Kapan seseorang dikatakan Penyamun - Hirobah - Qothi' At Thoriq
PENYAMUN
Menyamun, merampok dan
merompak sering dinamakan Hirabah dari segi bahasa diambil dari kata حَرْبٌ yang artinya adalah perang.Menurut istilah
hirabah berarti mengambil harta orang lain dengan kekerasan/ancaman senjata dan
kadang-kadang disertai dengan pembunuhan. Dalam bahasa Arab kata hirabah sama
artinya dengan قَطْعُ الطَّرِيْقِ (penghadangan di jalan). Istilah pengadangan
di jalan tidak hanya berarti menyamun tetapi merampok dan merompak, hanya
perbedaannya terletak pada tempat kejadian. Menurut Imam Malik penyamun adalah
penghambat jalan. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, penyamun ialah menyatakan
diri untuk mengambil barang orang atau untuk membunuh. Adapun menurut Ulama
Dzahiriyah, penyamun berarti menakut-nakuti orang di jalan. Akan tetapi mereka
sepakat bahwa penyamun adalah orang yang mengangkat senjata dan menghambat di
jalanan dengan niat untuk mengambil harta orang lain.
Menyamun/merampok/merompak
disamping mendapatkan hukuman dunia, perbuatan tersebut juga mendapat hukuman
di akhirat yaitu berupa adzab yang pedih. Firman Allah SWT : “Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar .” (Q.S. al-Maidah:
33)
B.
Unsur-unsur Menyamun
1. Unsur
umum
al-Rukn al-Syar’i (Unsur
Formil), yaitu adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang
disertai ancaman hukuman atas perbuatan jarimah. Al-Rukn al-Madi (Unsur
Material), yaitu adanya unsur perbuatan yang berbentuk jarimah, baik berupa
melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Al-Rukn
al-Adabi (Unsur MoriL), yaitu pelaku kejahatan adalah orang yang dapat memahami
taklif, dalam artian pelaku kejahatan adalah mukallaf. Sehingga pelaku
kejahatan dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan.
2. Unsur
Khusus
Yaitu, Unsur yang hanya
berlaku didalam satu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lainnya,
adapun di dalam tindak pidana hirabah unsur khususnya adalah: Lokasi hirabah
yang dilakukan oleh pelakunya harus di tempat yang jauh dari tempat keramaian.
Semisal di padang rumput yang jauh, di gunung, atau tempat yang sangat jauh
dari lokasi penduduk. Jika tindakan itu dilakukan di tempat keramaian, maka
namanya bukan tindak pidana hirabah, akan tetapi perampasan biasa. Sebab yang
disebut dengan hirabah adalah penyamunan, atau perampokan yang dilakukan di
jalan-jalan. Akan tetapi, bila mereka melakukan tindakan pembunuhan, perampasan
harta, dan teror di tempat-tempat keramaian, maka tindakan mereka dianggap
sebagai hirabah dan berhak dijatuhi sanksi had. Ini adalah pendapat mayoritas
‘ulama Fiqh, Abu Hanifah, Abu Tsaur,
C. Pelaku
Tindak Pidana Penyamun (Hirabah)
Hirabah bisa dilakukan
oleh sekelompok orang atau perorangan yang mampu melakukannya. Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal
mensyaratkan pelaku membawa senjata atau barang yang sejenis dengannya, seperti
tongkat, batu, balok kayu. Imam Malik, Imam Syafi’I, Ulama Dzahiriyah, dan
Ulama Syi’ah Zaidiyah tidak mensyaratkan pelaku membawa senjata. Menurut
mereka, muharib cukup menghandalkan kekuatannya. Imam Malik bahkan menganggap
muharib cukup dilakukan dengan tipu daya tanpa menggunakan kekuatan dan dalam
keadaan tertentu menggunakan anggota tubuh, seperti meninju dan memukul dengan
kepalan tangan. Bisa dicontohkan muharib yang melakukan dengan tipu daya, yaitu
seperti kejadian perampokan sang pelaku mengaku sebagai polisi.
Muharib adalah setiap
pelaku langsung atau pelaku tidak langsung tindak pidana hirabah. Barang siapa
mengambil harta, membunuh atau menakut-nakuti orang, ia adalah muharib
(perampok/pelaku gangguan keamanan). Barang siapa membantu tindak pidana
hirabah, baik dengan memberi dorongan, membuat kesepakatan, atau membantu, ia
adalah muharib. Muharib (perampok/pengganggu keamanan) disyaratkan mukallaf dan
terikat dengan hukum islam. Syarat ini disepakati oleh para ulama kecuali ulama
Dzahiriyah.
D.
Pandangan Ulama’ Terhadap Tempat Berlakunya Hukuman Hirabah
Agar pelaku penyamun
(hirabah) dijatuhi hukuman hudud, Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah terjadi
di Negara Islam. Jika hirabah terjadi di Negara non-Islam, hukuman hudud tidak
diwajibkan karena orang yang melaksanakan hukuman hudud yaitu penguasa, tidak
memiliki kekuasaan di Negara tersebut, padahal di Negara itulah tindak pidana
terjadi. Pendapat ini juga dianut oleh ulama Imam Syi’ah Zaidiyah. Sedangkan
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama Dzahiriyah
mewajibkan hukuman hudud, baik atas hirabah yang terjadi di Negara Islam maupun
di Negara non-Islam, selama perbuatan tersebut dianggap terjadi (berstatus)
tindak pidana. Artinya, perbuatan tersebut menimpa orang muslim atau orang
kafir dzimmi yang mendapat jaminan keamanan dari beberapa muslim (dzimmi
musta’man) atau kafir dzimmi secara umum
mendapat jaminan keamanan dari Negara).
Imam Abu Hanifah mensyaratkan hirabah tidak terjadi di
dalam kota atau jauh dari pemukiman. Jika terjadi dikota, tidak ada hukuman
hudud atas pelaku, baik hirabah terjadi di siang hari maupun malam hari, baik
bersenjata maupun tidak. Pendapat ini di dasarkan pada istihsan. Imam Abu
Hanifah beralasan bahwa hirabah biasanya tidak terjadi di kota, tetapi dijalan
penghubung antara desa atau kota. Abu Yusuf berpendapat bahwa hirabah yang
terjadi baik di kota maupun di luar kota tetap akan di kenakan hukuman hudud,
Abu Yusuf beralasan demikian karena memegang atas hukum yang aslinya. pasir dan
kota.
Untuk dapat dikatagorikan
sebagai hirabah, Imam Syafi’i mensyaratkan agar perbuatan tersebut, korban
tidak mungkin meminta pertolongan. Menurut kami, hirabah itu juga bisa
dikatagorikan jikalau jauhnya tempat kejadian dari kota dan pemerintah,
lemahnya orang yang ada di tempat kejadian, baik itu kerabat, pemerintah,
maupun korban sendiri karena dihalangi untuk meminta pertolongan.
Hukuman Terhadap Tindak Pidana penyamun (Hirabah)
Mengenai hukuman tindak
pidana hirabah sudah dijelaskan oleh syara’ dan terdapat dalam surat al-Maidah
ayat 33. Didalam ayat ini menerangkan bahwa:
1. Jika
mereka membunuh orang yang setingkat dengan mereka dengan sengaja dan tanpa hak
serta tidak mengambil harta benda, maka mereka harus di hukum bunuh. Jika
mereka membunuh tanpa sengaja atau mirip sengaja atau membunuh sengaja orang
yang tidak sederajat dengan mereka, maka mereka tidak di bunuh.
2. Jika
mereka membunuh dan mengambil harta bena nisab pencurian atau lebih banyak,
maka mereka dibunuh dan digantung/disalib dengan kayu atau sejenisnya. Namun
setelah mereka di mandikan, dikafani dan disalati.
3. Jika
mereka mengambil harta benda nisab pencurian atau lebih banyak dari tempat
penyimpanannya dan tidak ada syubhat bagi mereka, namun tidak membunuh, maka
tangan dan kaki mereka di potong berlainan.
4. Jika
mereka menakut-nakuti orang yang melewati jalan dan tidak merampas harta benda
serta tidak membunuh orang, maka mereka dipenjara di selain tempat mereka atau
dibuang dan dita’zir. Yang memenjara dan mena’zir mereka adalah pemerintah
5. Ta'zir
: jika ia tidak membunuh dan tidak mengambil harta
6. Hukuman
mati : jika ia membnuh dan meskipun tak mengambil harta
7. Dipotong
tangan kanan dan tangan kiri. Jika mengambil harta meskipun tidak membunuh.
Kemudian jika mengulangi lagi perbuatannya, maka dipotong kaki kanan dan tangan
kirinya.
8. Hukuman
mati lalu disalip selama 3 hari. Jika mengambil harta dan membunuh.
Taubatnya penyamun menggugurkan hukuman
Jika penyamun bertaubat sebelum ditangkap maka
gugurlah hukuman-hukuman yang khusus mengenai dirinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar