Home

Sabtu, 16 Oktober 2021

Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Agama dan Negara

 Syarat dan Rukun Pernikahan Menurut Agama dan Negara



Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Untuk melangsungkan sebuah pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah ini secara ringkas akan membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, yang saat ini banyak perselisihan tentang apa saja rukun dan syarat pernikahan, dan bagai mana pula rukun dan syarat pernikahan itu sendiri.


 A.    Rukun Nikah

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :

1.      Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan

2.      Adanya wali dari pihak wanita

3.      Adanya dua orang saksi

4.      Sighat akad nikah

Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat :

a.       Imam malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :

- Wali dari pihak perempuan

- Mahar (mas kawin)

- Calon pengantin laki-laki

- Calon pengantin perempuan

- Sighat aqad nikah

b.      Imam syafi’I mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam :

- Calon pengantin laki-laki

- Calon pengantin perempuan

- Wali

- Dua orang saksi

- Sighat akad nikah

c.       Menurut ulama khanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.

d.      Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat :

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan di gabung satu rukun  :

- Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan

- Adanya wali

- Adanya dua orang saksi

- Dilakukan dengan sighat tertentu 

B.     Syarat Sah Pernikahan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri.

Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :

a.       Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 )

b.      Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.

C.    Syarat-Syarat Rukun Nikah

Secara rinci rukun-rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut :

1.      Syarat-syarat kedua mempelai     

a.       Calon mempelai laki-laki

Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan ijtihad para ulama yaitu :

·         Calon suami beragama Islam

·         Terang ( jelas ) bahwa calon suami itu betul laki-laki

·         Orangnya diketahui dan tertentu

·         Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri

·         Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya

·         Calon suami rela  untuk melakukan perkawinan itu ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)

·         Tidak sedang melakukan ihram

·         Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri

·         Tidak sedang mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 )

b.      Calon mempelai perempuan

Syarat bagi mempelai perempuan yaitu :

·         Beragama Islam

·         Terang bahwa ia wanita

·         Wanita itu tentu orangnya

·         Halal bagi calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal 8)

·         Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah

·         Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)

·         Tidak dalam ihram haji atau umrah

2.      Syarat-syarat ijab Kabul

Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali. Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah. Qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan. Bentuk pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan.[10] Perkawinan wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah yang dinamakan akad nikah. Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa difahami.

Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya. Menurut pendapat khanafi boleh juga dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.

Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Khanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majelis dan tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad tersebut.

Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam kitabullah dan sunnah. Demikian menurut Asy-Syafi’I dan Hambali. Sedangkan khanafi membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur’an misalnya dengan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya. bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.

3.      Syarat-syarat wali

Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah sah.[12] Berdasarkan sabda Nabi SAW :

لَا نِكَاحَ اِلَّابِ اْلوَلِيىِّ (رواه الخمسى)

“tidak sah pernikahan tanpa wali”

 

اَيّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِإِدِ نِ وَلِيِّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلُ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَااْالمَهْرُ بِمَاسْتَحَلَّ مِنْ

 فرْجِهَافَإِنِ اسْتَجَرُوْافَالسُّلْطَانُ وَلِىٌّ مَنْ لاَ وَلِىٌّ لَهُ (رواه الخمسة الا النسا ئى)

“perempuan siapa saja yang menikah tanpa izin walinya  perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual, siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali itu enggan, sultanlah yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR. Al-Khomisah kecuali An-Nasaiy)[13]

      Khanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan bukan untuk mengawinkan perempuan awam.

      Anak kecil, orang gila, dan budak tidak mendapat wali. Bagaimana mereka akan menjadi wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.

      Abu khanifah dan abu yusuf berpendapat tentang akad nikah perempuan yang berakal dan sudah dewasa sebagai berikut :

      “sesungguhnya seorang perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik ia gadis ataupun janda,… akan tetapi yang disukai adalah apabila ia menyerahkan akad perkawinannya kepada walinya, karena menjaga pandangan yang merendahkan dari laki-laki lain apabila dia melakukan sendiri akad nikahnya.

      Akan tetapi bagi walinya yang ashib (ahli waris) tidak berhak menghalanginya, kecuali apabila ia melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak kufu’ (tidak sepadan) atau apabila maskawinnya lebih rendah dari pada mahar mitsil

Bahkan apabila ia mengawini diri sendirinya itu dengan orang yang tidak kufu (tidak sepadan) dan tanpa keridhoan walinya yang ‘ashib, yang diriwayatkan oleh abu khanifah dan abu yusuf adalah ketidak sahan perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan dapat mengajukan pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan keputusan dengan adil, karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan yang demikian itu untuk mencegah adanya perselisihan.

      Menurut riwayat yang lain wali juga berhak menghalangi  perkawinan yang demikian itu dengan cara meminta kepada hakim agar memisahkannya, karena menjaga aib yang mungkin timbul selagi si istri itu belum melahirkan dari suaminya atau belum nyata mengandung, sebab apabila sudah demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta perceraiannya dengan maksud agar tidak terlantarlah sianak dan untuk menjaga kandungan.

      Dan apabila suaminya kufu, sedang maharnya lebih rendah dari mahar mitsil, apabila wali dapat menerima akad boleh berlangsung, tetapi apabila wali tidak dapat menerima ia dapat mengajukan kepada hakim agar hakim memfasakhkan perkawinan tersebut.

      Akan tetapi apabila si perempuan tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia tidak mempunyai wali sama sekali atau mempunyai wali tetapi bukan wali ‘ashib siapapun tidak berhak menghalang-halangi perempuan tersebut untuk melakukan akadnya, baik itu ia kawin dengan seorang laki-laki yang kufu’ ataupun tidak kufu, dengan mahar mitsil ataupun bahkan dengan mahar yang lebih rendah dari mahar mitsil, sebab dengan keadaan yang demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan berada pada tanggung jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag akan tertimpa oleh aib karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu tersebut, dan juga maharnya telah gugur lantaran iapun sudah lepas dari kewenangan wali-walinya (fiqhus sunnah, as-sayid sabiq, hal. 10-11 juz VII cet. 1968/1388)[14]

      Wali hendaknya menanyakan calon mempelai perempuan, berdasarkan hadits berikut ini :

عَنْ اِبْنُ عَبَّاسْ اَنَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم قاَلَ : اَلثَيِّبٌ اَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَاوَاْلبِكْرُ تُسْتَأْدَ نُ فِيْ نَفْسِهَا

 وَإِدْنُهَا صُمَاتُهَا (رواه الجماعة الا البخاروفي رواية لااحمد وابى داود والنسا ئى) اْلبِكْرٌيَسْتَأْمِرُهَا

“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah SAW berkawa : janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaklah diminta izinnya dan izin gadis itu adalah diamnya.”diriwayatkan oleh jam’ah kecuali bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan An Nasaiy dikemukakan :

وَاْلبِكْرُيَسْتأْمِرُهَاأَبُوْهَا

“dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya”

Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :

a.       Bapak

b.      Kakek dan seterusnya keatas

c.       Saudara laki-laki sekandung/seayah

d.      Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah

e.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah

f.        Paman sekandung/seayah

g.      Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah

h.      Saudara kakek

i.        Anak laki-laki saudara kakak

Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :

a)      Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridhoan yang dikawinkan itu.

b)      Wali nasab yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon pengantin perempuan. wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman beserta keturunnnya menurut garis patrilineal.

c)      Wali hakim.

4.      Syarat-syarat saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.

Menurut golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik. Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.

Sebagian besar ulama berpendapat saksi merpakan syarat (rukun) perkawinan. Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah. Inilah pendapat syafi’I, khanafi, hanbali.

Bagaimana kalau saksi  seorang, lalu datang  seorang saksi lagi?

Menurut kebanyakan ulama dua orang saksi itu wajib ada bersama, demikian pendirian ulama khuffah. Sedang menurut ulama madinah , termasuk imam malik, akad nikah sah apabila didatangi oleh seorang saksi, kemudian datang lagi seorang saksi, jika perkawinan itu diumumkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar