Home

Rabu, 28 Agustus 2024

Manusia paling tinggi kedudukanya

Kedudukan Paling Tinggi disisi Allah SWT.


Sahabat gudang da'i tahukah anda, Islam hadir sejatinya untuk memerdekakan manusia dari menghamba kepada sesama makhluk, kepada Rabb-Nya makhluk...

“Merdeka!” teriak kita setiap kali menyambut dirgahayu hari kemerdekaan. Tapi, pernahkan sejenak kita merenungkan arti hakiki dari kemerdekaan itu sendiri? Sudahkah kita benar-benar merdeka?

Teringat sejarah, ketika pasukan Muslimin hendak menaklukkan kerajaan Persia. Rib’i bin Amir pergi mendatangi undangan Rustum dengan menggunakan baju yang sangat sederhana, sarung pedang dari balutan baju dan kuda yang kecil seolah memberi pesan kepada bangsa Persia bahwa harta yang kalian agung-agungkan tidak ada nilainya di sisi kami. Saat tiba dipelataran tenda Rustum , Rib’i bin Amir disuruh turun dari kudanya, bukannya turun, beliau malah terus menunggangi kudanya dan menginjak permadani yang telah dihamparkan. Saat sudah berada di hadapan Rustum beliau mengikatkan tali kudanya ke bantal yang ada di sana...

Apa yang dilakukan Rib’i bin Amir ini bukanlah tanpa sebab. Beliau melakukan hal itu dalam rangka meruntuhkan mental pasukan Persia yang begitu mengagungkan harta. Rustum bertanya kepada Rib’i bin Amir, risalah apa yang kalian bawa?

الله ابتعثنا، والله جاء بنا، لنخرج من شاء من عبادة العباد، إلى عبادة الله، ومن ضيق الدنيا إلى سعتها، ومن جور الأديان إلى عدل الإسلام

Rib’i menjawab, Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap sesama hamba menuju penghambaan kepada Sang Pencipta. Membawa manusia dari sempitnya dunia menuju kelapangan dunia dan akhirat…

Apa yang dilakukan oleh Rib’i bin Amir terhadap bangsa Persia mencerminkan kemerdekaan jiwa yang dimiliki oleh seorang Muslim. Dia tidak merasa rendah di hadapan para pemuja harta, dia tidak merasa hina berhadapan dengan para penguasa, karena dia memiliki jiwa yang merdeka, dimerdekakan oleh ketauhidan...

Saudaraku,
Penghambaan diri kepada Allah Azza wa Jalla atau _al-‘ubudiyyah_ adalah kedudukan manusia yang paling tinggi di sisi Allah Azza wa Jalla. Karena dalam kedudukan ini, seorang manusia benar-benar menempatkan dirinya sebagai hamba Allah Azza wa Jalla yang penuh dengan kekurangan, kelemahan dan ketergantungan kepada Rabb-nya, serta menempatkan dan mengagungkan Allah Azza wa Jalla sebagai Rabb yang Maha Sempurna, Maha Kaya, Maha Tinggi dan Maha Perkasa...

Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai manusia, kamulah yang bergantung dan butuh kepada Allah; sedangkan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” 

(QS. Faathir: 15)

Saudaraku,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Kesempurnaan makhluk manusia adalah dengan merealisasikan _al-‘ubudiyyah_ (penghambaan diri) kepada Allah, dan semakin bertambah kuat realisasi penghambaan diri seorang hamba kepada Allah, maka semakin bertambah pula kesempurnaannya kemuliaannya dan semakin tinggi derajatnya di sisi Allah. Dan barangsiapa yang menyangka (dengan keliru) bahwa seorang hamba bisa saja keluar dari penghambaan diri kepada Allah (tidak terkena kewajiban beribadah kepada Allah) dalam satu sisi, atau (dia menyangka) bahwa keluar dari penghambaan diri itu lebih sempurna (utama), maka dia termasuk orang yang paling bodoh bahkan paling sesat.”

(Kitab _Al-‘Ubuudiyyah_ hlm. 57 - Tahqiiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi, cet. Darul Ashaalah)

Saudaraku,
_Al-‘Ubudiyyah_ (penghambaan diri) adalah sesuatu yang menghimpun rasa cinta yang utuh disertai sikap merendahkan diri yang sempurna. 

(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab _al-‘Ubuudiyyah_ hlm. 94 dan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab _Thariiqul hijratain_ hlm. 510)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ibadah atau penghambaan diri mengandung kesempurnaan dan puncak kecintaan serta kesempurnaan dan puncak sikap merendahkan diri. Sehingga sesuatu yang dicintai tapi tidak diagungkan dan merendahkan diri kepadanya maka tidaklah disebut sebagai sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Sebagaimana sesuatu yang diagungkan tapi tidak dicintai maka tidaklah disebut sebagai sesembahan (sesuatu yang diibadahi). Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman,

 وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ 

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” 

(QS. Al-Baqarah: 165, Kitab _Majmu’ul fata-wa,_ 10/56)

Imam Ibnul Qayyim berkata: “Tidak ada jalan menuju keridhaan Allah yang lebih dekat dari jalan _al-‘Ubudiyyah_ (penghambaan diri kepada Allah) dan tidak ada hijab (penghalang menuju keridhaan-Nya) yang lebih tebal dari pengakuan membanggakan dan kagum dengan diri sendiri. 

Inilah sifat yang menjadikan sempurna penghambaan diri mereka kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu orang-orang yang mencintai Allah Azza wa Jalla dengan utuh, selalu bersegera dan berungguh-sungguh dalam mengerjakan amal shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Bersamaan dengan itu, mereka tetap menundukkan diri dan meyakini ketergantungan diri mereka kepada-Nya, dengan selalu berharap dan takut kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka selalu berdoa kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ dalam beribadah.” 

(QS. Al-Anbiyaa’: 90)

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya karena mereka selalu mengerjakan ibadah dan shalat ketika manusia sedang tertidur di malam hari, sedang mereka berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka.” 

(QS. As-Sajdah: 16)

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa menyempurnakan penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla untuk meraih ridha-Nya... 
Aamiin Ya Rabb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar