JUAL BELI KREDIT MENURUT TINJAUAN FIKIH ISLAM
1.Pengertian Jual Beli Kredit
Jual Beli Kredit Jual beli kredit dalam istilah fiqih disebut dengan تقسيط بيع .Adapun jual beli dengan bertempo disebut dengan istilah اآلجل بالثمن بيع .Jual beli bertempo atau taqsîth yang disertai dengan uang muka, disebut dengan istilah عربان بيع .Ketiga-tiganya merupakan jual beli dengan harga tidak tunai (harga tunda).
Dalam literatur fiqih kontemporer, تقسيط بيع( jual beli kredit) ini didefinisikan sebagai berikut
متفق عليها، فيدفع البائع البضاعة المبيعة إلى المشتري حالة، ويدفع المشتري الثمن في أقساط مؤجلة، وإن اسم " البيع بالتقسيط " يشمل كل بيع بهذه الصفة سواء كان الثمن المتفق عليه مساويًا لسعر السوق، أو أكثر منه، أو أقل، ولكن المعمول به في الغالب أن الثمن في " البيع بالتقسيط " يكون أكثر من سعر تلك البضاعة في السوق، فلو أراد رجل أن يشتريها نقدًا، أمكن له أن يجدها في السوق بسعر أقل ولكنه حينما يشتريها بثمن مؤجل بالتقسيط، فإن البائع ال يرضى بذلك إال أن يكون ثمنه أكثر من ثمن النقد، فال ينعقد البيع بالتقسيط عادة إال بأكثر من سعر السوق في بيع الحال.
Artinya: “Bai’ taqsîth adalah praktik jual beli dengan harga bertempo yang dibayarkan kepada penjual dalam bentuk cicilan yang disepakati. Sementara itu, penjual menyerahkan barang dagangan (bidla’ah) yang dijualnya kepada pembeli seketika itu juga pada waktu terjadinya aqad.
Imam Nawawi menyatakan di dalam kitab Raudlatu al-Thalibin, bahwasannya jual kredit hukumnya adalah “boleh.”
أما لو قال بعتك بألف نقدا وبألفين نسيئة... فيصح العقد ً
Artinya: “Andai ada seorang penjual berkata kepada seorang pembeli: “Aku jual ke kamu (suatu barang), bila kontan dengan 1.000 dirham, dan bila kredit sebesar 2.000 dirham, maka aqad jual beli seperti ini adalah sah.” (Abu Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudlatu alThâlibîn, Maktabah Kairo, Juz 3, hal 397).
Jadi, inti jual beli kredit adalah suatu pembelian yang dilakukan terhadap sesuatu barang, yang mana pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara berangsur-angsur sesuai dengan tahapan pembayaran yang telah disepakati kedua belah pihak yakni (penjual dan pembeli).
2. Hukum Jual Beli Kredit
Ulama berbeda pendapat. Pertama, hukumnya boleh. Pendapat ini dikemukakan oleh jumur ulama yang terdiri dari ulama Hanafi, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan para sahabat, tabi’in dan Zaid bin Ali.
Kedua, hukumnya haram. Pendapat ini dikemukakan oleh Zaidiyah (salah satu sakte dalam syi’ah), Ibadhiyah (salah satu sekte dalam Khawarij), Imam Yahya, al-Jashash al-Hanafi, sebagian ulama Syafi’iyah, sebagaian ulama Hanabilah dan Zhahiriyah.
3. Syarat Jual Beli Kredit
1) Barang yang dikredit bukan termasuk barang riba
2) Barang yang dikredit adalah barang milik sendiri
3) Besarnya jumlah angsuran harus jelas
4) Waktu pembayaran angsuran jelas
5) Jika pembayarannya terlambat tidak boleh ada denda
6) Kenaikan harga tidak boleh berlebihan
7) Pastikan terjadi akad jual beli
4. Aturan Islam Mengenai Jual Beli Kredit
Hakikat membeli barang secara kredit adalah membeli barang secara berhutang. Hutang tidak dianjurkan dalam syari’at Islam kecuali seseorang sangat membutuhkan barang tersebut dan ia merasa mampu untuk melunasinya. Maka tidak dianjurkan seorang muslim untuk membeli barang yang merupakan kebutuhan secara kredit.
Secara umum, jual beli dengan cara kredit diperbolehkan oleh syariat. Berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah bolehnya berhutang dengan cara kredit atau angsuran dengan cara menuliskan jumlah hutang, pembayaran diawal, berapa kali angsuran, dan pelunasan tanggal pembayaran, yang sekarang disebut sebagai kwitansi tanda bukti pembayaran hutang, dan cara ini diperintahkan dalam QS. Al Baqarah: 282 sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Ayat ini adalah sebagai dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat tersebut bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
Dalam hadis riwayat ‘Aisyah ra, dikatakan: “Rasulullah Saw membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603).
Dalam hadis ini Rasulullah Saw membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit dengan menggadaikan perisainya. Menggadai barang sebagai jaminan pembayaran yang memiliki jangka waktu yang terbatas atau dibatasi. Berdasarkan dalil di atas, jual beli dengan sistem kredit hukumnya diperbolehkan dalam syariat. Membayar harga secara kredit diperbolehkan, asalkan tempo atau waktu ditentukan dan jumlah pembayaran telah ditentukan sesuai kesepakatan.
Jual beli dengan sistem angsuran (kredit), dalam istilah kaidah fiqhiyah bahwa asal dalam muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Dalam QS. Al-Baqarah: 275 Allah SWT berfirman, sebagai berikut:
“… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”
Jual beli adalah halal, sedangkan riba haram. Jika dalam jual beli kredit mengandung riba, maka jual beli tersebut menjadi haram. Demikian yang dimaksud ayat tersebut. Jadi asal dalam muamalah termasuk di dalamnya jual beli kredit adalah boleh atau mubah.
5. Penambahan Harga Dalam Akad Jual Beli Kredit
untuk transaksi model kredit ini, para ulama berbeda pendapat:
1) Jumhur ahli fiqih, seperti mazhab Hanafi, Syafi'i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billahi berpendapat, bahwa jual-beli yang pembayarannya ditangguhkan dan ada penambahan harga untuk pihak penjual karena penangguhan tersebut adalah sah. Menurut mereka penangguhan itu adalah harga. Mereka melihat kepada dalil umum yang membolehkan.
2) Jumhur ulama menetapkan, bahwa seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Sebaliknya kalau sampai kepada batas kezaliman hukumnya berubah menjadi haram.
3) Pendapat lainnya mengatakan bahwa upaya menaikkan harga di atas yang sebenamya lantaran kredit (penangguhan pembayaran) lebih dekat kepada riba nasiah (tambahan harga karena limit waktu) yang jelas dilarang oleh nash Al-Qur’anul Karim.
Jadi, transaksi jual beli secara kredit hukumnya sah dan halal asalkan akad (transaksinya) antara penjual dan pembeli dilakukan secara jelas (aqd sharih). Artinya, antara penjual dan pembeli sama-sama mengetahui dan terdapat kesepakatan harga barang dan batas waktu pada saat akad.
Transaksi jual beli secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dibanding membeli secara kontan hukumnya sah dan halal. Dengan syarat, transaksi antara penjual dan pembeli dilakukan dengan aqd sharih ’adam al jahalah (dilakukan secara jujur dan mensepakati batas waktu dan harga barang).
Contoh akad jual beli kredit
Para ulama menyebut praktek Jual Beli Kredit dengan istilah bai’ut taqsith dengan tambahan harga. Menurut pendapat yang kuat hukumnya adalah boleh, syarat yang harus dipenuhi adalah: bahwa harga, jumlah angsuran serta besaran tiap angsuran harus ditentukan sebelum berpisah
Atas dasar diatas, maka jika semua pihak rela dengan salah satu tawaran, maka itu merupakan jual-beli yang dibolehkan syara’ karena hukum asal jual-beli adalah boleh. Asy Syafi’i mengatakan, “Pada prinsipnya semua jenis jual-beli itu boleh asalkan dengan kerelaan kedua belah pihak yang bertransaksi, kecuali jual-beli yang dilarang oleh rasulullah saw”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar