/atau Internasional. Kerjasama tersebut antara lain dilakukan dalam bentuk pertukaran peserta didik, perlombaan, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan pendanaan, pelatihan dan peningkatan kapasitas, serta bentuk kerjasama lainnya, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka pengembangan Pesantren, masyarakat dapat berperan serta secara perorangan, kelompok, badan, dan/atau melalui organisasi kemasyarakatan. Adapun peran serta masyarakat dapat berupa pemberian bantuan program dan pembiayaan, memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mendukung kegiatan, mendorong pengembangan mutu dan standar, mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral, serta memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren.
Undang-Undang tentang Pesantren merupakan kesepakatan bersama dengan melibatkan pihak-pihak yang mewakili komunitas Pesantren, dimana masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik dan kekhasan Pesantren.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan sebagai bentuk penghayatan dan pengamalan terhadap keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “kebangsaan” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk memupuk jiwa cinta tanah air dan bela negara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kemandirian” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya Pesantren.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “keberdayaan” adalah bahwa bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk mengoptimalkan fungsi pendidikan, fungsi penyiaran agama, dan memberdayakan masyarakat agar lebih sejahtera.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “kemaslahatan” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk sebesar-besar pemanfaatan bagi pembentukan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang diridai oleh Allah SWT.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “multikultural” adalah bahwa dalam Pesantren terdapat keanekaragaman budaya yang harus dihormati.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip manajemen pendidikan dan pengelolaan organisasi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas” adalah bahwa pengelolaan Pesantren dilakukan secara bertanggungjawab.
Huruf i
Yang dimaksud dengan asas “keberlanjutan” adalah bahwa pengelolaan Pesantren tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah bahwa pengelolaan Pesantren berlandaskan atas peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Pesantren yang menyelenggarakan Pendidikan Pesantren dalam bentuk pengajian Kitab Kuning dapat dinamakan sebagai Pesantren salafiyah.
Huruf b
Pendidikan Pesantren dalam bentuk Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin merupakan pendidikan yang bersifat integratif memadukan ilmu agama Islam dan ilmu umum dan bersifat komprehensif dengan memadukan intra, ekstra dan kokurikuler.
Pesantren yang menyelenggarakan Pendidikan Pesantren dalam bentuk Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin dapat dinamakan sebagai Pesantren modern atau Pesantren muallimin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Nilai Islam rahmatan lilalamin dan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika dikembangkan sebagai jiwa Pesantren yang meliputi jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nasionalisme, jiwa keilmuan, jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa ukhuwah, jiwa kemandirian, jiwa kebebasan, dan jiwa keseimbangan.
Jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nasionalisme adalah jiwa yang merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang dikembangkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jiwa keilmuan adalah jiwa yang melandasi pada seluruh pemangku kepentingan dan civitas akademika Pesantren untuk menimba, mencari, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak henti. Bagi kalangan Pesantren, mencari ilmu pengetahuan merupakan keharusan yang dilakukan hingga meninggal dunia. Demikian juga dengan semangat untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat merupakan bagian dari ibadah sosial sebagai pengejewantahan itikad meraih ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Jiwa keikhlasan adalah jiwa yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah SWT. Jiwa keikhlasan termanifestasi dalam segala rangkaian sikap dan tindakan yang selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas Pesantren. Jiwa ini terbentuk oleh adanya suatu keyakinan bahwa perbuatan baik mesti dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang baik pula, bahkan mungkin sangat lebih baik.
Jiwa kesederhanaan adalah sederhana yang bukan berarti pasif tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terkandung jiwa yang besar, berani, maju terus dalam menghadapi perkembangan dinamika sosial. Kesederhanaan ini menjadi identitas Santri yang paling khas.
Jiwa ukhuwah adalah jiwa demokratis yang tergambar dalam situasi dialogis dan akrab antar komunitas Pesantren yang dipraktekkan sehari-hari. Disadari atau tidak, keadaan ini akan mewujudkan suasana damai, senasib sepenanggungan, yang sangat membantu dalam pembentukan dan membangun idealisme Santri. Perbedaan yang dibawa oleh Santri ketika masuk Pesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan yang dilandasi oleh spiritualitas Islam yang tinggi.
Jiwa kemandirian di sini bukanlah kemampuan dalam mengurusi persoalan-persoalan internal, tetapi kesanggupan membentuk kondisi Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan pamrih pihak lain. Pesantren harus mampu berdiri di atas kekuatannya sendiri.
Jiwa kebebasan adalah bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimistis menghadapi segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Kebebasan di sini juga berarti tidak terpengaruh atau tidak mau didikte oleh dunia luar.
Jiwa keseimbangan adalah jiwa yang pada Pesantren dimanifestasikan atas kesadaran yang mendasar atas fungsi manusia baik sebagai hamba Allah SWT maupun sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai hamba Allah SWT, manusia diwajibkan untuk beribadah dan menjalin hubungan-personal secara vertikal dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah-ibadah mahdlah dan fasilitasi ibadah lainnya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diwajibkan untuk menjalin komunikasi, kerjasama, dan hubungan sosial-horizontal antara sesama dan pemanfaatan alam semesta secara harmonis untuk kepentingan kemanusiaan secara luas.Kedua fungsi ini senantiasa mendasari dalam sikap dan perilaku keberagamaan, pola pikir, dan kegiatan sehari-hari secara seimbang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendidikan tinggi keagamaan Islam” adalah program studi bidang keagamaan Islam.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selain Santri mukim, Pesantren juga diperbolehkan untuk menerima Santri yang tidak mukim atau biasa dikenal dengan Santri kalong, namun keberadaan Santri yang tidak mukim tidak menjadi bagian dari unsur Pesantren.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pondok atau asrama” adalah tempat tinggal Santri selama masa proses pendidikan di Pesantren. Pondok atau asrama ini misalnya ruang yang ada di lingkungan Pesantren sebagai tempat tinggal Santri sebagaimana tradisi dan kondisi Pesantren tersebut dan tidak selalu berupa gedung atau bangunan khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “masjid atau musala” adalah ruang yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan pelaksanaan proses belajar-mengajar Santri, serta dapat digunakan untuk kegiatan masyarakat di sekitar Pesantren. Masjid atau musala dapat berupa ruang yang ada di lingkungan Pesantren sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan pelaksanaan proses belajar-mengajar Santri sebagaimana tradisi dan kondisi Pesantren tersebut dan tidak selalu berupa gedung atau bangunan khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Mualimin disusun dalam bentuk bahan kajian terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu.
Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin dilaksanakan secara terintegrasi dengan pola pengasuhan di .
Yang dimaksud dengan “komprehensif” adalah kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin mencakup keseluruhan aspek pengetahuan, wawasan, dan sikap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sorogan” adalah sistem belajar secara individual di mana seorang Santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Seorang Kiai menghadapi Santri satu persatu secara bergantian.
Yang dimaksud dengan “bandongan” adalah sistem belajar pengajian kitab yang dibaca dengan halaqah, di mana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh Kiai hanya satu, sedangkan para Santri membawa kitab yang sama, lalu Santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kiai.
Metode pembelajaran lain diantaranya metode bahtsul masail.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Penyelenggaraan pendidikan pendidikan formal dan/atau nonformal Pesantren diselenggarakan dalam bentuk kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Mualimin.
Dalam penyelenggaraan fungsi pendidikan, Pesantren dapat menyelenggarakan satuan/program pendidikan lainnya yang diintegrasikan dengan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Penilaian oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan yang bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik. Penilaian oleh satuan Pendidikan Muadalah dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran dan kompetensi lulusan peserta didik di setiap jenjang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Penilaian oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan yang bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik.
Penilaian oleh satuan Pendidikan Diniyah Formal dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran dan kompetensi lulusan peserta didik di setiap jenjang.
Penilaian oleh Menteri dilakukan dalam bentuk ujian akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Istilah program sarjana pada Ma’had Aly disebut marhalah ula (M-1).
Istilah program magister pada Ma’had Aly disebut marhalah tsaniyah (M-2).
Istilah program doktor pada Ma’had Aly disebut marhalah tsalisah (M-3).
Ayat (2)
Rumpun ilmu agama Islam yang dikembangkan oleh Ma’had Aly meliputi:
Al-Quran dan ilmu Al-Quran;
tafsir dan ilmu tafsir;
hadits dan ilmu hadits;
fiqh dan ushul fiqh;
akidah dan filsafat islam;
tasawuf dan tarekat;
ilmu falak;
sejarah dan peradaban islam; dan
bahasa dan sastra Arab.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Materi muatan Pancasila dan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk Santri yang memiliki pemahaman dan penghayatan mengenai Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia serta menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Materi muatan bahasa Indonesia diberikan dengan pertimbangan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ujian” adalah ujian untuk menilai kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tertentu berdasarkan kriteria yang yang ditetapkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Sistem penjaminan mutu pendidikan Pesantren terdiri dari sistem penjaminan mutu internal dan sistem penjaminan mutu eksternal. Dalam sistem tersebut mencakup penilaian lembaga pendidikan Pesantren berdasarkan kriteria mutu yang ditetapkan, rekognisi lulusan, rekognisi pendidik dan tenaga kependidikan sebagai tenaga profesional, rekognisi kesetaraan kualifikasi dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan pendidikan formal melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau, afirmasi dalam rangka melindungi kekhasan Pendidikan Pesantren, serta fasilitasi dalam rangka pengembangan Pendidikan Pesantren.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan oleh Menteri dimaksudkan sebagai pengakuan negara atas putusan Majelis Masyayikh sebagai aspek administratif.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kriteria mutu” adalah acuan mutu yang dikembangkan berdasarkan kekhasan Pendidikan Pesantren dan dapat berbentuk standar nasional pendidikan dan/atau bentuk lain sejenis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penetapan sebagai tenaga pendidik profesional dapat berbentuk pemberian sertifikat pendidik, pemberian nomor registrasi pendidik, atau bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “tenaga lain” adalah tenaga kependidikan yang diangkat dari anggota masyarakat untuk menunjang kegiatan pendidikan.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pendakwah Islam dapat juga disebut sebagai da’i atau mubaligh.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “melalui lembaga dakwah yang dibentuk oleh Pesantren” adalah dakwah yang dilakukan melalui pengorganisasian secara terstruktur dan terencana dalam bentuk lembaga dakwah yang diselenggarakan oleh Pesantren.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sumber lain yang sah antara lain hibah luar negeri, hibah dalam negeri, badan usaha, pembiayaan internal.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dana abadi Pesantren” adalah dana yang dialokasikan khusus untuk Pesantren.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...
PIMPINAN KOMISI VIII DPR RI
Ketua,
Dr. H.M. Ali Taher, SH, M.Hum
Wakil Ketua,
Dr. H. Tb. Ace Hasan Syadzily, M.Si
Wakil Ketua,
Dr. Ir. H.D. Sodik Mudjahid, M.Sc.
Wakil Ketua,
H. Marwan Dasopang, M.Si.
Wakil Ketua,
H. Iskan Qolba Lubis, MA.
PEMERINTAH,
Menteri Agama RI,
Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI,
………….
Menteri Dalam Negeri RI,
………….
Menteri Keuangan RI,
………….
Menteri Hukum dan HAM RI,
………….
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI,
………….
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI,
………….
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PESANTREN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatanlilalamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. bahwa untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi berdasarkan tradisi dan kekhasannya;
bahwa pengaturan mengenai pesantren belum optimal mengakomodasi perkembangan, aspirasi, dan kebutuhan hukum masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pesantren;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C, Pasal 28E, Pasal 29, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PESANTREN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pondok Pesantren, Dayah, Surau, Meunasah, atau sebutan lain, yang selanjutnya disebut Pesantren adalah lembaga yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatanlilalamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.
Kitab Kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di Pesantren.
Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin adalah kumpulan kajian tentang ilmu agama Islam yang tersusun secara terstruktur, sistematis, dan terorganisasi.
Pendidikan Muadalah adalah pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan Pesantren dengan berbasis Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin secara berjenjang dan terstruktur.
Pendidikan Diniyah Formal adalah pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
Ma’had Aly adalah pendidikan Pesantren jenjang pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan Pesantren dengan mengembangkan kajian keislaman sesuai dengan kekhasan Pesantren yang berbasis Kitab Kuning secara berjenjang dan terstruktur.
Santri adalah peserta didik yang menempuh pendidikan dan mendalami ilmu agama Islam di Pesantren.
Kiai, Tuan Guru, Anre Gurutta, Inyiak, Syekh, Ajengan, Buya, Nyai, atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Kiai adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama Islam yang berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh Pesantren.
Dewan Masyayikh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pesantren yang bertugas untuk pelaksanaan sistem penjaminan mutu internal Pendidikan Pesantren.
Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan independen sebagai perwakilan Dewan Masyayikh dalam merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu Pendidikan Pesantren.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpim pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonomi.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Penyelenggaraan Pesantren berasaskan:
Ketuhanan Yang Maha Esa;
kebangsaan;
kemandirian;
keberdayaan
kemaslahatan;
multikultural;
profesionalitas;
akuntabilitas;
keberlanjutan; dan
kepastian hukum
Pasal 3
Pesantren diselenggarakan dengan tujuan untuk:
membentuk individu yang unggul di berbagai bidang, yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong menolong, seimbang, dan moderat;
membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air, serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama; dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berdaya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara maupun kesejahteraan sosial masyarakat pada umumnya.
Pasal 4
Pesantren menyelenggarakan fungsi:
pendidikan;
dakwah; dan
pemberdayaan masyarakat.
BAB III
PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN PESANTREN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Pesantren terdiri atas:
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pengajian Kitab Kuning; atau
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi unsur paling sedikit:
Kiai;
Santri yang mukim di Pesantren;
pondok atau asrama;
masjid atau musala; dan
kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Bagian Kedua
Pendirian
Pasal 6
Pesantren didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam dan/atau masyarakat.
Pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
berkomitmen mengamalkan nilai Islam rahmatan lilalamin, dan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika;
memenuhi unsur Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
memberitahukan keberadaannya kepada kepala desa atau sebutan lain sesuai domisili Pesantren; dan
mendaftarkan keberadaan Pesantren kepada Menteri.
Dalam hal pendirian Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpenuhi, Menteri memberikan izin terdaftar.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan
Pasal 8
Penyelenggaraan Pesantren wajib mengembangkan nilai Islam rahmatan lilalamin dan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika.
Penyelenggaraan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tetap menjaga kekhasan atau keunikan tertentu yang mencerminkan tradisi, kehendak dan cita-cita, serta ragam dan karakter Pesantren.
Pasal 9
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Kiai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus:
berpendidikan Pesantren;
berpendidikan tinggi keagamaan Islam, dan/atau;
memiliki kompetensi ilmu agama Islam.
Kiai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pimpinan tertinggi Pesantren, yang mampu menjadi pengasuh, figur, dan teladan dalam penyelenggaraan Pesantren.
Dalam penyelenggaraaan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kiai dapat dibantu oleh:
a. pendidik dan tenaga kependidikan dengan kompetensi sesuai kebutuhan Pesantren; dan/atau
b. pengelola Pesantren.
Pengelola Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b bertujuan untuk membantu peran Kiai dalam fungsi administrasi pengelolaan Pesantren.
Pasal 10
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Santri yang mukim di Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menetap di dalam pondok atau asrama Pesantren.
Selain Santri yang mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pesantren dapat memiliki Santri lain yang tidak menetap di dalam pondok atau asrama Pesantren.
Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diarahkan untuk pendalaman dan peningkatan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin, pengamalan ibadah, pembentukan perilaku akhlak mulia, dan penguasaan bahasa.
Santri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dididik untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia, memegang teguh toleransi, keseimbangan, moderat, rendah hati, dan cinta tanah air berdasarkan ajaran Islam, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia serta berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 11
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Pondok atau asrama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c merupakan tempat tinggal Santri yang mukim selama masa proses pendidikan di Pesantren.
Pondok atau asrama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memperhatikan aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi pondok atau asrama Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pasal 12
Dalam hal penyelenggaraan Pesantren, Masjid atau musala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d harus memperhatikan aspek daya tampung, kebersihan, dan kenyamanan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memfasilitasi masjid atau musala Pesantren untuk memenuhi aspek daya tampung, kenyamanan, kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Pasal 13
Dalam penyelenggaraan Pesantren, Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dilaksanakan secara sistematis, terintegrasi, dan komprehensif.
Kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan metode sorogan, bandongan, metode klasikal, terstruktur, berjenjang, dan/atau metode pembelajaran lain.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pesantren Dalam Fungsi Pendidikan
Paragraf 1
Umum
Pasal 15
Pesantren melaksanakan fungsi pendidikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pasal 16
Pesantren menyelenggarakan fungsi pendidikan berdasarkan kekhasan, tradisi, dan kurikulum pendidikan masing-masing Pesantren.
Fungsi pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk membentuk Santri yang unggul dalam mengisi kemerdekaan Indonesia dan mampu menghadapi perkembangan zaman.
Pasal 17
Pesantren menyelenggarakan pendidikan formal dan/atau nonformal.
Pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pendidikan Pesantren jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk:
satuan Pendidikan Muadalah ula atau Pendidikan Diniyah Formal ula; dan/atau
satuan Pendidikan Muadalah wustha atau Pendidikan Diniyah Formal wustha.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk satuan Pendidikan Muadalah ulya atau Pendidikan Diniyah Formal ulya.
Jenjang Pendidikan Muadalah dapat diselenggarakan dalam waktu 6 (enam) tahun atau lebih dengan menggabungkan penyelenggaraan satuan Pendidikan Muadalah wustha dan satuan Pendidikan Muadalah ulya secara berkesinambungan.
Pendidikan Pesantren yang diselenggarakan pada jalur pendidikan formal jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk Ma’had Aly.
Pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk pengajian Kitab Kuning.
Pasal 18
Kurikulum Pendidikan Muadalah terdiri atas kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan umum.
Kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan oleh Pesantren dengan berbasis pada Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 19
Santri satuan Pendidikan Muadalah yang telah menyelesaikan pendidikan dinyatakan lulus melalui penilaian oleh pendidik dan satuan Pendidikan Muadalah.
Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
mendapatkan kesempatan kerja.
Pasal 20
Kurikulum Pendidikan Diniyah Formal terdiri atas kurikulum Pesantren dan kurikulum pendidikan umum.
Penyusunan rumusan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berbasis Kitab Kuning dilakukan oleh Majelis Masyayikh.
Kurikulum pendidikan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 21
Santri satuan Pendidikan Diniyah Formal yang telah menyelesaikan pendidikan, dinyatakan lulus melalui penilaian oleh pendidik, satuan pendidikan formal, dan penilaian oleh Menteri.
Santri yang dinyatakan lulus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak:
melanjutkan ke jenjang dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, baik yang sejenis maupun tidak sejenis; dan/atau
mendapatkan kesempatan kerja.
Pasal 22
Ma’had Aly menyelenggarakan pendidikan akademik pada program sarjana, magister, dan doktor.
Ma’had Aly mengembangkan rumpun ilmu agama Islam berbasis Kitab Kuning dengan pendalaman bidang ilmu keislaman tertentu.
Pendalaman bidang ilmu keislaman yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly yang dikembangkan berdasarkan tradisi akademik Pesantren dalam bentuk konsentrasi kajian.
Ma’had Aly dapat menyelenggarakan lebih dari 1 (satu) konsentrasi kajian pada 1 (satu) rumpun ilmu agama Islam.
Kurikulum Ma’had Aly wajib memasukkan materi muatan Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.
Ma’had Aly memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya, sebagaimana tertuang dalam statuta Ma’had Aly.
Santri Ma’had Aly yang telah menyelesaikan proses pembelajaran dan dinyatakan lulus berhak menggunakan gelar dan mendapatkan ijazah serta berhak melanjutkan pendidikan pada program yang lebih tinggi dan kesempatan kerja.
Pasal 23
Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal dapat diselenggarakan secara berjenjang atau tidak berjenjang.
Pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal dapat mengeluarkan syahadah atau ijazah sebagai tanda kelulusan.
Lulusan pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal diakui sama dengan pendidikan formal pada jenjang tertentu setelah dinyatakan lulus ujian.
Lulusan pendidikan Pesantren jalur pendidikan nonformal yang dinyatakan lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi, baik yang sejenis maupun tidak sejenis dan/atau kesempatan kerja.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan Pesantren diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren
Pasal 25
Dalam menjaga mutu pendidikan, Pesantren menyusun kurikulum.
Pasal 26
Untuk menjamin mutu pendidikan Pesantren disusun sistem penjaminan mutu.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi:
melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan Pesantren;
mewujudkan pendidikan yang bermutu; dan
memajukan penyelenggaraan pendidikan Pesantren.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan pada aspek:
peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya Pesantren;
penguatan pengelolaan Pesantren; dan
peningkatan dukungan sarana dan prasarana Pesantren.
Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Majelis Masyayikh.
Rumusan penjaminan mutu yang disusun oleh Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.
Paragraf 3
Dewan Masyayikh
Pasal 27
Dalam rangka penjaminan mutu internal, Pesantren membentuk Dewan Masyayikh.
Dewan Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kiai.
Dewan Masyayikh memiliki tugas paling sedikit:
menyusun kurikulum pesantren;
melaksanakan kegiatan pembelajaran;
meningkatkan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
melaksanakan ujian untuk menentukan kelulusan Santri berdasarkan kriteria mutu yang telah ditetapkan; dan
menyampaikan data Santri yang lulus kepada Majelis Masyayikh.
Paragraf 4
Majelis Masyayikh
Pasal 28
Majelis Masyayikh merupakan perwakilan dari Dewan Masyayikh.
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Majelis Masyayikh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
Majelis Masyayikh memiliki tugas:
menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren;
memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren;
merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren;
merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan
memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah Santri yang dikeluarkan oleh Pesantren.
Pasal 30
Hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 huruf e disampaikan kepada Menteri.
Berdasarkan hasil penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan:
pemetaan mutu;
perencanaan target pemenuhan mutu berdasarkan pemetaan mutu; dan
pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam rangka pencapaian target pemenuhan mutu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemetaan mutu, perencanaan target pemenuhan mutu dan pemberian fasilitasi dan afirmasi dalam rangka pencapaian target pemenuhan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan melalui Peraturan Menteri.
Pasal 31
Majelis Masyayikh menyusun susunan, organisasi dan tata kerja.
Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Majelis Masyayikh dibantu oleh sekretariat.
Pasal 32
Sumber pembiayaan Majelis Masyayikh dapat berasal dari bantuan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masyarakat, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Paragraf 5
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Pesantren
Pasal 33
Dalam penyelenggaraan pendidikan Pesantren, Kiai dalam fungsinya sebagai pendidik berperan menjaga kultur dan kekhasan Pesantren.
Kultur dan kekhasan Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengembangan karakter dan nilai-nilai Islam rahmatan lilalamin, toleran, keseimbangan, dan moderat, yang berkomitmen pada kebangsaan, berlandaskan kepada Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 34
Pendidik pada pendidikan Pesantren jalur pendidikan formal harus memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik profesional.
Kualifikasi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berpendidikan Pesantren dan/atau pendidikan tinggi.
Kompetensi sebagai pendidik profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kompetensi ilmu agama Islam dan/atau kompetensi sesuai bidang yang diampu dan bertanggung jawab.
Penetapan sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 35
Tenaga kependidikan pada pendidikan Pesantren dapat berasal dari pendidik yang diberikan tugas tambahan dan tenaga lain sesuai kebutuhan.
Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pesantren Dalam Fungsi Dakwah
Pasal 37
Pesantren dalam menyelenggarakan fungsi dakwah untuk mewujudkan Islam rahmatan lilalamin.
Pasal 38
Fungsi dakwah oleh Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 meliputi:
upaya mengajak masyarakat menuju jalan Allah SWT dengan cara yang baik dan menghindari kemunkaran;
mengajarkan pemahaman dan keteladanan pengamalan nilai keislaman yang rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
menyiapkan pendakwah Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 39
Pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dapat dilakukan oleh Kiai, Santri, dan/atau melalui lembaga dakwah yang dibentuk dan dikelola oleh Pesantren.
Pasal 40
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren harus:
menanamkan nilai ajaran agama dan menjaga moralitas umat;
memperhatikan tradisi dan kebudayaan masyarakat;
mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat;
menjaga kerukunan hidup umat beragama;
selaras dengan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air; dan
menjadikan umat Islam di Indonesia sebagai rujukan dunia dalam praktek keberagamaan yang moderat.
Pasal 41
Dakwah yang dilaksanakan oleh Pesantren dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
pengajaran dan pembelajaran;
ceramah, kajian, dan diskusi;
media dan teknologi informasi;
seni dan budaya;
bimbingan dan konseling;
keteladanan;
pendampingan; dan/atau
pendekatan lain.
Pasal 42
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan pelaksanaan fungsi dakwah Pesantren dalam bentuk kerja sama program, fasilitasi kebijakan, dan pendanaan.
Bagian Keenam
Pesantren Dalam Fungsi Pemberdayaan Masyarakat
Pasal 43
Pesantren menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan Pesantren dan masyarakat.
Pasal 44
Dalam menyelenggarakan fungsi pemberdayaan masyarakat, Pesantren melaksanakan aktivitas dalam rangka penyiapan sumber daya manusia yang mandiri dan memiliki keterampilan agar dapat berperan aktif dalam pembangunan.
Pasal 45
Pemberdayaan masyarakat oleh Pesantren dilaksanakan dalam bentuk:
pelatihan dan praktik kerja lapangan;
penguatan potensi dan kapasitas ekonomi Pesantren dan masyarakat;
pendirian koperasi, lembaga keuangan, dan lembaga usaha mikro, kecil, dan menengah;
pendampingan dan bantuan pemasaran terhadap produk masyarakat;
pinjaman dan bantuan keuangan;
bimbingan manajemen keuangan, optimalisasi, dan kendali mutu;
kegiatan sosial kemasyarakatan;
pemanfaatan dan pengembangan teknologi industri; dan/atau
pengembangan program lainnya.
Pasal 46
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan dukungan dan fasilitasi ke Pesantren dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Dukungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
bantuan keuangan;
bantuan sarana dan prasarana;
bantuan teknologi; dan/atau
pelatihan keterampilan.
Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI
Pasal 47
Menteri mengembangkan sistem informasi dan manajemen untuk mengelola data dan informasi Pesantren.
Sistem informasi dan manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terpadu dengan pengelolaan data dan informasi oleh Menteri.
Data dan informasi hasil pengelolaan digunakan dalam rangka pengembangan Pesantren.
BAB V
PENDANAAN
Pasal 48
Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren berasal dari masyarakat.
Pemerintah Pusat membantu pendanaan penyelengaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sumber pendanaan Pesantren yang berasal dari hibah luar negeri diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Pasal 49
Pemerintah menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren yang bersumber dan merupakan bagian dari dana abadi pendidikan.
Ketentuan mengenai dana abadi Pesantren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VI
KERJA SAMA
Pasal 50
Dalam rangka meningkatkan peran dan mutu, Pesantren dapat melakukan kerja sama yang bersifat nasional dan/atau internasional.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
pertukaran peserta didik;
olimpiade;
sistem pendidikan;
kurikulum;
bantuan pendanaan;
pelatihan dan peningkatan kapasitas; dan/atau
bentuk kerja sama lainnya.
Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 51
Dalam rangka pengembangan penyelenggaraan Pesantren, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan Pesantren.
Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
memberikan bantuan program dan/atau pembiayaan kepada Pesantren;
memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pesantren;
mendukung setiap kegiatan yang dilaksanakan Pesantren;
mendorong pengembangan mutu dan standar Pesantren;
mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral di dalam masyarakat dan di sekitar lingkungan Pesantren; dan
memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren.
Partisipasi dapat dilakukan secara perorangan, kelompok, badan, dan/atau organisasi masyarakat.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan Pesantren dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 53
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pesantren disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 55
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ......NOMOR .......
PIMPINAN KOMISI VIII DPR RI
Ketua,
Dr. H.M. Ali Taher, SH, M.Hum
Wakil Ketua,
Dr. H. Tb. Ace Hasan Syadzily, M.Si
Wakil Ketua,
Dr. Ir. H.D. Sodik Mudjahid, M.Sc.
Wakil Ketua,
H. Marwan Dasopang, M.Si.
Wakil Ketua,
H. Iskan Qolba Lubis, MA.
PEMERINTAH,
Menteri Agama RI,
Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI,
………….
Menteri Dalam Negeri RI,
………….
Menteri Keuangan RI,
………….
Menteri Hukum dan HAM RI,
………….
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI,
………….
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI,
………….
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ......TAHUN ......
TENTANG
PESANTREN
UMUM
Indonesia sebagai Negara demokratis memberikan jaminan bagi setiap warga negara untukbebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia, Pesantren yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kekhasannya telah berkontribusi penting dalam mewujudkan Islam yang rahmatanlilalamin dengan melahirkan insan beriman yang berkarakter, cinta tanah air dan berkemajuan, serta terbukti memiliki peran nyata baik dalam pergerakan dan perjuangan meraih kemerdekaan maupun pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pesantren sebagai subkultur, memiliki kekhasan yang telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Pesantren merupakan lembaga yang berbasis dan didirikan oleh masyarakat lembaga yang berbasis masyarakat yang didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menyemaikan akhlak mulia serta memegang teguh ajaran Islam rahmatanlilalamin yang tercermin dari sikap rendah hati, toleran, keseimbangan, moderat, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia lainnya melalui pendidikan, dakwah Islam, keteladanan, dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendidikan Pesantren pada umumnya diselenggarakan oleh masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pendidikan yang diselenggarakan oleh Pesantren sudah lebih dulu berkembang. Selain menjadi akar budaya bangsa, agama disadari merupakan bagian tak terpisahkan dalam pendidikan. Pendidikan Pesantren juga berkembang akibat mata pelajaran/kuliah pendidikan agama yang dinilai menghadapi berbagai keterbatasan. Secara historis, keberadaan Pesantren menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan dan layanan umat lainnya.
Untuk menjamin penyelenggaraan Pesantren dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat, diperlukan pengaturan untuk memberikan pengakuan (rekognisi), afirmasi, dan fasilitasi kepada Pesantren berdasarkan kekhasannya. Sementara itu, pengaturan mengenai Pesantren belum mengakomodir perkembangan, aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, serta belum menempatkan pengaturan hukumnya dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan komprehensif.
Hal tersebut menyebabnya perlakukan hukum yang tidak sesuai dengan norma berdasarkan kekhasan dan kesenjangan sumber daya yang besar dalam pengembangan Pesantren. Sebagai bagian strategis dari kekayaan tradisi dan budaya bangsa Indonesia yang perlu dijaga kekhasannya, Pesantren perlu diberi kesempatan untuk berkembang, dibina dan ditingkatkan mutunya oleh semua komponen bangsa, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan Pesantren yang dapat memberikan pengakuan (rekognisi) terhadap kekhasannya, sekaligus sebagai landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangannya.
Undang-Undang tentang Pesantren mengatur mengenai penyelenggaraan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Melalui undang-undang tentang Pesantren, penyelenggaraan pendidikan Pesantren diakui sebagai bagian dari penyelenggaran pendidikan nasional. Undang-undang tentang Pesantren memberikan landasan hukum bagi pengakuan (rekognisi) terhadap peran Pesantren dalam membentuk, mendirikan, membangun, dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia, tradisi, nilai dan norma, varian dan aktivitas, profesionalisme Pendidik dan Tenaga Kependidikan, serta proses dan metodologi penjaminan mutu. Undang-undang tentang Pesantren juga menjadi landasan hukum afirmasi atas jaminan kesetingkatan mutu lulusan, kesetaraan akses bagi lulusan, dan independensi penyelenggaraan Pesantren, serta landasan hukum bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberian fasilitasi dalam rangka pengembangan Pesantren.
Pesantren didirikan dan diselenggarakan untuk menyelenggarakan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Varian dan model penyelengaraan Pesantren diakui sebagaimana fakta yang ada di masyarakat sesuai kekhasan masing-masing. Ketentuan mengenai penjaminan mutu serta pendidik dan tenaga kependidikan diatur secara khusus berdasarkan kekhasan tradisi akademik Pesantren. Dalam rangka penjaminan mutu, Pesantren membentuk Dewan Masyayikh dan Majelis Masyayikh yang diakui oleh pemerintah dan independen dalam pelaksanaan tugasnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan data dan informasi Pesantren yang disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kekhasan Pesantren, dimana pengelolaan data dan informasi dilaksanakan untuk pengembangan Pesantren.
Sebagai lembaga berbasis masyarakat, sumber pendanaan utama Pesantren adalah berasal dari masyarakat. Pemerintah membantu pendanaan penyelengaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai kemampuan keuangan negara dan ketentuan peraturan perundang undangan. Pemerintah daerah membantu pendanaan penyelenggaraan Pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang undangan. Selain itu, sumber pendanaan penyelenggaraan Pesantren dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Pusat menyediakan dan mengelola dana abadi Pesantren untuk memastikan ketersediaan dan ketercukupan anggaran dalam pengembangan Pesantren.
Undang-Undang tentang Pesantren juga mengatur kerja sama dan partisipasi masyarakat. Kerja sama dapat dilakukan oleh Pesantren dengan lembaga lainnya yang bersifat nasional dan/atau Internasional. Kerjasama tersebut antara lain dilakukan dalam bentuk pertukaran peserta didik, perlombaan, sistem pendidikan, kurikulum, bantuan pendanaan, pelatihan dan peningkatan kapasitas, serta bentuk kerjasama lainnya, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka pengembangan Pesantren, masyarakat dapat berperan serta secara perorangan, kelompok, badan, dan/atau melalui organisasi kemasyarakatan. Adapun peran serta masyarakat dapat berupa pemberian bantuan program dan pembiayaan, memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mendukung kegiatan, mendorong pengembangan mutu dan standar, mendorong terbentuknya wahana pendidikan karakter dan pembinaan moral, serta memperkuat kemandirian dan kemampuan ekonomi Pesantren.
Undang-Undang tentang Pesantren merupakan kesepakatan bersama dengan melibatkan pihak-pihak yang mewakili komunitas Pesantren, dimana masing-masing telah memvalidasi rumusan norma hukum secara optimal sesuai karakteristik dan kekhasan Pesantren.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan sebagai bentuk penghayatan dan pengamalan terhadap keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “kebangsaan” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk memupuk jiwa cinta tanah air dan bela negara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kemandirian” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilakukan dengan mengoptimalkan sumber daya Pesantren.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “keberdayaan” adalah bahwa bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk mengoptimalkan fungsi pendidikan, fungsi penyiaran agama, dan memberdayakan masyarakat agar lebih sejahtera.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “kemaslahatan” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan untuk sebesar-besar pemanfaatan bagi pembentukan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, yang diridai oleh Allah SWT.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “multikultural” adalah bahwa dalam Pesantren terdapat keanekaragaman budaya yang harus dihormati.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan Pesantren dilaksanakan dengan mengikuti prinsip-prinsip manajemen pendidikan dan pengelolaan organisasi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas” adalah bahwa pengelolaan Pesantren dilakukan secara bertanggungjawab.
Huruf i
Yang dimaksud dengan asas “keberlanjutan” adalah bahwa pengelolaan Pesantren tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Huruf j
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah bahwa pengelolaan Pesantren berlandaskan atas peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Pesantren yang menyelenggarakan Pendidikan Pesantren dalam bentuk pengajian Kitab Kuning dapat dinamakan sebagai Pesantren salafiyah.
Huruf b
Pendidikan Pesantren dalam bentuk Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin merupakan pendidikan yang bersifat integratif memadukan ilmu agama Islam dan ilmu umum dan bersifat komprehensif dengan memadukan intra, ekstra dan kokurikuler.
Pesantren yang menyelenggarakan Pendidikan Pesantren dalam bentuk Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin dapat dinamakan sebagai Pesantren modern atau Pesantren muallimin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Nilai Islam rahmatan lilalamin dan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika dikembangkan sebagai jiwa Pesantren yang meliputi jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nasionalisme, jiwa keilmuan, jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa ukhuwah, jiwa kemandirian, jiwa kebebasan, dan jiwa keseimbangan.
Jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nasionalisme adalah jiwa yang merupakan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang dikembangkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jiwa keilmuan adalah jiwa yang melandasi pada seluruh pemangku kepentingan dan civitas akademika Pesantren untuk menimba, mencari, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak henti. Bagi kalangan Pesantren, mencari ilmu pengetahuan merupakan keharusan yang dilakukan hingga meninggal dunia. Demikian juga dengan semangat untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat merupakan bagian dari ibadah sosial sebagai pengejewantahan itikad meraih ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Jiwa keikhlasan adalah jiwa yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah SWT. Jiwa keikhlasan termanifestasi dalam segala rangkaian sikap dan tindakan yang selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas Pesantren. Jiwa ini terbentuk oleh adanya suatu keyakinan bahwa perbuatan baik mesti dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang baik pula, bahkan mungkin sangat lebih baik.
Jiwa kesederhanaan adalah sederhana yang bukan berarti pasif tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terkandung jiwa yang besar, berani, maju terus dalam menghadapi perkembangan dinamika sosial. Kesederhanaan ini menjadi identitas Santri yang paling khas.
Jiwa ukhuwah adalah jiwa demokratis yang tergambar dalam situasi dialogis dan akrab antar komunitas Pesantren yang dipraktekkan sehari-hari. Disadari atau tidak, keadaan ini akan mewujudkan suasana damai, senasib sepenanggungan, yang sangat membantu dalam pembentukan dan membangun idealisme Santri. Perbedaan yang dibawa oleh Santri ketika masuk Pesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan yang dilandasi oleh spiritualitas Islam yang tinggi.
Jiwa kemandirian di sini bukanlah kemampuan dalam mengurusi persoalan-persoalan internal, tetapi kesanggupan membentuk kondisi Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan pamrih pihak lain. Pesantren harus mampu berdiri di atas kekuatannya sendiri.
Jiwa kebebasan adalah bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimistis menghadapi segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Kebebasan di sini juga berarti tidak terpengaruh atau tidak mau didikte oleh dunia luar.
Jiwa keseimbangan adalah jiwa yang pada Pesantren dimanifestasikan atas kesadaran yang mendasar atas fungsi manusia baik sebagai hamba Allah SWT maupun sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai hamba Allah SWT, manusia diwajibkan untuk beribadah dan menjalin hubungan-personal secara vertikal dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah-ibadah mahdlah dan fasilitasi ibadah lainnya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia diwajibkan untuk menjalin komunikasi, kerjasama, dan hubungan sosial-horizontal antara sesama dan pemanfaatan alam semesta secara harmonis untuk kepentingan kemanusiaan secara luas.Kedua fungsi ini senantiasa mendasari dalam sikap dan perilaku keberagamaan, pola pikir, dan kegiatan sehari-hari secara seimbang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendidikan tinggi keagamaan Islam” adalah program studi bidang keagamaan Islam.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selain Santri mukim, Pesantren juga diperbolehkan untuk menerima Santri yang tidak mukim atau biasa dikenal dengan Santri kalong, namun keberadaan Santri yang tidak mukim tidak menjadi bagian dari unsur Pesantren.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pondok atau asrama” adalah tempat tinggal Santri selama masa proses pendidikan di Pesantren. Pondok atau asrama ini misalnya ruang yang ada di lingkungan Pesantren sebagai tempat tinggal Santri sebagaimana tradisi dan kondisi Pesantren tersebut dan tidak selalu berupa gedung atau bangunan khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “masjid atau musala” adalah ruang yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan pelaksanaan proses belajar-mengajar Santri, serta dapat digunakan untuk kegiatan masyarakat di sekitar Pesantren. Masjid atau musala dapat berupa ruang yang ada di lingkungan Pesantren sebagai tempat pelaksanaan ibadah dan pelaksanaan proses belajar-mengajar Santri sebagaimana tradisi dan kondisi Pesantren tersebut dan tidak selalu berupa gedung atau bangunan khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Mualimin disusun dalam bentuk bahan kajian terstruktur untuk mencapai kompetensi tertentu.
Yang dimaksud dengan “terintegrasi” adalah kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin dilaksanakan secara terintegrasi dengan pola pengasuhan di .
Yang dimaksud dengan “komprehensif” adalah kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin mencakup keseluruhan aspek pengetahuan, wawasan, dan sikap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sorogan” adalah sistem belajar secara individual di mana seorang Santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Seorang Kiai menghadapi Santri satu persatu secara bergantian.
Yang dimaksud dengan “bandongan” adalah sistem belajar pengajian kitab yang dibaca dengan halaqah, di mana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh Kiai hanya satu, sedangkan para Santri membawa kitab yang sama, lalu Santri mendengarkan dan menyimak bacaan Kiai.
Metode pembelajaran lain diantaranya metode bahtsul masail.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Penyelenggaraan pendidikan pendidikan formal dan/atau nonformal Pesantren diselenggarakan dalam bentuk kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Mualimin.
Dalam penyelenggaraan fungsi pendidikan, Pesantren dapat menyelenggarakan satuan/program pendidikan lainnya yang diintegrasikan dengan kajian Kitab Kuning atau Dirasah Islamiah Dengan Pola Pendidikan Muallimin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Penilaian oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan yang bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik. Penilaian oleh satuan Pendidikan Muadalah dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran dan kompetensi lulusan peserta didik di setiap jenjang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Penilaian oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan yang bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik.
Penilaian oleh satuan Pendidikan Diniyah Formal dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran dan kompetensi lulusan peserta didik di setiap jenjang.
Penilaian oleh Menteri dilakukan dalam bentuk ujian akhir Pendidikan Diniyah Formal berstandar nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Istilah program sarjana pada Ma’had Aly disebut marhalah ula (M-1).
Istilah program magister pada Ma’had Aly disebut marhalah tsaniyah (M-2).
Istilah program doktor pada Ma’had Aly disebut marhalah tsalisah (M-3).
Ayat (2)
Rumpun ilmu agama Islam yang dikembangkan oleh Ma’had Aly meliputi:
Al-Quran dan ilmu Al-Quran;
tafsir dan ilmu tafsir;
hadits dan ilmu hadits;
fiqh dan ushul fiqh;
akidah dan filsafat islam;
tasawuf dan tarekat;
ilmu falak;
sejarah dan peradaban islam; dan
bahasa dan sastra Arab.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Materi muatan Pancasila dan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk Santri yang memiliki pemahaman dan penghayatan mengenai Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia serta menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Materi muatan bahasa Indonesia diberikan dengan pertimbangan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ujian” adalah ujian untuk menilai kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tertentu berdasarkan kriteria yang yang ditetapkan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Sistem penjaminan mutu pendidikan Pesantren terdiri dari sistem penjaminan mutu internal dan sistem penjaminan mutu eksternal. Dalam sistem tersebut mencakup penilaian lembaga pendidikan Pesantren berdasarkan kriteria mutu yang ditetapkan, rekognisi lulusan, rekognisi pendidik dan tenaga kependidikan sebagai tenaga profesional, rekognisi kesetaraan kualifikasi dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan pendidikan formal melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau, afirmasi dalam rangka melindungi kekhasan Pendidikan Pesantren, serta fasilitasi dalam rangka pengembangan Pendidikan Pesantren.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan oleh Menteri dimaksudkan sebagai pengakuan negara atas putusan Majelis Masyayikh sebagai aspek administratif.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kriteria mutu” adalah acuan mutu yang dikembangkan berdasarkan kekhasan Pendidikan Pesantren dan dapat berbentuk standar nasional pendidikan dan/atau bentuk lain sejenis.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penetapan sebagai tenaga pendidik profesional dapat berbentuk pemberian sertifikat pendidik, pemberian nomor registrasi pendidik, atau bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “tenaga lain” adalah tenaga kependidikan yang diangkat dari anggota masyarakat untuk menunjang kegiatan pendidikan.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pendakwah Islam dapat juga disebut sebagai da’i atau mubaligh.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “melalui lembaga dakwah yang dibentuk oleh Pesantren” adalah dakwah yang dilakukan melalui pengorganisasian secara terstruktur dan terencana dalam bentuk lembaga dakwah yang diselenggarakan oleh Pesantren.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sumber lain yang sah antara lain hibah luar negeri, hibah dalam negeri, badan usaha, pembiayaan internal.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dana abadi Pesantren” adalah dana yang dialokasikan khusus untuk Pesantren.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...
PIMPINAN KOMISI VIII DPR RI
Ketua,
Dr. H.M. Ali Taher, SH, M.Hum
Wakil Ketua,
Dr. H. Tb. Ace Hasan Syadzily, M.Si
Wakil Ketua,
Dr. Ir. H.D. Sodik Mudjahid, M.Sc.
Wakil Ketua,
H. Marwan Dasopang, M.Si.
Wakil Ketua,
H. Iskan Qolba Lubis, MA.
PEMERINTAH,
Menteri Agama RI,
Lukman Hakim Saifuddin
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI,
………….
Menteri Dalam Negeri RI,
………….
Menteri Keuangan RI,
………….
Menteri Hukum dan HAM RI,
………….
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI,
………….
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI,
………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar