KEDEKATAN SANTRI DAN KIAI JAMAN OLD YANG PENUH BAROKAH..
Sebantal Berdua Santri & Kiai
Ibrahim itulah nama santri tersebut itu datang jauh dari pelosok Sumatera Selatan ke Cirebon. Menemui seorang Kiai di Buntet Pesantren yang disebut-sebut oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sebagai penjaga langit tanah Jawa. Kiai Abbas namanya.
Kiai Abbas menatap tajam pada sosok di depannya. Menganggukkan kepala tanda beliau berkenan menerima Ibrahim.
“Saya tidur dimana, Pak Kiai?” tanya Ibrahim salah tingkah melihat Sang Kiai masih terus menatapnya.
‘Ya di rumah ini. Itu kamarmu.”
Ibrahim terkejut. Santri lainnya diarahkan menuju pondok, sementara ia malah diminta menetap di rumah Sang Kiai.
Maka hari-hari selanjutnya, Ibrahim menerima gemblengan berbagai ilmu khusus langsung dari Kiai Abbas. Belajar langsung bertatap muka dengan Sang Kiai adalah anugerah luar biasa.
Tapi keberuntungan Ibrahim tidak hanya sampai di sana. Sebagai Kiai NU yang disegani di wilayah Jawa Barat, Kiai Abbas sering bepergian ke sejumlah wilayah. Ibrahim dibawanya turut serta.
Berpuluh-puluh tahun kemudian Ibrahim mengenang bahwa suatu ketika ia mendampingi Kiai Abbas dalam suatu pertemuan tingkat tinggi para ulama NU di Jawa Tengah. Sebagai santri kesayangan, Ibrahim bukan saja melayani keperluan Sang Kiai selama dalam perjalanan, tapi juga turut duduk dan mengikuti berbagai pembahasan.
Dalam perjalanan pulang, tak hentinya Kiai Abbas memuji kehadiran seorang Kiai dari Jombang yang sangat dikaguminya: Kiai Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri dan penggerak roda organisasi NU. Ibrahim mengenang bahwa Kiai Abbas terus menerus menceritakan diskusinya dengan Kiai Wahab. Kiai Abbas tak bisa menutupi kekagumannya betapa hebatnya pemikiran Kiai Wahab yang disampaikan dalam pertemuan para Kiai tadi.
Ibrahim penasaran. “Kiai Wahab itu yang mana yah?”
Kiai Abbas tersenyum, “Yang semalam tidur berbagi bantal denganmu. Itulah Kiai Wahab.”
Ibrahim terkejut. Tidak menyangka bahwa sosok sederhana yang semalam berbagi bantal (yang satu meletakkan kepala di atas bantal menghadap ke utara, dan satunya menghadap ke selatan) ternyata itulah Kiai yang tengah diceritakan Kiai Abbas dengan rasa hormat dan kagum.
Pertemuan para ulama NU memang dilakukan dengan sederhana. Selepas diskusi panjang, para Kiai beristirahat dengan alas tikar seadanya dan berbagi bantal. Satu-satunya kemewahan adalah tumpukan kitab kuning dan argumentasi yang dilakukan para Kiai saat berdiskusi. Selebihnya sederhana. Itu dulu.
Sosok Kiai Wahab Chasbullah, penerus Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari ini, merupakan Kiai yang luar biasa baik kedalaman ilmunya dan keaktifannya berorganisasi. Kecintaannya pada tanah air melegenda dalam syair Ya Lal Wathan.
Santri muda Ibrahim kelak mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) khusus Pria tahun 1971 dan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Khusus Perempuan tahun 1979 dan sekaligus sebagai Rektornya, serta dua puluh tahun memimpin Komisi Fatwa MUI (1980-2000) dengan segala kontroversinya. Gelarnya sudah panjang saat itu: Prof KH Ibrahim Hosen, LML. Makna tatapan tajam Kiai Abbas saat menerimanya sebagai santri khusus tempo doeloe terjawab sudah.
Kelak, pada Muktamar NU ke 25 di Surabaya tahun 1971, Mbah Wahab Chasbullah sudah sepuh dan sakit namun Kiai Bisri Syansuri tidak mau menggantikan beliau selama Mbah Wahab masih ada. Maka terpilihlah Mbah Wahab kembali menjadi Rais Am. Yang menarik, dalam perumusan nama-nama pengurus, Mbah Wahab mengirim utusan meminta kesediaan Ibrahim Hosen sebagai salah seorang Rais Syuriah PBNU untuk turut membantu beliau.
Memori sebantal berdua kembali hadir di benak Ibrahim Hosen.
Namun beberapa hari kemudian Mbah Wahab meninggal dunia. Sehingga Mbah Bisri yang naik menggantikan, dan formasi kepengurusan berubah. Ibrahim Hosen dengan tawadhu’ menolak masuk dalam kepengurusan dan memilih mencurahkan waktu sebagai Rektor PTIQ.
Merasa mendapat keberkahan dari tinggal dan belajar khusus dengan Kiai Abbas Buntet, Abah saya, Prof KH Ibrahim Hosen LML, menceritakan ulang kisah sebantal berdua dengan Kiai Wahab Chasbullah kepada saya lebih dari 30 tahun yang lalu. Berkah...berkah...berkah!
Demikianlah kisah sebantal berdua antara seorang santri Buntet dengan kiai besar NU dari Tambakberas, Jombang.
Alhamdulillah untuk kedua kalinya saya sempat ‘sowan’ ke makam Kiai Wahab Chasbullah beberapa waktu lalu. Meneruskan tradisi penghormatan santri pada para Kiai. Lahumul fatihah...
Penulis
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand
dan Dosen Senior Monash Law School
Sebantal Berdua Santri & Kiai
Ibrahim itulah nama santri tersebut itu datang jauh dari pelosok Sumatera Selatan ke Cirebon. Menemui seorang Kiai di Buntet Pesantren yang disebut-sebut oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari sebagai penjaga langit tanah Jawa. Kiai Abbas namanya.
Kiai Abbas menatap tajam pada sosok di depannya. Menganggukkan kepala tanda beliau berkenan menerima Ibrahim.
“Saya tidur dimana, Pak Kiai?” tanya Ibrahim salah tingkah melihat Sang Kiai masih terus menatapnya.
‘Ya di rumah ini. Itu kamarmu.”
Ibrahim terkejut. Santri lainnya diarahkan menuju pondok, sementara ia malah diminta menetap di rumah Sang Kiai.
Maka hari-hari selanjutnya, Ibrahim menerima gemblengan berbagai ilmu khusus langsung dari Kiai Abbas. Belajar langsung bertatap muka dengan Sang Kiai adalah anugerah luar biasa.
Tapi keberuntungan Ibrahim tidak hanya sampai di sana. Sebagai Kiai NU yang disegani di wilayah Jawa Barat, Kiai Abbas sering bepergian ke sejumlah wilayah. Ibrahim dibawanya turut serta.
Berpuluh-puluh tahun kemudian Ibrahim mengenang bahwa suatu ketika ia mendampingi Kiai Abbas dalam suatu pertemuan tingkat tinggi para ulama NU di Jawa Tengah. Sebagai santri kesayangan, Ibrahim bukan saja melayani keperluan Sang Kiai selama dalam perjalanan, tapi juga turut duduk dan mengikuti berbagai pembahasan.
Dalam perjalanan pulang, tak hentinya Kiai Abbas memuji kehadiran seorang Kiai dari Jombang yang sangat dikaguminya: Kiai Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri dan penggerak roda organisasi NU. Ibrahim mengenang bahwa Kiai Abbas terus menerus menceritakan diskusinya dengan Kiai Wahab. Kiai Abbas tak bisa menutupi kekagumannya betapa hebatnya pemikiran Kiai Wahab yang disampaikan dalam pertemuan para Kiai tadi.
Ibrahim penasaran. “Kiai Wahab itu yang mana yah?”
Kiai Abbas tersenyum, “Yang semalam tidur berbagi bantal denganmu. Itulah Kiai Wahab.”
Ibrahim terkejut. Tidak menyangka bahwa sosok sederhana yang semalam berbagi bantal (yang satu meletakkan kepala di atas bantal menghadap ke utara, dan satunya menghadap ke selatan) ternyata itulah Kiai yang tengah diceritakan Kiai Abbas dengan rasa hormat dan kagum.
Pertemuan para ulama NU memang dilakukan dengan sederhana. Selepas diskusi panjang, para Kiai beristirahat dengan alas tikar seadanya dan berbagi bantal. Satu-satunya kemewahan adalah tumpukan kitab kuning dan argumentasi yang dilakukan para Kiai saat berdiskusi. Selebihnya sederhana. Itu dulu.
Sosok Kiai Wahab Chasbullah, penerus Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari ini, merupakan Kiai yang luar biasa baik kedalaman ilmunya dan keaktifannya berorganisasi. Kecintaannya pada tanah air melegenda dalam syair Ya Lal Wathan.
Santri muda Ibrahim kelak mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) khusus Pria tahun 1971 dan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Khusus Perempuan tahun 1979 dan sekaligus sebagai Rektornya, serta dua puluh tahun memimpin Komisi Fatwa MUI (1980-2000) dengan segala kontroversinya. Gelarnya sudah panjang saat itu: Prof KH Ibrahim Hosen, LML. Makna tatapan tajam Kiai Abbas saat menerimanya sebagai santri khusus tempo doeloe terjawab sudah.
Kelak, pada Muktamar NU ke 25 di Surabaya tahun 1971, Mbah Wahab Chasbullah sudah sepuh dan sakit namun Kiai Bisri Syansuri tidak mau menggantikan beliau selama Mbah Wahab masih ada. Maka terpilihlah Mbah Wahab kembali menjadi Rais Am. Yang menarik, dalam perumusan nama-nama pengurus, Mbah Wahab mengirim utusan meminta kesediaan Ibrahim Hosen sebagai salah seorang Rais Syuriah PBNU untuk turut membantu beliau.
Memori sebantal berdua kembali hadir di benak Ibrahim Hosen.
Namun beberapa hari kemudian Mbah Wahab meninggal dunia. Sehingga Mbah Bisri yang naik menggantikan, dan formasi kepengurusan berubah. Ibrahim Hosen dengan tawadhu’ menolak masuk dalam kepengurusan dan memilih mencurahkan waktu sebagai Rektor PTIQ.
Merasa mendapat keberkahan dari tinggal dan belajar khusus dengan Kiai Abbas Buntet, Abah saya, Prof KH Ibrahim Hosen LML, menceritakan ulang kisah sebantal berdua dengan Kiai Wahab Chasbullah kepada saya lebih dari 30 tahun yang lalu. Berkah...berkah...berkah!
Demikianlah kisah sebantal berdua antara seorang santri Buntet dengan kiai besar NU dari Tambakberas, Jombang.
Alhamdulillah untuk kedua kalinya saya sempat ‘sowan’ ke makam Kiai Wahab Chasbullah beberapa waktu lalu. Meneruskan tradisi penghormatan santri pada para Kiai. Lahumul fatihah...
Penulis
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand
dan Dosen Senior Monash Law School
Tidak ada komentar:
Posting Komentar