Home

Selasa, 19 Oktober 2021

Hukum Akad Istihsna' - Akad Pemesanan dibuatkan Barang

 Hukum Akad Istihsna' - Akad Pemesanan dibuatkan Barang



Istishna’ berasal dari kata  صنع yang artinya membuat, kemudian ditambah huruf alif, sindan ta’ menjadi (  istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu. Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual. Secara istilah ialah akad  jual beli antara pemesan dengan penerima pesanan atas sebuah barang dengan spesifikasi tertentu.

 

Menurut pandangan ulama :

1.      Mazhab Hanafi

 عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل

Sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,”Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham”, dan orang itu menerimanya, maka akad istishna’ telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.

2.      Mazhab Hambali

 بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم

Jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna’ mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan بيع بالصنع ة

3.      Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah

 الشيء المسلم للغير من الصناعات

Suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.  Contohnya, Seseorang memesan sepatu berbahan kulit ke tukang sepatu dengan harga x rupiah, untuk pembayaran bisa dilakukan secara cash, cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu, tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.

 

Hukum Akad Al-Istishna’

Para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapi al-istishna’ ini, apakah termasuk akad jual beli, atau akad sewa atau akad as-salam.

Pendapat Pertama : mengatakan bahwa al-istishna’ termasuk dalam akad as-salam. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.[1] 

Adapun yang dimaksud akad as-salam adalah seseorang memesan sesuatu yang belum ada dengan menyebutkan sifat-sifat tertentu dan pembayaran dilakukan di awal terjadinya akad.

Adapun perbedaan antara keduanya, bahwa akad al-istishna’ berlaku pada barang-barang yang dibuat oleh pabrik atau kerajinan tangan, sedangkan akad as-salam berlaku pada tumbuhtumbuhan dan sayur-sayuran yang di tanam. 

 

Dasar dibolehkan akad as-salam ini adalah  hadist Ibnu Abbas :

 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قدَِمَ النَّبيُِّ صَلىَّ هاللَّّ  عَلَيْهِ وَسَلمََّ الْمَدِينَةَ وَههمْ هيسْلِفهونَ فيِ الثِ مَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتيَْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فيِ تمَْ رٍ

 فَلْ هيسْلِفْ فيِ كَيْلٍ مَعْلهومٍ وَوَزْنٍ مَعْلهومٍ إِلَى أجََلٍ مَعْلهومٍ

“ Dari Ibnu Abbas dia berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buahbuahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Maka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang menjual kurma dengan akad assalam, hendaklah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu dan jangka waktu tertentu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Pendapat Kedua : menyatakan bahwa al-istishna’ merupakan akad tersendiri dan bukan termasuk dalam akad as-salam. Ini merupakan pendapat al-Hanafiyah. Dalil mereka adalah riwayat yang menyatakan :

 

 أنََّ النَّبيَِّ صَلىَّ هاللَّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْطَنَعَ خَاتمًَا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memesan seseorang untuk membuat cincin untuk beliau.” (HR. Bukhari)

Begitu juga beliau memesan seseorang untuk membuat mimbar masjid, sebagaimana dalam hadist Sahal :

 

 

عَنْ سَهْلٍ رَضِيَ هاللَّّ عَنْ هه أنََّ النَّبيَِّ صَلىَّ هاللَّّ عَلَيْهِ وَسَلمََّ أرَْسَلَ إِلىَ امْرَأةٍَ مِنْ الْ همهَاجِ رِينَ وَكَانَ لَهَا غهلََمٌ نجََّارٌ قَالَ لَهَا همرِي

 عَبْدَكِ فَلْيَعْمَلْ لَنَا أعَْوَادَ الْمِنْبَرِ فَأمََرَتْ عَبْدَهَا فذََهبََ فَقَطَعَ مِنْ الطَّرْفَاءِ فَصَنَعَ لَ هه مِ نْبَرً ا

“Dari Sahal bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam menyuruh seorang wanita Muhajirin yang memiliki seorang budak tukang kayu. Beliau berkata kepadanya; “Perintahkanlah budakmu agar  membuatkan mimbar untuk kami”. Maka wanita itu memerintahkan budaknya. Maka ghulam itu pergi mencari kayu di hutan lalu dia membuat mimbar untuk beliau. “ (HR. Bukhari)

Tetapi di dalam kalangan al-Hanafiyah sendiri terjadi perbedaan  pendapat, apakah al-istishna’ hanya sebuah janji yang harus ditepati atau sebuah akad.

 

Waktu Pembayaran

Atas dasar perbedaan ulama di dalam menentukan status akad al-istishna’, maka merekapun berbeda pendapat di dalam menentukan waktu pembayaran :

Pendapat Pertama : Pemesan wajib untuk membayar terlebih dahulu di awal transaksi kepada pihak kedua. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, karena mereka menganggap bahwa alistishna’ ini bagian dari akad as-salam, sedangkan dalam akad as-salam semua ulama sepakat pembayarannya harus dilakukan diawal transaksi.

Alasan lainnya, bahwa jika pembayaran ditangguhkan maka termasuk katagori jual beli hutang dengan hutang, dan hal ini dilarang, sebagaimana dalam hadist Ibnu Umar :   

 

 عَن اب هن هعمر أنََّ النَبي صَلىَّ الله عَليهِ و سلم نَهَى عَن بَيعِ الكَالِئ بِالكَالِئ

 “Dari Ibnu Umar bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wassalam melarang jual beli hutang dengan hutang “ (HR. Daruqutni dan dishahihkan oleh Hakim) 

Pendapat Kedua : Pemesan boleh membayar ketika pesanan sudah jadi dan sesuai dengan kreteria yang disepakati. Ini adalah pendapat ulama al-Hanafiyah dan didukung oleh Muktamar Majma’ al-Fiqh al-Islami yang diadakan di kota Jeddah pada tanggal 7-12 Dzulqa’dah 1412 H/ 9-14 Mei 1992 M, pada keputusan no 66/3/7 tentang akad al-Istishna’, dan diantara isinya adalah sebagai berikut : “Dibolehkan di dalam akad al-Istishna’ tersebut untuk menangguhkan pembayarannya secara keseluruhan, atau diangsur  secara periodik dalam waktu yang terbatas. “

 

Tetapi perlu digaris bawahi bahwa pendapat kedua yang membolehkan pembayaran di akhir ini, akan terjebak dalam jual beli hutang dengan hutang, karena membeli barang yang belum ada dengan uang yang belum ada juga, bukankah hal ini dilarang sebagaimana dalam hadist Ibnu Umar di atas?  Sebagian kalangan memberikan jalan keluar dengan cara merubah akad al-istishna ini  menjadi dua akad lain, yaitu akad jual beli barang (bahan dasar) dengan kredit, dan akad  jasa pembuatan barang tersebut.[2] 

Tentunya paling baik adalah membayar terlebih dahulu, sebagaimana yang dinyatakan oleh mayoritas ulama, agar kita bisa keluar dari perbedaan pendapat di atas.  

 

Sebagian ulama’ menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de facto telah bersepakat atau merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya.  Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. Alasan ini selaras dengan salah satu prinsip dasar agama Islam, yaitu taisir (memudahkan):

 إنَِّ الدِ ينَ يُسْرٌ. رواه البخاري

“Sesungguhnya agama itu mudah.” (Riwayat Bukhari).

 

Istishna’ dapat mendatangkan banyak kemaslahatan dan keuntungan, dan tidak mengandung unsur riba, atau ketidak jelasan/spekulasi tinggi (gharar). Dengan demikian setiap hal yang demikian ini adanya.  Berdasarkan pemaparan singkat di atas, dapat saksikan bahwa pendapat kedua dan ketiga lebih kuat, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dalam syari’at islam.

 

Al-Istishna’ Paralel

Al Istishna’ Paralel adalah seseorang yang mendapatkan pesanan dari orang lain -umpamanya untuk membuat rak buku-, dia tidak mengerjakannya sendiri, tetapi mengupahkan kepada pihak ketiga. Apakah hal ini dibolehkan? Jawabannya adalah selama hal itu tidak mempengaruhi  point-point yang sudah disepakati antara kedua belah pihak, seperti harga dan sifat-sifat barang, maka hukumnya boleh. Ini seperti halnya seseorang yang menerima pesanan barang, kemudian pengerjaannya diserahkan kepada bawahannya atau tukangnya. 

Kesimpulan

Istishna’ adalah artinya perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual. Perbedaannya adalah terletak dalam cara pembayarannya dan  salam tersebut mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggung jawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar