Home

Senin, 29 Oktober 2018

Masjid yang di curi

Mungkin tulisan berikut ini merupakan gambaran kecil atas realita yang terjadi ditengah tengah masyarakat kita,

Sering kita mendengar ungkapan Masjid fulan telah di curi disabotase, sebagian orang yang sudah faham akan mengatakan salah sendiri kenapa g diurus, sebagian yang lain masih kebingungan dengan kalimat masjid dicuri, dan bertanya tanya "kok bisa masjid sebesar itu dicuri".

Berikut ini adalah alasan kenapa masjid bisa beralih tangan berubah ketakmiranya..

Sang kyai membangun masjid persis di sebelah rumahnya. Masjid pun berdiri. Acara peresmian diadakan. Tokoh-tokoh dan orang-orang "besar" di wilayah itu diundang untuk menghadiri acara peresmian. Acara berlangsung meriah. Untaian ceramah dari penceramah kondang menghibur hati jamaah yang hadir. Doa pun dipanjatkan oleh yang dituakan. Waktu zuhur datang. Semua melaksanakan sholat berjamaah dilakukan semua yang hadir, kecuali undangan wanita yang berhalangan.

Meriah sekali acara peresmian masjid itu. Semua tampak senang terlebih sang kyai. Pasalnya, ia berhasil membangun masjid termegah di wilayahnya. Seperti diketahui, sang kyai begitu dikenal di seantero wilayah. Sebagai tokoh di wilayahnya dengan pengikut yang sangat banyak, ia harus mempunyai masjid sebagai peneguh status yang dimiliki.

Namun, waktu berlalu. sang kyai jarang terlihat di masjid yang dibangunnya. Bahkan untuk hari Jum'at sekalipun. Jadwal kyai di hari Jum'at lebih banyak di masjid-masjid besar lainnya. Jamaah pun maklum. Tapi, bagaimana dengan waktu sholat yang lain, seperti isya dan subuh.

Jamaah pun bertanya tentang ketidakhadiran sang kyai. Pembantu pak kyai menjawab bahwa pak kyai sibuk dengan aktivitasnya di luar rumah. Banyak perhelatan "politik" yang harus dihadiri. Jamaah yang lugu dan kritis pun bertanya, "apakah di waktu subuh juga pak kyai ada perhelatan politik?"

Sang pembantu pun gagap mendapat jawaban itu. Katanya, jamaah yang bersangkutan diminta bertanya langsung kepada pak kyai.

Singkat cerita, jodoh pun bersambut. Pada suatu pagi, ketika pak kyai sedang asyik menikmati pagi dengan kepulan asap rokoh, secangkir kopi panas dan roti, beberapa jamaah pun menemuinya. Rasa rindu yang luar biasa, menghantarkan mereka bertemu sang idola.

Obrolan pun dibuka dengan pertanyaan basa basi. Kalimat demi kalimat meluncur, hingga akhirnya obrolan pun melebar dan meleber kemana-mana. Tiba topik obrolan kepada pertanyaan tentang seringnya ketidakhadiran kyai di masjid, termasuk pada waktu sholat subuh.

Mendengar pertanyaan itu, sang kyai menjawab dengan argumentasi fikih yang ia pahami. Katanya, sholat berjamaah itu hukumnnya sunnat muakkadah, bukan wajib. Jadi, tidak mengapa jika tidak dilakukan walaupun rumah tidak jauh dari masjid. Sambil menegaskan, kyai mengatakan bahwa sholat yang dilakukan tetap sah.

Mengetahui jawaban sang guru, para jamaah yang bertanya pun terdiam. Sesekali senyum tersungging di bibir mereka. Mereka pulang, tapi bukan dengan rasa puas atas jawaban sang kyai. Mereka hanya kecewa kenapa guru yang mereka hormati jarang hadir dan membersamai mereka di momen spiritual penting seperti sholat subuh berjamaah. Kenapa sang guru lebih menganggap penting perhelatan politik, yang tidak lebih sebagai ajang mengumbar nafsu ingin berkuasa sambil menebar nista?

Namun kecewa tinggal kecewa. Apa boleh buat. Mengkritik jawaban itu secara langsung dianggap tidak ada etika atau adab. Sedangkan masjid harus tetap diramaikan dengan sholat berjamaah meskipun sang kyai tidak pernah hadir.

Di tengah kekecewaan jamaah itu, datanglah beberapa orang muda yang begitu antusias sholat berjamaah. Sekali mereka ikuti sholat itu, tidak didapati imam yang penuhi syarat untuk memimpin sholat. Kedua kali dan seterusnya kondisi itu terus berlanjut. Begitu datang kesempatan tidak ada yang mengimami, satu dari rombongan pemuda itu menawarkan diri menjadi imam sholat.

Tilawah yang syahdu, makhrajul huruf yang tepat serta hapalan yang lumayan bagus "menenggelamkan" para jamaah di dalam kenikmatan sholat berjamaah. Sebagian berbisik kepada sebagian yang lain, setelah sholat, "enak bacaannya, serasa sholat di Masjid Nabawi."

Jamaah yang kagum pun ada yang menghampiri sang imam. Kekaguman diungkapkan kepadanya. Pertanyaan-pertanyaan awal, seperti tempat tinggal, pekerjaan dan belajar agama di mana, diarahkan kepada sang imam muda tadi.

Ternyata ia tinggal agak jauh dari masjid. Sang penanya pun terkejut kagum, " luar biasa adik ini. Jauh saja masih bisa ke masjid." Anak muda itu membalas," gak ada yang jauh pak, kalau urusannya berhubungan dengan masjid." Mendengar respon itu, sang jamaah pun teringat jawaban sang kyai tempo hari, yang dianggapnya mengecewakan.

Sejak peristiwa "mengesankan" pada hari itu, imam muda itu selalu memimpin sholat maghrib, isya dan subuh di masjid. Lantunan tilawahnya yang merdu telah mengundang mereka yang awalnya malas ke masjid, untuk datang berjamaah. Masjid pun makin ramai. Sementara itu, pak kyai masih tetap dalam keadaannya, tidak hadir di masjid. Tapi, kali ini jamaah sudah bisa "melupakannya" walaupun pak kyai yang membiayai pembangunan masjid itu.

Popularitas anak muda itu makin membumbung. Kini ia didaulat sebagai guru di masjid itu. Amanah sebagai khatib jum'at diberikan. Demikian pula dengan kajian rutin mingguan. Jamaah sudah punya guru pasca "dilupakan" guru sebelumnya.

Si anak muda yang pintar itu pun mulai mengajak kawan-kawannya untuk menggarap lahan dakwah yang baru. Babak baru masjid itu dimulai. Kajian-kajian keagamaan diisi orang-orang muda yang enerjik, setia dan berwawasan luas.

Jamaah mulai mendapat pemahaman baru yang berbeda dengan pemahaman yang dulu diajarkan sang kyai. Bahkan masjid itu berubah menjadi pusat kegiatan dakwah orang muda.

Di waktu yang lain, sang kyai yang telah "meninggalkan" masjid membuncah kerinduannya kepada masjid yang dibangunnya. Didatangi masjid itu di waktu subuh. Tapi apa lacur, begitu sang kyai hadir, didapatinya masjid itu dipenuhsesaki orang-orang muda berpenampilan Timur Tengah. Lebih heran lagi, ketika ia tidak bisa menjadi imam karena sudah ada imam tetap.

Sang kyai merasa bahwa masjidnya sudah "diambil". Marah, dongkol dan kecewa bercampur jadi satu. Tapi, apa daya, ia tidak sanggup melawan. Hanya teriakan "wahabi", "HTI", "PKS", dan "radikal" yang bisa ia lakukan untuk mengungkap kekecewaan dirinya. Barangkali pak kyai lupa bahwa semua ada prosesnya dan semua mengikuti prosesnya. Karena hasil tidak mengkhianati proses.

#Savejamaahdimasjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar