Home

Minggu, 03 Oktober 2021

Hukum Pegadaian Menurut Syariat Islam

Hukum Pegadaian Menurut Syariat Islam



    Banyak orang yang tidak ingin kehilangan barang berharganya namun ingin mendapatkan uang dalam waktu cepat, tidak ingin berhutang karena kadang orang yang menghutangi memberi bunga yang tidak masuk akal atau bahkan selalu bertambah setiap waktu, padahal seseorang tersebut sangat membutuhkan uang agar dirinya bisa melanjutkan hidup, ada orang yang bekerja namun ternyata lebih besar pasak daripada tiang, adapula cerita lain yang serupa dengan itu.

Kemudian mulailah menyebar sebuah transaksi yang dapat mengatasi kegalauan masyarakat kala itu, hal ini membuat masyarakat yang awalnya hanya mengenal kata hutang, barter menjadi lebih tau bahwa ada yang namanya gadai, yakni transaksi yang dilakukan antar pihak pertama dan pihak kedua dengan kesepakatan yang sudah di atur di awal pertemuan.

Maka dari sini, penulis ingin lebih menggali apa itu gadai, dan apa saja yang ada dalam gadai dan bagaimana hukumnya.

1. Pengertian Gadai

Dalam fiqh muamalah konsep gadai tersebut dikenal dengan rahn yaitu akad menahan barang yang bersifat materi dan bernilai ekonomi milik rahin sebagai jaminan pinjaman, agar murtahin memperoleh jaminan untuk mendapatkan kembali uang yang telah dipinjamkan kepada si berpiutang melalui barang jaminan tersebut senilai uang yang telah dipinjamkan jika suatu ketika rahin tidak dapat melunasi hutang-hutangnya. 

Gadai dalam kitab diistilahkan dengan “rahn“dapat juga dinamai dengan al-habsu berarti “penahanan“ Atau “tetap”. Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang.


2. Dasar Hukum Gadai Syariah (Rahn) 

Dasar hukum Rahn dalam Al-Qur`an Surat Al-Baqarah ayat 283 :


وَاِ نْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَا تِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ ۗ فَاِ نْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَا نَـتَهٗ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا 

الشَّهَادَةَ ۗ  وَمَنْ يَّكْتُمْهَا فَاِ نَّهٗۤ اٰثِمٌ قَلْبُهٗ ۗ وَ اللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ


Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”


Berdasarkan ayat di atas, sudah jelas bahwa gadai merupakan suatu yang diperbolehkan dalam Islam dan bagian dari muamalah.  Bahkan Agama Islam  mengajarkan kepada umatnya supaya hidup tolong menolong, seperti firman Allah Swt : 


 وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَا لتَّقْوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِ ثْمِ وَا لْعُدْوَا نِ ۖ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَا بِ


Artinya :Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.( QS.Al-Maidah : 2 )

Bahkan masalah gadai dipertegas dengan amalan Rasullulah SAW, dimana beliau melakukan praktik gadai. Hal tersebut sebagaimana dikisahkan Ummul mukminin Aisyah R.A. dalam pernyataan beliau berkata :

 اَنَّ رَسُىْلُ اللَّهِ صَلَّ اللَّهُ عَلَّيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرئ طَعَامًا مِنْ يَهُىْدِيٌّ اِلَي اَجَلٍّ وَرهَنَهُ دِ رْعًا مِنْ حَدِيْدٍ

Artinya :”Bahwasannya Rasulullah saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya”. ( HR. Al-Bukhori dan Muslim).


 Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang diperbolehkan jika seseorang dalam kesusahan melakukan praktik gadai asalkan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah dalam gadai. Praktik gadai di masyarakat sudah biasa dilakukan, namun sering kali menimbulkan konflik. Hal tersebut terkait dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam kondisi sulit baik sandang, pangan dan papan dan kebutuhan lainnya. Bahkan terkadang terpaksa meminjam uang kepada orang lain, meskipun sampai harus disertai dengan aturan atau jaminan untuk memperoleh pinjaman tersebut. Kondisi tersebut seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw gadai sudah dilakukan baik ketika ia menjadi Rasulullah maupun sesudah menjadi Rasulullah beliau pernah menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi untuk menukarnya dengan makanan dengan kesepakatan yang telah ditentukan dan baju besi beliau akan di ambil kembali sesuai dengan kesepakatan antara keduanya.

Hakikat dan fungsi gadai dalam Islam adalah membawa pemahaman yang membentuk pandangan hidup tertentu dan garis hukum yang global. Islam mengajarkan pada umatnya untuk hidup membantu, yang kaya membantu yang miskin. Berbicara mengenai pinjam meminjam ini, gadai sebagai salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, untuk kepercayaan dari kreditur, maka debitur menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik penggadai namun dikuasai penerima gadai, praktek seperti ini telah ada sejak jaman Rasullulah Saw dan beliau pun pernah melakukannya

3. Rukun Gadai Syariah (Rahn) 

Kesepakatan tentang perjanjian penggadaian suatu barang sangat terkait dengan akad sebelumnya, yakni akad utang piutang (Al-Dain), karena tidak akan terjadi gadai dan tidak akan mungkin seseorang menggadaikan benda atau barangnya kalau tidak ada utang yang dimilikinya. Utang piutang itu sendiri adalah hukumnya mubah bagi yang berutang dan sunnah bagi yang mengutangi karena sifatnya menolong sesama. Hukum ini bisa menjadi wajib manakala orang yang berutang benar-benar sangat membutuhkannya. Dalam menjalankan gadai syariah harus memenuhi rukun gadai syariah, rukun gadai tersebut adalah : 

1) Al-Rahin (yang menggadaikan)

Orang yang menggadaikan telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang digadaikan.

2) Al-Murtahin (yang menerima gadai)

Orang, bank, atau lembaga, yang dipercaya oleh rahin untuk mandapatkan modal dengan jaminan barang.

3) Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), 

barang yang diagunkan atau digadaikan  (marhun) merupakan tawtsiq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman).

Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:

a. Dapat diperjual belikan

b. Bermanfaat

c. Jelas

d. Milik rahin

e. Bisa diserahkan

f. Tidak bersatu dengan harta lain 

g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin

h. Harta yang tetap ataupun dapat dipindahkan

4) Al-Marhunbih (Utang)

Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya taqsiran marhun. Utang mempunyai pengertian, utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang member piutang. Marhunbih memungkinkan dapat dibayarkan. Jika marhunbih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan

tujuan dari disyariatkannya rahn.

5) Shighat, Ijab dan Qabul (pernyataan gadai)

Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.


        Dari keterangan diatas bisa kita simpulkan bahwa Gadai dalam kitab diistilahkan dengan “rahn“dapat juga dinamai dengan al-habsu berarti “penahanan“ Atau “tetap”. Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang.

Dasar gadai juga telah disebutkan dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 283 dan Surat Al-Maidah ayat 2, adapula hadits yang menyebutkan tentang gadai yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah RA.dalam kitab Bukhari dan Muslim yang artinya “Bahwasannya Rasulullah saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi yang akan dibayar pada waktu tertentu di kemudian hari dan beliau menggadaikannya dengan baju besinya”.

Ada pula Rukun gadai yakni: Ar-Rahn (yang menggadaikan), Al-Murtahin (yang menerima gadai), Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan), Al-marhun bih (utang), Sighat, Ijab, dan Qabul.


1 komentar:

  1. Bagaimana Hukum Pegadaian yang sekarang banyak bertebaran disekitar kita min, yang jargonya Mengatasi Masalah Tanpa Masalah?

    BalasHapus